Chapter 9⚫HUJAN

12 0 0
                                    

Bianca mulai membuka kelopak matanya yang tertutup. Tetapi wajahnya masih terlihat lesu.

"Gue ngebangunin elo ya Ca? Sorry ya?" aku merasa bersalah karena mengganggu istirahat Bianca yang sedang sakit.

"Nggak papa Ven, gue berasa jadi di dongengin sama elo. Jadi kapan lo mau baikan sama Ferdy?" tanyanya.

"Hahaha" tawa renyahku menjawab tanyanya.

"Kok lo malah ketawa sih Ven. Ati-ati Ven biasanya kalo terlalu benci lama-lama malah mencari lho"

"Amit-amit deh Ca. Dia orangnga labil. Kekanakan pula"

"Ya, hanya Tuhan yang tahu Ven. Lo nggak boleh bilang gitu Ven. Kita doain semoga lo baikan sama Ferdy" ceramah Ayu.

Aku hanya manggut-manggut mendengarkan ceramah Ayu. Tumben sekali dia jadi bijak gini.

"Amin deh baikan tapi temen aja cukup" balasku santai.

"Ya, kita mana tau sih Ven siapa jodoh kita" jawab Bianca.

Teng... teng... teng...
Bel pulang pun akhirnya berdering. Aku mengemasi barang-barangku dan bersiap untuk pulang. Namun aku mengingat satu hal  aku belum punya tebengan untuk pulang. Sial! Semua gara-gara Nicole.

"Yuk, gue nebeng dong."

"Lah Ven sorry ya. Gue bawa motor hari ini. Mobilnya baru diservice kemaren. Gue juga mau anterin Bianca"

Aku melihat Bianca yang sedang memamerkan puppy eye's nya.

"Elaah, jadi gue harus nunggu Nicole nih? Tega kalian?!"

Kedua sahabatku hanya mengulum senyuman dan lambaian tangan.

"Kita duluan ya Ven! Semangaaaat!"

"-___-" balasku.

Dan disinilah aku sekarang. Duduk sendirian di bawah pohon yang rindang. Menanti tukang ojek yang tak kunjung datang. Ditambah awan mendung tebal yang bergelantungan. Membuat suasana hati menjadi semakin tak karuan. Pft.

Aku mengeluarkan ponselku. Menggeser-geserkan layarnya membentuk pattern yang tak jelas. Aku mulai menyesali keputusanku ketika mengiyakan ajakan Nicole untuk berangkat bersamanya.

"Woy!"

Ada seseorang memanggilku. Tapi aku tidak tau siapa itu. Kepalanya terbungkus helm ditambah ia menggunakan masker.

Aku menyernyitkan alisku sambil menyeledik siapa dia. Tapi entah kenapa jatungku berdegup kencang sembari menyelidik siapa orang dibalik itu.

"Lo tu budek? Diem aja" katanya sambil melepas helm dan maskernya.

Whatttt?! Ngapain Ferdy manggil gue? Keajaiban dunia yang pernah ada.

"Ye malah bengong lagi. Nggak pulang?"

Eh buset dia nanya ke gue? Ini kiamaat. Omg!"

"Heh! Budek. Lo tu bisu ya sekarang? Gue ngomong sama elo!" katanya membentak-bentak kasar di depanku.

"GUE GAK BUDEK!" balasku sedikit berteriak.

"Akhirnya lo ngomong. Kenapa lo kaget gue ngajak ngomong elo? Nggak usah GR gue cuma  mau balas budi sama lo gara-gara tadi lo nolongin gue" jelasnya.

"Gue nggak butuh balasan budi lo. Gue iklas nolongin lo. Gue juga nggak GR kali sama lo" jawabku jutek.

Ferdy memajang senyum sinisnya.

"Lo yakin mau nunggu disini? Mendingan juga pulang. Lo rela nungguin sambil keujanan. Bentar lagi kayaknya mau ujan."

Ferdy melipat kedua tangannya di dada dan mendongak ke langit. Melihat langit yang memang sangat mendung saat ini. Melihatnya demikian arah mataku juga mengikuti arah matanya. Namun, gengsiku lebih besar dari kenyataannya.

Dear, My Possessive EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang