Hari itu adalah hari ke-3 aku resmi menjadi siswi SMA. Hari itu juga, adalah hari dimana selesai masa orientasi siswa baru. Banyak kujumpai wajah-wajah polos yang sedang bersukacita karena masa penganiayaan telah berakhir. Aku berjalan sendirian mengeksplor lingkungan sekolahku. Selain tujuanky mengeksplor tempat baruku ini, aku ingin menemukan tempat yang sunyi. Aku hendak bersyukur. Bersyukur kepada Dia yang memiliki bumi dan segala keindahannya ini.
Aku memilih menaiki anak tangga demi anak tangga. Hingga aku tiba di tingkat yang paling tinggi, paling atas. Memang benar disini sangat sunyi karena mungkin lantai teratas ini jarang di injak oleh siswa-siswi yang lain. Dan cukup menyeramkan memang berada di sini sendirian.
Namun rasa penasaranku lebih besar dari rasa takutku. Aku tertarik pada sebuah ruangan di samping tangga. Tidak cukup luas memang tapi cukup sunyi. Aku membuka pintu itu perlahan. Di dalamnya kujumpai banyak sekali lukisan yang berjajar juga terpaku rapi di dinding. Apa ini galeri? Ruangan ini sangat minim cahaya, hanya beberapa cahaya yang menembus dinding kaca yang cukup besar. Aku terpukau melihat beberapa lukisan yang begitu indah ini. Hingga langkahku terhenti karena melihat siluet seseorang yang familiar. Dia duduk di jendela dengan kepala tertunduk. Dan samar-samar aku mendengar isaknya.
Bukankah itu Ferdy? Apa yang dia lakukan disini? Apa dia menangis? Apa mungkin seorang Ferdy bisa menangis? Apa yang membuatnya menangis? Ah, ngapain juga aku peduli. Begitulah kira-kira pergumulan dalam hatiku. Namun tetap saja, aku penasaran.
Aku mulai melangkahkan kakiku mendekatinya. Belum sampai aku di dekatnya ia sudah berkata, "Pergi!". Namun aku enggan pergi. Aku mematung. Menatap siluetnya.
"Bukankah sudah kubilang, pergi?!" Kata sang siluet sambil bergetar.
"Ferdy?" Tanyaku memastikan.
"Lo budek? GUE BILANG PERGI!!! PERGI SEKARANG!!!!!"
Oke kali ini ia benar-benar marah. Dan dia benar-benar kalut. Aku tak yakin juga dengan apa yang aku lihat. Seorang tang tengil dan sok jagoan itu meneteskan air matanya di saat-saat seperti ini. Di saat seharusnya semua siswa baru berhura-hura dengan canda dan tawa.
Akhirnya aku melangkahkan kakiku keluar dari ruangan itu, namun sebenarnya aku tidak turun dari lantai teratas gedung sekolahku. Melainkan aku duduk di samping ruangan sambil menikmati angin yang menabraki kulitku. Setengah jam kemudian Ferdy dengan kasar membuka gagang pintu itu. Ia keluar dengan wajah yang kusut, mata sembab dan hidung yang merah.
Aku mengikutinya dari belakang. Nyaris ketahuan tapi aku dengan cepat bersembunyi. Hingga akhirnya dia tiba di sebuah danau. Letaknya di belakang sekolah. Aku tak tau jelas apa yang dia lakukan disana karena aku hanya melihatnya dari kejauhan. Yang jelas ia sedang sedih.
⚫⚫⚫
Setelah sup buatanku dan bibi selesai aku kembali ke kamar Ferdy untuk membangunkannya dan mengajaknya makan. Namun ketika aku membuka pintu kamarnya, ia sudah tidak ada disana. Lalu aku mulai mencarinya dan akhirnya aku menemukan Ferdy sedang berdiri menatap ke sebuah dinding. Dimana dinding itu penuh dengan foto-foto keluarganya. Dari mulai pernikahan kedua orang tuanya, kelahiran Kak Beny dan masa kecilnya hingga Ferdy sampai terkahir adalah foto mereka ketika berlibur bersama di pantai. Foto itu yang paling besar dan letaknya berada di tengah.
Ferdy melamun disana. Aku masih merasakan betapa ia kehilangan orang yang ia sayangi. Jika aku yang ada di posisinya. Aku belum tentu sekuat ia saat ini. Yang terkadang masih bisa jahil dan tertawa lebar bersama teman-temannya.
Aku menyejajarkan kakiku, hingga aku berdiri disampingnya. Sama dengannya, aku menatap foto-foto keluarga bahagia itu.
"Tuhan punya rencana indah buat kamu Fer." Kataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, My Possessive Enemy
Teen Fiction[WARNING 18+]⚠Relasi aneh dari dua insan yang tidak pernah sehati namun tak pernah terpisah. Tak saling memahami, namun akhirnya saling mengikuti kemanapun angin membawa mereka pergi. ⚫ Ferdy: "I just wanna see. I just wanna see how beautiful you ar...