Setelah rollercoaster berhenti dan seluruh penumpangnya keluar dari kereta, Ferdy memilih bangku di tengah supaya sensasinya tidak terlalu besar. Sedangkan aku masih mematung di tempatku berdiri tadi. Kakiku rasanya kaku sekali untuk naik ke dalam kereta itu. Ferdy menatapku sejenak, kemudian bangkit dari duduknya di kereta dan kembali menggandeng tanganku. Menuntunku untuk masuk ke dalam kereta gila itu.
"Fer?" Tanganku sudah mulai dingin dan jantungku berdegup sangat cepat.
"It's oke Ven, gue peganging lo terus kok"
Sebentar lagi kereta yang aku tumpangi ini akan menarikan tarian erotis diatas rel. Pikiranku sudah mulai berkecamuk. Semua rasa bercampur jadi satu. For your information, aku lewat jembatan aja takut apalagi naik rollercoaster.
"Tsaaahhh.... aaaakkkk" teriakku sangat kencang ketika kereta itu mulai menggila.
Ferdy memegangi tanganku erat, ia juga tak berhenti meneriaki rollercoaster sialan ini. Dunia serasa kiamat. Perutku terasa di aduk-aduk seperti molen. Ketika kereta berhenti aku langsung mencari toilet terdekat. Kalian tentu tahu apa yang terjadi.
"Ven, lo nggak papa?" tanya Ferdy setelah aku keluar dari toilet.
Pake nanya lagi, kataku dalam hati. Karena untuk berbicara saja lidahku rasanya kelu sekali.
"Sorry ya," aku sedikit tersentak dan banyak tak percaya. Kenapa? Tiba-tiba Ferdy memelukku erat. Wajahnya terlihat khawatir sekali dengan keadaanku saat ini. Aku pun juga khawatir dengan perubahan sikap Ferdy yang sangat drastis ini.
"Fer, gue nggak papa" jawabku sambil mencoba melepaskan diri dari pelukan Ferdy.
"Kita duduk dulu yuk disana, biar gue beliin lo teh anget"
Kulihat Ferdy yang rela berdesakan demi mendapatkan segelas teh hangat untukku. Aku sedikit luluh dibuatnya. Tapi aku juga masih heran. Kenapa dia tiba-tiba jadi seperti ini. Pasti ada alasan di balik semua ini.
"Nih Ven, diminum dulu. Gue juga beliin donut buat lo. Biar perut lo nggak kosong. Nanti maag lo bisa kambuh."
"Thanks Fer. Tapi, lo tau dari mana kalau gue punya sakit maag?"
Ferdy tersenyum setelah mendengar pertanyaanku, "Kan dulu lo pernah cerita ke gue."
"Oya? Kapan?"
"Emmm, waktu kelas 5 SD"
Pikiranku melayang lagi ke masa itu. Masa-masa semuanya terasa indah. Mengingatnya membuatku mengukir senyum di depan Ferdy.
"Kapan ya terakhir lo senyum ke gue kayak gitu?" tanya Ferdy.
Aku langsung memajang wajah datarku.
"Kenapa nggak senyum lagi. Lo..."
"Gue kenapa?"
"Lo bagusan kalo senyum, em.. keliatan anu"
"Anu?"
"Cantik" Ferdy menatap dalam bola mataku. Membuatku blushing dan salah tingkah.
"Lo sakit lagi ya?" tanyanya.
Aku menggeleng, "Emang kenapa?"
"Itu pipi kamu jadi merah?" jawab Ferdy.
"Barusan lo bilang apa? Kamu?"
"Eh, sorry maksudnya elo" jawab Ferdy sambil menggaruk kepalanya yang sepertinya tidak gatal.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku menyaksikan semua keanehan ini. Sungguh. Lelaki di depanku ini bukan Ferdy. Jika ini benar Ferdy, pasti ada roh baik yang sedang bekerja dalam dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, My Possessive Enemy
Teen Fiction[WARNING 18+]⚠Relasi aneh dari dua insan yang tidak pernah sehati namun tak pernah terpisah. Tak saling memahami, namun akhirnya saling mengikuti kemanapun angin membawa mereka pergi. ⚫ Ferdy: "I just wanna see. I just wanna see how beautiful you ar...