Ya, seperti yang kalian pikirkan. Aku tidak dapat menolak permintaan Ferdy. Sore ini sepulang ia latihan basket kita sepakat untuk belajar bersama di rumahku. Awalnya Ferdy mengajak kita belajar di tempat lain, semacam cafe. Tapi tentu saja aku menolaknya. Aku tak yakin Ferdy dapat berkonsentrasi di tempat ramai semacam itu.
Aku sedang berada di kamar dan menikmati sereal sambil membaca majalah, sebelum aku kebelet untuk ke toilet. Karena sudah tidak kuat menahan panggilan alam, akhirnya aku bergegas turun ke bawah. Aku menghela nafas lega setelah dari toilet. Kembali kunaiki anak tangga demi anak tangga lalu menuju kamarku.
"Shit! Ngagetin aja sih lu?!" Gertakku pada Ferdy yang entah sejak kapan ia sudah tiba di kamarku. Ia menghabiskan sereal yang tadinya aku makan.
"Siapa suruh lo makan sereal gue?" Omelku padanya.
"Gue laper. Gue habis latihan basket." Jawabnya.
Aku memutar bola mata malas. Siapa juga yang peduli kalo dia habis latihan. Harusnya kalau niat belajar kan dia nggak milih jadwal habis latihan.
"Ngapain lo bengong liatin gue? Naksir lo?" Tanya Ferdy.
"Bisa nggak sih Fer, elo nggak kepedean?"
"Kamar lo berantakan juga ya ternyata. Sama kayak yang punya. Gue kira...."
"Kalo lo kesini cuma mau ngatain kamar gue mendingan lo pulang deh!" Kataku memotong perkataan Ferdy.
"Ck, bisa nggak sih lo tu nggak marah-marah mulu? Iya iya kamar lo emang berantakan tapi elo enggak berantakan." Ralat Ferdy.
"Jadi lo mau belajar apa dulu?" Tanyaku.
"Matematika?"
"Gue juga nggak yakin bisa ngajarin elo."
"Iya lo kan juga sama kayak gue. Goblok kalo masalah ngitung-ngitung mah."
"Tapi seenggaknya gue setingkat lebih tinggi dibanding elo tauk!"
"Yaudah gimana nih intinya bisa kagak?"
"Oke, I'll try."
"Lo emang ambisius. Nggak berubah." Kata Ferdy lirih tapi aku masih bisa mendengarnya.
Dari 10 soal yang ada, aku hanya berhasil menjelaskan pada Ferdy sebanyak 5 soal. Well, setidaknya bukan hanya 1.
"Gue bosen." Keluh Ferdy.
"Sama."
"Hhhoaamm..." kita menguap bersamaan. Eh tidak, Ferdy duluan lalu aku.
Aku mulai mengambil kertas putih kosong, memberikannya warna hingga kertas itu kini memiliki gambaran diatasnya. Gambar rumah tepatnya. Ferdy yang tiduran di lantai, sepertinya mulai tertarik dengan apa yang aku lakukan. Ia mengambil kuas milikku, ia juga menorehkan warna pada kertas itu. Gambaran itu kini menjadi lebih lengkap.
"Gue jadi inget dulu kita juga pernah kaya gini." Kata Ferdy.
"Waktu SD ya?"
"Iya lah. Kapan lagi gue pernah akur sama lo kalo enggak waktu SD?" Tanyanya.
"Sekarang?" Tanyaku.
"Gue nggak berasa akur tuh. Soalnya cewek jutek di depan gue ini hobby banget ngomelin gue."
"Iya kita emang nggak cocok kalo akur."
"Kayak air sama minyak. Kita nggak akan pernah bisa menyatu."
Aku mengangguk-angguk setuju.
"Ven?" Ferdy menghentikan aktifitasnya dan mulai menatapku intens.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, My Possessive Enemy
Teen Fiction[WARNING 18+]⚠Relasi aneh dari dua insan yang tidak pernah sehati namun tak pernah terpisah. Tak saling memahami, namun akhirnya saling mengikuti kemanapun angin membawa mereka pergi. ⚫ Ferdy: "I just wanna see. I just wanna see how beautiful you ar...