Extra Part 2 - I Miss You, Mama. (17+)

75.9K 2K 60
                                    

Nathan's

"Papa, Alkan kangen mama," ucap Arkan ketika ia terbangun pada tengah malam. Lengan pendeknya berada di atas perutku, sementara setengah tubuhnya bersandar pada dadaku. Pada usianya yang menginjak 4 tahun, Arkan sudah semakin pintar dan mudah mengerti apa yang aku ucapkan. Hanya saja, aku harus mengucapkannya dalam bahasa 'anak-anak'. Pernah sekali aku berbicara dengannya sangat formal, seperti berbicara dengan orang-orang kantor. Sayangnya, ia malah bingung dan semakin banyak pertanyaan yang ia tunjukkan kepadaku.

"Papaaaa... Alkan mau ketemu mama! Hueeee..." tibat-iba saja ia menangis kencang.

Evelyn, ternyata pengaruhmu sangat besar bagi Arkan. Melihatnya menangis, membuatku merinding mendengarnya. Yang kulakukan saat ini hanya bisa memeluk Arkan erat seraya mengusap kepalanya lembut. Itu yang biasa dilakukan Evelyn jika anak-anak kami menangis.

"Udah ya, jangan nangis. Mama kan nggak suka sama anak yang cengeng.." rayuku pada Arkan.

Tangis Arkan berhenti, dan ia jadi sesenggukkan. "Tapi... tapi, Aku mau main sama mama, mau peluk mama, mau disuapin makan sama mama," ungkapnya terbata-bata.

Aduh, gimana lagi caranya biar Arkan nggak selalu ingat sama mamanya? Kasihan juga kan Evelyn di sana, dia pasti nggak akan tenang. Ikatan batin antara anak dan ibu kan sangat kuat.

"Peluk papa aja sini." Ujarku. Arkan malah diam, dan kulihat ia tidur dengan tenangnya.

Ya ampun, sejak kapan anakku mudah tidur? Apa jangan-jangan tadi itu ia mengigau?.

---

"Pa, Alkan mau makan," pinta Arkan sambil menarik ujung jas-ku.

Hari ini, aku membawanya ke kantor. Pagi tadi, ia menangis karena tidak mau kutitip pada oma ataupun neneknya, dengan alasan mereka tak bisa diajak main kuda-kudaan. Duh, Arkan. Tidak ada sejarahnya wanita berumur 60 tahunan mau menggendong anak umur 4 tahun yang sangat aktif dan gendut. Yang ada, mereka bisa patah tulang.

"Mau makan apa?" tanyaku berjongkok, mensejajarkan tinggiku dengan tingginya. Pantas saja ia minta makan, karena sekarang sudah jam 12 siang.

Arkan tampak berpikir, "Cumi tepung sama sup klim ayam," jawabnya.

"Okey, ayo." Ucapku lalu menggenggam tangan kanannya. Rencananya, kami akan makan di restaurant yang tak jauh dari kantor.

Tiba-tiba saja ia menggeleng dan menggoyang-goyangkan tangannya. Aku menatapnya bingung, tidak biasanya Arkan seperti itu. "Alkan mau digendong," pintanya.

Aku langsung mengangkatnya, dan seperti biasanya ia akan menyandarkan kepalanya di pundakku seraya memeluk leherku erat. Sedari kecil ia selalu seperti itu. Menurutku, Arkan adalah tipe anak yang agak manja kepada orang tuanya. Tetapi kalau dengan orang lain, sifat cueknya langsung keluar.

Baru saja menekan tombol lift, aku bertemu dengan Ernest. Wajahnya menunjukkan ekspresi bahwa ia sedang meledekku.

"Papa mau kemana?" tanyanya dengan menggunakan gaya bicara Arkan.

Arkan yang mendengar ucapan om-nya langsung cemberut. Ia tahu, bahwa Ernest sedang meledeknya juga. "Om Enes belisik!" pekiknya. Aku langsung tertawa mendengar ungkapannya itu.

"Iiih... Arkan kok gitu sih sama om, papa kamu kan sepupu aku," ledek Ernest sambil menjawil pipi tembam Arkan.

"Husss! Husss!" usir Arkan seraya mengibaskan tangannya.

Tiba-tiba Ernest memeluk tubuhku dari belakang. Oh, my... Untungnya di lantai ini hanya ada aku—sebagai direktur utama, dan dua sekretarisku. Jadi, tidak akan banyak yang melihat perbuatan Ernest yang akan menimbulkan salah paham.

Cute Student that I LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang