Collaborate 3

3 0 0
                                    

"Aku tidak mau lagi berteman denganmu" kata pria jangkung di depanku ini

"Apa maksudmu? Tanyaku kaget mendengar ucapannya barusan

"3 tahun berteman denganku, kenapa tidak pernah jujur? Bermuka dua" dia marah. Sangat marah. Matanya menatapku lekat, aku bahkan bisa melihat manik hitamnya

"Kenapa? Apa yang terjadi? Bicaralah perlahan" aku mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk dengan kaki terlentang dan kepala terangkat.

"Kau... Jangan lagi memaksa dirimu" nada bicaranya sedikit melemah, entah apa gerangan yang terjadi dengannya.

"Ben, apa yang terjadi? Tolong bicara yang jelas, ku mohon" aku menangkap kekecewaan di raut wajahnya. Jadi, aku memelas.

"Kenapa kau tidak pernah bilang bahwa kau sakit? Kenapa tidak kau lepas topengmu itu? Ku pikir aku melihat Ingga yang sesungguhnya, tapi kau penuh kebohongan, aku kecewa" masih berdiri dengan kantong plastik di tangannya, masih dengan tatapan nanarnya.

"Aku berbohong tentang apa? Kau tidak bisa seenaknya menyebutku pembohong" jawabku lantang karena dia duluan menyerang

"Tentang semuanya, kau berbohong. Kenapa tidak bilang kalau ayah dan ibumu berpisah? Kenapa tidak bilang kalau kau pergi dari rumah? Kenapa tidak bilang bahwa kau sendirian? Kenapa tidak bilang kalau kau butuh uang? Kenapa pergi begitu saja? Kenapa tidak mencariku dan datang padaku? kenapa kau menyakiti dirimu sendiri? Dan kenapa tidak bilang kalau rasanya seperti ingin mati?" Dia duduk lemas di ranjangku. Matanya merah. Menunduk penuh penyesalan.

"Apa gunanya kalau ku beritahu padamu? Tidak akan ada yang berubah. Itu hanya akan membuatmu meninggalkanku, teman tidak berguna sepertiku. Pembohong yang handal. Aku menjijikkan. Aku bodoh. Aku tidak berguna. Aku berantakan" aku mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini. Situasi semakin panas. Sampai aku tidak bisa menahan tangisku

"Ya, kau pembohong yang handal. Kau memang menjijikkan. Tapi aku lebih menjijikkan darimu" di tegakkannya kepalanya. Di letakkannya kantong plastik putih yang ia pegang tadi di meja samping tempat tidurku

"Ben.." tanyaku bingung

"Hanya karena kau selalu tersenyum, berkabung dengan yang lainnya, bukan berarti kau baik baik saja. Aku bahkan tidak tahu bahwa kau sehancur ini. Aku tidak bisa memahamimu. Aku tidak bisa membacamu. Aku bahkan tidak sadar kau menyukaiku. Dan aku juga tidak tahu kondisimu. Kalau saja aku terlambat sebentar saja kemarin, aku tidak tahu apa kau masih bernafas sekarang" entah kenapa ucapannya menghujamku. Aku sakit sekali.

"Maaf, Ben. Aku bersalah. Aku menangis sejadinya. Meraung seperti anak kecil. Dia memelukku. Tangan kanannya menepuk punggungku. Menenangkanku. Sedang mataku tak mau berhenti menangis. Semua tumpah jadi satu. Kaos putihnya basah oleh air mataku.

"Berjanjilah untuk tidak berbohong atas semua rasa sakitmu. Jangan menyembunyikan apapun. Kau punya teman yang bisa membantumu. Jangan merasa sendirian. Jangan selalu tersenyum. Kau lebih cantik jika menangis seperti sekarang" deep. Tangisku semakin kencang. Kata katanya menyembuhkan hatiku.

Full of word Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang