‹ ‹ ✾ s e m b i l a n ✾ › ›
Malam sudah larut. Adam, Keira, Yoga, dan Ernest sedang menyantap jatah makanan gratis mereka sebagai penyanyi kafe. Mereka benar-benar menikmati penampilan malam ini, dan untuk pertama kalinya—walaupun dengan latihan yang waktunya singkat—mereka benar-benar merasa bahwa mereka menampilkannya dengan amat sempurna. Mereka bahkan tidak begitu peduli apakah sang produser itu tertarik atau tidak, yang mereka pedulikan adalah mereka sudah melakukan passion mereka, dan mendapatkan sedikit uang. Apa yang lebih baik daripada hobi yang dibayar?
Yoga yang paling semangat dalam menyantap makanan. Ia mendapatkan pasta porsi besar, dan setelah menyelesaikannya, ia masih memakan sisa pasta milik Keira yang tidak habis. Dan setelah itu ia masih memesan chocolate lava cake sebagai penutup. Anehnya cowok berambut jabrik itu tidak bertubuh gempal, bahkan Ernest lebih gemuk daripada dirinya, padahal porsi makanannya jauh lebih sedikit. Jika ditanya apakah dia berolahraga, ia akan menjawab bahwa makan adalah satu-satunya olahraganya, yaitu olahraga mulut. Dirinya dan namanya memang sebuah ironi.
"Eh udahan napa makannya, udah mau tutup juga nih kafe," seru Ernest pada Yoga yang kini mulutnya belepotan cokelat.
"Sirik aje lo gue makan enak," sanggah Yoga.
Sementara mereka beradu mulut, Keira sedang sibuk dengan ponselnya. Wajahnya tampak panik. Beberapa kali ia mengetuk-ngetuk dahinya dengan tangannya.
"Lo kenapa sih Kei, heboh amat kayak belatung nangka?" tanya Yoga masih mengunyah potongan kue terakhirnya.
Keira menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ini, dari tadi nggak ada ojek online yang mau pick up order-an gue. Pusing kan jadinya."
"Ya elah lo bener-bener ya. Di sini ada tiga cowok, terus lo masih mau pesen ojek online? Lo pikir kita apaan?" protes Ernest. "Kan kita juga nggak bakal ngebiarin lo pulang sendirian kalo ilang gimana?"
"Ya kan rumah kalian pada jauh, kalo nanti kalian pulangnya kemaleman gimana?" tanya Keira polos.
Sesekali cewek berambut sebahu itu melirik ke arah Adam yang kini sibuk dengan ponselnya, tidak memerhatikan dirinya sama sekali. Padahal kedua temannya yang lain sangat memedulikan keselamatannya, tetapi orang yang paling ia harapkan akan memedulikannya malah tidak mengacuhkannya sama sekali.
"Ya udah gue aja yang nganterin lo," tawar Ernest.
"Nggak apa-apa nih?"
"Ya nggak apa-apalah. Udah deh nggak usah sok tata krama sama gue, geli tahu nggak."
Adam memasukkan ponselnya ke dalam sakunya dengan gerakan terburu-buru, dahinya berkerut. Raut wajahnya yang memang selalu serius, tampak belasan kali lebih serius saat ini.
"Gue balik duluan ya. Thanks buat performance kali ini, gue seneng banget," ujar Adam walaupun ekspresinya kali ini sama sekali tidak mewakili kata-katanya. "Hati-hati kalian, hati-hati Nest bawa Keira jangan sampe kenapa-kenapa anak orang."
"Siap komandan!" Ernest memberi hormat seperti seorang anak pramuka.
Keira memandang punggung Adam yang berjalan kian menjauh. Dan sampai saat ini ia masih bertanya-tanya, kenapa tidak pernah sedikitpun terbesit di benak Adam untuk mengantarnya pulang setidaknya sekali saja? Tetapi ia buru-buru menepis pikiran itu, karena bagaimanapun juga ia tahu hubungannya dengan cowok itu tidak akan lebih dari bandmate. Setidaknya, bertemunya di setiap latihan ataupun saat ekskul sudah cukup membuat hatinya senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Quaternary
Teen FictionIni adalah sebuah kisah tentang empat remaja di sekolah menengah atas paling bergengsi di kota, SMA Adyatma. Berawal dari kedua sepupu yang sangat akrab, Keira dan Kassie-seperti cewek-cewek sekolah itu pada umumnya-tergila-gila pada si kembar tampa...