‹ ‹ ✾ t i g a ✾ › ›
Sepiring pancake dengan sirup mapel sudah siap di meja makan dengan aroma lezat yang menusuk hidung ketika Adam sedang menuruni tangga dengan langkah cepat sambil menyampirkan ranselnya agar ia bisa cepat-cepat berangkat ke sekolah seusai sarapan.
Ibunya masih di dapur, membuat pancake untuk Aiden, sedangkan ayahnya sedang bersantai sambil memeriksa berita terkini di tabletnya ditemani dengan secangkir kopi hitam yang asapnya masih mengepul. Keluarga Paramarta memang nyaris sempurna. Rumah yang besar dan nyaman, keluarga yang akrab, orangtua yang perhatian dan masih bisa bertemu setiap pagi dan malam. Mereka tidak pernah kekurangan apapun.
"Dam, bangunin kakakmu tuh," ujar Linda, ibu mereka sembari meletakkan pancake di atas piring.
"Mama tahu kan dia nggak akan bangun sampe seenggaknya jam tujuh?" jawab Adam, meraih garpunya. "Dan jam tujuh itu bel masuk."
"Adam, you heard your mom," ujar Dimas, ayah mereka tanpa memalingkan pandangan dari tabletnya.
Adam menghela napas dan segera beranjak kembali ke atas tanpa sempat menyentuh pancake-nya. Ia langsung menuju kamar kakak kembarnya. Pintu kamarnya berwarna hitam, kontras dengan pintu-pintu di rumahnya yang semuanya berwarna putih. Banyak tempelan di depan pintu kamar Aiden. Mulai dari "Danger", "Keep Out", sampai lambang toilet laki-laki. Entah apa yang menginspirasinya waktu itu.
Cowok itu mengetuk kamar Aiden sambil memanggil-manggil namanya. Adam sudah mengira, cowok itu tidak akan menyahut. Ia sudah berubah dari mengetuk sewajarnya sampai menggedor-gedor pintunya.
"Duh apa sih?" Aiden keluar dari kamarnya dengan rambut gondrongnya yang acak-acakan dan hanya mengenakan celana boxer. Ia benar-benar baru bangun.
"Siap-siap sekolah, pinter. Udah jam berapa ini." Adam melirik jam tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh.
"Lo tahu sendiri kan gue bangun jam berapa," ujar Aiden kesal. "Udah ah gue mau tidur setengah jam lagi."
"Tapi Mam—"
"Shhh udah tenang aja. Entar gue bilang bukan salah lo kok. Bye Bro." Aiden menepuk-nepuk pundak adik kembarnya, lalu membanting pintu kamarnya dan kembali ke alam mimpi.
Adam menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali turun ke lantai bawah untuk menyelesaikan sarapannya. Setelah menghabiskan pancake favoritnya dan menenggak segelas susu, Adam berpamitan dengan orangtuanya dan berangkat ke sekolah dengan vespa putihnya. Cowok itu sangat anti dengan yang namanya terlambat. Dalam kamus hidupnya, semuanya harus sesuai dengan jadwal.
Cowok itu melihat wajah-wajah baru di sekolah. Bukannya ia peduli, tetapi banyak anak-anak cewek yang tidak bisa berhenti menatapnya. Atau kadang ketika ia berjalan, sekumpulan cewek-cewek berbisik-bisik, cekikikan, lalu menatap ke arahnya. Itu hal yang biasa dirasakan oleh Adam setiap hari, meskipun begitu ia tetap merasa risi. Bukan hanya anak-anak baru saja yang melakukan hal seperti itu, anak kelas sebelas juga, bahkan teman-teman seangkatannya.
Adam memutar kombinasi lokernya. Ketika lokernya berhasil terbuka, ia mendapatkan sebuah kotak bekal yang masih hangat. Ia menghela napas panjang—kombinasi lokernya berhasil dipecahkan lagi oleh salah satu penggemar rahasianya, kini ia harus menggantinya dengan yang baru. Ia mengeluarkan kotak bekal itu ketika Deka, satu dari sedikit teman dekatnya muncul.
"Buat lo aja nih." Adam menyodorkan kotak bekal tersebut sebelum Deka sempat mengatakan apa-apa.
"Dari siapa lagi nih?" Adam mengangkat bahu. "Lo nggak mau cari tahu gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Quaternary
أدب المراهقينIni adalah sebuah kisah tentang empat remaja di sekolah menengah atas paling bergengsi di kota, SMA Adyatma. Berawal dari kedua sepupu yang sangat akrab, Keira dan Kassie-seperti cewek-cewek sekolah itu pada umumnya-tergila-gila pada si kembar tampa...