08

2.1K 259 17
                                    

Teriknya matahari siang itu tidak menghalangi gadis-gadis untuk tetap duduk dibangku pinggir lapangan sambil memperhatikan para murid lelaki yang tengah bermain bola basket. Guru sedang ada rapat jadi seluruh kelas kosong hari ini. Selain dilapangan, banyak juga murid yang menghabiskan waktu dikantin dan tempat lainnya.

Sorakan terdengar dengan keras untuk menyemangati kedua tim yang sedang menjadi lawan main disana.

Lea adalah salah satu gadis yang duduk diantara bangku-bangku itu. Ia hanya sendirian karena Audree sibuk dengan urusan OSIS-nya yang entah apalah itu. Meskipun keduanya selalu bersama dan enggan untuk berpisah, toh nyatanya perbedaan itu tetap ada. Contohnya seperti ini, Audree sangat rajin mengikuti segala organisasi ataupun eskul yang dibuat oleh sekolah. Lea boro-boro, tergabung dalam satu eskul saja ia jarang turun.

Yeah, tapi tetap mereka berdua ini murid yang biasa-biasa saja.

Lea menatap tidak minat lapangan dihadapannya lalu memutar mata lelah. Ia hendak bangkit sebelum sebuah jemari menahan pergerakannya.

Gadis itu menoleh, dan mendecih saat mendapati wajah judes Belva tengah menatapnya dengan remeh, "Mau apa lo?"

"Dih, galak."

Alis Lea menaik satu, hendak melangkah pergi tapi Belva kembali menahannya. Sebenarnya Lea malas, berbicara dengan orang ini hanya akan menghabiskan waktunya yang berharga.

"Jadi, lo mau apa? Gue enggak punya banyak waktu buat orang enggak penting kaya lo," sahut Lea sembari menatap tajam Belva.

"Dan lo masih nanya 'mau gue apa'?"

"Maksud lo?"

Belva menggeleng sambil berdecak dengan tangan yang terlipat didepan dada, "Emang bener ya kata orang-orang. Lo itu enggak cuma jelek, tapi bodoh juga."

"Jaga mulut lo," Lea berkata sarkas, berusaha sekuat mungkin menahan emosinya yang hendak pecah.

Seumur-umur ia bersekolah disini, belum pernah dirinya berurusan dengan gadis berwajah jutek nan sombong ini. Dan sekarang? Gadis itu selalu saja datang seperti meneror dirinya.

"Tallea Ambarita-ku yang bodoh, lo enggak sadar apa sama posisi lo? Lo itu cuma murid biasa yang beruntung bisa bersanding sama Arkan," Belva tersenyum sangat licik dimata Lea, "Mungkin sekarang lo bahagia banget bisa milikin dia, tapi lo harus inget kalo Arkan bakal balik ke tangan gue."

Hening beberapa saat ketika Lea menatap Belva dengan tajam. Sementara Belva tetap tersenyum seperti sedia kala. Sorakan-sorakan dari arah lapangan terdengar lebih sepi daripada sebelumnya karena banyak murid yang memperhatikan kedua gadis dipinggir lapangan. Gadis pertama berstatus sebagai mantan Arkan dan gadis satunya lagi namanya memang sedang sering dibicarakan diarea sekolah karena berstatus pacar baru Arkan.

"Kenapa lo diem?" tanya Belva guna memecahkan keheningan antara mereka berdua, "Udah sadar kalo lo itu bodoh, jelek, enggak sempurna, cupu, dan enggak famous sama sekali?"

"Haha," Lea tertawa kecil, mengisyaratkan bahwa ia tidak akan kalah hanya karena ucapan Belva, "Iya gue tau kok, gue ini bukan apa-apa dimata orang-orang kaya lo dan Arkan. Gue enggak kaya, gue enggak famous, blablabla."

"Oh, syukur deh. Lo nyadar itu."

"Tapi gue kasih tau sama lo ya, ini hidup gue. Dan lo," telunjuk Lea mengacung tepat didepan wajah Belva, "Enggak pantes ngurusin gue dan Arkan."

Belva memutar mata dan tertawa keras yang terdengar mengejek. Namun tawa itu berhenti saat Lea berkata dengan nada merendahkan padanya dan saat itu juga ia merasa terbakar.

"Lo ngomong seolah lo lupa, lo itu cuma mantannya Arkan. Bagian dari hidupnya Arkan yang harus dibuang jauh-jauh dan enggak pantes buat ingat. Kalo lo mau bilang lo itu mantan terindah, dunia juga tau kali yang terindah itu enggak bakal jadi mantan. Bukannya status lo harusnya bikin lo sadar? Lo itu udah gagal jadi orang yang sempurna buat Arkan. Inget itu."

Lea pergi, meninggalkan tatapan berapi-api Belva juga seluruh mata yang menatapnya.

•••

Gadis itu tersentak saat sebuah tangan melingkar dipinggangnya dan langsung berbalik secepat kilat guna mengetahui siapa yang kurang ajar memeluknya di siang bolong seperti ini. Ia menghela nafas dan memukul dada lelaki dihadapannya yang terkekeh lucu.

"Ngangetin tau enggak sih," Lea menatap kesal Arkan yang sudah menghancurkan suasana tenangnya ditaman belakang sekolah sendirian. Jujur saja Lea geli, ini pertama kalinya lelaki memeluknya selain ayahnya.

"Lagian kamu ngapain sih ngelamun ditaman sendirian? Sepi lagi, entar kamu kesambet gimana?"

"Biar—aduh sakit!" gadis itu mengaduh kesakitan saat Arkan mencubit kedua pipinya dengan gemas.

"Gemesin banget sih."

"Lepas," Lea melepas kedua tangan Arkan yang berada dipinggangnya dengan gerakan pelan, "Malu dilihatin."

Arkan menatap gadis itu lembut lalu melingkarkan kembali tangannya dipinggang Lea, "Kan cuma berdua, enggak ada yang lihat."

"Arkan ih."

"Enggak mau."

Lea memutar bola matanya dan pasrah saat Arkan bersikeras untuk memeluknya. Bahkan kini lelaki itu menaruh kepalanya dipundak Lea dan memeluk tubuh mungilnya dengan sangat erat.

Mau tidak mau, gadis itu melingkarkan tangannya dileher Arkan yang jauh lebih tinggi daripada dirinya.

"Lea," suara Arkan sangat pelan dan lembut, memberi kesan tersendiri bagi yang ia panggil.

"Hm?"

"Aku lihat kamu sama Belva tadi di lapangan dan aku denger apa yang kalian bicarain."

Lea tertegun, Arkan jelas bisa merasakannya.

Lelaki itu melepas pelukannya dan menangkup kedua pipi Lea dengan jemarinya. Ia tatap mata gadis itu sangat lembut yang jelas sangat menenangkan bagi pacarnya itu.

"Aku mohon sama kamu buat enggak kehasut sama apa yang dia bilang. Aku udah lama buang dia dari pikiran aku dan udah enggak bersisa apa-apa lagi," jelas Arkan dengan tegas, "Aku sayang kamu, jadi cukup dengerin dan percaya sama aku aja."

Lea menyadari saat ia tersenyum manis dan mengangguk lucu dihadapan Arkan, seolah mengiyakan ucapan lelaki itu. Tapi jauh dilubuknya, masih tersisa satu pertanyaanㅡapakah Arkan benar-benar bisa ia percaya? Hati dan pikiran orang siapa yang tau.

•••

perfect [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang