Menarik nafas dalam-dalam, Arkan berdiri dari duduknya, "Pa, selama ini Arkan selalu nurut sama apa yang papa minta. Nilai bagus? Arkan kasih. Sekolah terbaik? Arkan usahakan. Jadi anak yang harㅡwajib sempurna? Arkan lakuin. Bahkan tanpa papa kasih apa-apapun tetep Arkan turutin pa."
Arkan merasa matanya mulai memanas saat kedua lensa Marcus jatuh padanya dengan sangat datar. Entah kenapa ia merasa ayahnya itu tidak akan peduli pada apa yang akan ia katakan. Tapi Arkan belum mau menyerah karena bagaimanapun sebagai manusia biasa ia punya hak untuk memilih sendiri jalannya.
"Arkan anak bungsu, tapi kenapa Arkan justru ngerasa sebagai anak sulung? Kenapa? Karena papa cuma banggain kak Arvie dan mama cuma belain kak Alvie! Siapa yang peduli sama Arkan? Enggak ada! Padahal selama ini Arkan-lah yang nurut sama perintah papa!"
Dapat lelaki muda itu liat rahang ayahnya mengeras dalam seketika.
"Arkan manusia biasa pa," suaranya kian melembut, "Dikekang kayak gini Arkan jelas risih. Iya, Arkan tau itu untuk masa depan tapi enggak semua hal harus papa yang ngatur. Bukan berarti Arkan enggak suka papa atur, cuma... Papa kelewatan."
"Arkan!"
Arkan menoleh, mendapati wajah ibunya yang memerah padam diambang pintu. Tetapi ketika ia melirik lagi pada ayahnya, Marcus setia menatapnya dengan pandangan dingin yang susah untuk dijelaskan. Menusuk retina Arkan dengan tajamnya, membuat lelaki itu sedikit merasa waspada.
Chatterine, ibunya, mendekat pada putra bungsunya lalu menarik pundak Arkan agar mau menatap kedua matanya, "Kamu sadar sama apa yang kamu bilang ke papa? Hah?!" Bentaknya marah.
Arkan menunduk sesaat, lalu mengangkat wajah dan membalas tatapan marah ibunya datar, "Sadar, sadar banget ma."
"Kamu tau kamu enggak bolehㅡ"
"Biarkan," Marcus akhirnya membuka suara setelah beberapa saat, membuat sepasang ibu dan anak itu melihat kearahnya, "Biarkan dia ngomong apa yang mau dia bilang."
Arkan menghela nafas dan melepas tangan ibunya dari pundak, memandang kembali ayahnya dengan lensa menantang. Arkan tidak takut untuk kali ini.
Ia sudah dewasa dan masa depannya adalah haknya. Hal itu sudah didepan mata dan Arkan wajib mengusahakan yang terbaik untuk dirinya sendiri.
"Iya, papa betul. Arkan mau bertahan di negara ini karena Lea. Papa enggak salah, karena Arkan cuma punya Lea sebagai tumpuan Arkan satu-satunya! Karena papa sama mama bahkan kak Alvie dan kak Arvie-pun enggak bisa Arkan jadiin sebagai tempat Arkan singgah!" Geram Arkan.
"Papa dan mama tau? Arkan selama ini menderita dan enggak ada yang bisa dengarin Arkan. Arkan capek dengar mama dan papa hampir setiap hari berantem karena kak Alvie dan kak Arvie. Bisakah papa dan mama sekali aja berantem karena mikirin Arkan? Karena takut Arkan kenapa-kenapa? Dirumah ini, enggak ada siapa-siapa yang peduli sama Arkan. Mama terlalu mirikin kak Alvie dan papa terlalu sibuk sama kak Arvie. Arkan punya siapa? Cuma Lea, Riko, dan Kelvin. Dan mereka siapa? Mereka bukan keluarga Arkan tapi mereka bisa lebih peduli dan mikirin Arkan dibanding sama orang tua Arkan sendiri!"
Chatterine berkaca-kaca saat setetes air mata mengalir melewati pipi Arkan. Entah kenapa kata-kata dan air matanya membuat Chatterine merasa sakit sekali di ulu hati. Sebagai ibu normal ia sedih melihat anaknya seperti ini, memohon belas kasihan pada ayah dan ibunya sendiri. Sedangkan ayahnya hanya menatap Arkan dingin, malah terlihat kembali marah pada anak mereka itu.
Arkan menunduk lagi, menumpahkan seluruh air mata kekecewaannya. Hanya beberapa saat sebelum ia kembali mendongak dan melanjutkan kata-katanya, "Sekarang Arkan ngerti kenapa kak Alvie pergi dari rumah ini. Kak Alvie betul, papa egois! Papa cuma mikirin apa yang papa mau tanpa mikir gimana sulitnya. Diantara kami, memang cuma kak Arvie yang bisa mewujudkan maunya papa. Dan selamanya, cuma kak Arvie yang akan papa lihat. Kami? Arkan sama Kak Alvie? Kayak suatu hal yang tabu kalau papa membanggakan kami!"
"Cukup pa," Arkan menghapus kasar air matanya, bibirnya bergetar hanya untuk mengucapkan kalimat selanjutnya, "Arkan sudah dewasa. Biarin Arkan pilih sendiri jalan Arkan."
Arkan merasa ia sudah tidak sanggup untuk berada disana, jadi tanpa melirik ayahnya sama sekali lelaki tersebut keluar dari dalam ruangan tersebut. Pantaskah ia sakit hati pada perlakuan ayahnya?
Tidak tau, yang jelas ada rasa lega yang menghinggapi karena pada akhirnya ia berani mengungkapkan hal yang selama ini ia pendam dihadapan ayahnya sendiri, Marcus.
•••
Brak!
Lamunan Lea hancur dan ia sedikit terlonjak sebelum menoleh kearah pintu tersebut. Ia berdiri menghampiri Arkan yang berwajah frustasi disana. Dan tanpa aba-aba, Arkan memeluk tubuh kecilnya membuat Lea membenarkan bahwa ada hal yang tidak beres disini.
Dan penyebabnya sudah pasti ayah Arkan sendiri.
Lea menegang saat isak tangis terdengar dari bahunya, Arkan menangis disana. Tidak ada yang bisa Lea lakukan kecuali menepuk-nepuk pelan punggung Arkan agar ia lebih tenang.
"Maaf, aku cengeng," lirih Arkan, membuat Lea terkekeh dan memaksakan untuk mengulum sebuah senyum. Meskipun hatinya merasa khawatir setengah mati pada lelaki yang tengah memeluknya tersebut.
"Enggak apa-apa, asalkan kamu cengengnya ke aku. Bukan ke cewek lain," balas Lea guna menghibur Arkan. Dan Lea merasakan Arkan tertawa sebentar sebelum melepas pelukannya dan menatap dalam wajah Lea.
Lea mengangkat tangannya dan menghapus jejak air mata yang tersisa dikedua mata sipit itu, "Cerita?"
Arkan sudah menduga hal ini. Pasti Lea tidak akan membiarkannya memendam sendiri lagi.
Jadi tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali mengangguk, "Kita cari tempat yang bagus ya. Jangan disini."
•••
Percayalah adegan drama yang ada diatas udah aku tulis dari awal perfect di publish:D jadi kalo menurut kalian terlalu men'drama' maklumin yaa. Btw itu juga terselip curahan hati ku yang orang tuanya emh.... Ya gitu lah:D
Terima kasih!
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect [✓]
Short Storyhanya penggalan cerita usaha Lea menjadi gadis yang sempurna untuk berdamping dengan Arkan.