33

1.7K 198 7
                                    

Arkan benar-benar baru saja menginjakkan kakinya dirumah ketika sebuah suara didalam menyambut pendengarannya. Dan mood lelaki itu langsung turun drastis mendapati tubuh semampai Alvie dan Arvie duduk disana, diruang tengah rumahnya.

Tak luput, ayah mereka juga ikut berada ditengah-tengah mereka berraut tak enak. Dan Arkan tau situasi pasti sedang tidak bagus.

Arkan memilih untuk menyembunyikan tubuhnya dibalik dinding besar rumahnya agar bisa menguping pembicaraan mereka tanpa diketahui.

"Pa," Arvie kembali membuka pembicaraan, mengundang tatapan tidak suka Alvie kepadanya, "Biarin Alvie berbuat semaunya, percuma juga kan papa terus berusaha bujuk dia buat ngurus perusahaan kalau kenyataannya dia enggak mau? Arvie bisa sendiri buatㅡ"

"Perusahaan enggak mungkin cuma kamu sendirian yang ngurus Arvie!" Tegas Marcus, membuat kedua putranya itu diam, "Papa sudah makin tua, dan mungkin sebentar lagi akan pensiun. Papa pengen dua anak papa ini bangun kerja sama untuk memajukan perusahaan kita."

Alvie memutar matanya, jengah dengan drama yang dimulai ayahnya.

"Kita masih punya Arkan kalau laki-laki ini enggak mau ikut campur tangan, pa," sahut Arvie yang dihadiahkan sebuah tatapan tajam dari Alvie dan keheranan oleh Marcus.

"Apa setelah lulus SMA Arkan harus mulai kita ajarkan membangun perusahaan?" Tanya Marcus yang disetujui oleh Arvie melalui anggukan. Tetapi sayangnya, Alvie nampak tak setuju sama sekali.

"Biarin Arkan hidup bebas."

Arkan menegang ketika namanya disebut oleh Alvie dengan nada dingin. Tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih.

"Jangan buat dia stress lagi karena harus mulai mimpin perusahaan di masa mudanya," Alvie sanggup mengundang Marcus dan Arvie bingung bersamaan. Semenjak kapan Alvie yang jarang bertemu Arkan menjadi sangat perhatian dengan adik bungsunya itu?

"Cukup saya sama Arvie yang masa mudanya dibuang-buang buat kemauan anda," ujar Alvie pada Marcus, formal sekali layaknya seorang pemimpin pada client-nya, "Jangan Arkan juga dikorbanin cuma buat hal yang pasti udah bikin dia kesiksa."

Sedang Arvie dan Marcus terdiam, hanya mampu saling memandang dengan tatapan berbeda. Mereka sendiri tidak heran kenapa Alvie begitu formal berbicara pada Marcus karena pada kenyataannya Alvie memang tidak pernah menyebut ayahnya sendiri 'papa' seperti Arvie dan Arkan.

"Arvie yakin Arkan bisa," sahut Arvie kemudian, "Dia pintar dan cerdas, enggak mungkin buat urusan gini doang Arkan enggak bisa. Lagipula apa salahnya kalau Arkan kuliah sambil kerja?"

"Itu menurut lo," sangkal Alvie berwajah masam, "Emang lo enggak pernah mikir gimana stress-nya Arkan dipaksa-paksa kayak gitu, huh? Lo cuma mikir bagian enaknya doang, lo enggak mikirin gimana sulitnyaㅡ"

"Kak Alvie."

Ketiganya menoleh, mendapati si bungsu dengan wajah tak bisa terbaca berdiri jauh dari mereka. Arkan menampakkan dirinya ketika merasa Alvie sudah mulai memanaskan kembali suasana disana. Arkan tidak suka ketika hal yang memang sebenarnya ia rasakan dibicarakan didepan wajah ayahnya. Karena ia tau, ayahnya tidak akan pernah peduli apakah dirinya tertekan dengan keadaan seperti ini atau tidak.

Tapi sebagian hatinya senang, setidaknya Alvie peduli padanya meskipun mereka jarang bertegur sapa dan kakaknya itu selalu terlihat acuh padanya.

"Arkan mau bicara sebentar sama kak Alvie," kata Arkan sambil memandang Arvie dan Marcus bergantian. Sedangkan Alvie menaikkan sebelah alisnya heran.

Arkan memimpin, ia berjalan menuntun Alvie untuk pergi ke taman belakang rumah besar itu yang langsung dituruti oleh Alvie.

•••

"Bukannya Arkan enggak suka ada yang bela Arkan kayak tadi."

Alvie menyandarkan punggungnya dikursi taman tersebut, mendongak guna menatap langit sore itu yang cukup cerah. Arkan duduk disampingnya dengan wajah jengah.

"Cuma ya, Arkan enggak suka kalau kakak ngomongin itu didepan papa," sambung Arkan dengan nada lemah.

"Mau sampai kapan lo kayak gini?" Tanya Alvie, "Lo harus bisa hidup bebas Arkan. Hidup lo itu bukan buat jadi babunya dia!"

"Iya Arkan tau," balas Arkan lalu menghela nafas sebelum melanjutkan ucapannya, "Tapi kak, gimanapun usaha Arkan atau kak Alvie mau bilang ke papa kalau keadaan kayak gini bikin Arkan kesiksa, apa kakak lupa kalau papa enggak bakal peduli?"

"Iya," jawab Alvie mudah, "Sampai kapanpun dia cuma bakal liat Arvie sebagai anak kebanggaannya."

Arkan tersenyum, miris sekali.

"Lo tau alasan tiba-tiba gue sama Arvie ada dirumah ini dan duduk bareng papa disana?"

Adiknya itu menggeleng sambil memandangnya bertanya.

"Papa bakal mulai pensiun tahun ini," Alvie menyungging senyum miringnya, "Dan dia minta gue buat bantu Arvie untuk jalanin perusahaan. Dan gue nolak itu mentah-mentah."

"Kenapa?"

"Balik lagi, bukannya percuma gue ada disana kalau ujungnya cuma Arvie yang bakal dipuji sama dia? Cih, gue mending hidup kayak sekarang daripada harus makan hati sama omongannya," jawab Alvie, membuat Arkan menunduk karena bingung bagaimana cara membalas perkataan kakaknya.

"Dan Arkan,"

Arkan mendongak, dan kedua mata Alvie yang kini juga memandangnya langsung menyambut penglihatannya.

"Lo harus hati-hati karena kayaknya papa tau kalo lo udah punya gandengan baru."

"Sorry?"

"Pacar baru lo, setelah Belva."

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Duh baper dd 😭😭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Duh baper dd 😭😭

perfect [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang