"Kan ngelamun lagi," Lea menegur Arkan yang duduk disampingnya sambil menulis sesuatu dibuku. Awalnya Arkan memang menulis, tetapi lama-kelamaan lelaki itu justru diam dan tak bergerak sama sekali.
Di iringi desahan resah, Arkan melirik Lea dan menggeleng sesaat guna mengembalikan kesadarannya.
Mereka sedang berada dirumah Lea dengan niat belajar bersama. Tetapi nampaknya, hanya Lea yang belajar sendirian karena daritadi Arkan tidak dapat fokus sama sekali. Beberapa kali Arkan melamun, fokusnya terpecah pada sesuatu.
Jengah, Lea menutup bukunya kasar lalu memutar tubuh menghadap Arkan dan menjatuhkan tatapan pada lelaki yang duduk disampingnya itu, "Kamu kenapa sih?"
"Enggak," jawab Arkan singkat tanpa menatap Lea sama sekali.
Tapi Lea tau kalau lelaki itu berusaha menghindar dari tatapannya, "Bohong," hardiknya kesal.
Arkan mengulum senyum ketika mendapati wajah khawatir Lea yang justru membuatnya senang. Gadis itu mengkhawatirkannya, menunjukkan rasa peduli padanya.
"Nah, malah senyum-senyum sendiri," Lea mendengus, "Kamu itu kenapa? Cerita dong sama aku."
Tetapi Arkan tak bergeming, masih menatap gadisnya lembut dengan senyum yang tak lepas sedetikpun dari bibirnya. Tidak tau bahwa Lea gugup setengah mati ditatap selembut itu.
"AㅡArkan."
"Hm?"
"Kamu kenapa?" Tanya Lea sekali lagi.
Arkan lagi-lagi menggeleng, "Cuma... Ya... Mikirin ujian aja yang makin deket."
Dan dia masih enggak mau jujur sama gue, batin Lea dengan rasa penasaran yang sesungguhnya memuncak dalam benak dan hati.
"Udah ah, ayo belajar lagi," Arkan dengan tak rela melepas tatapannya dari gadis itu dan beralih untuk kembali membaca bukunya. Tetapi sesungguhnya ia memang berusaha untuk mengalihkan Lea dari rasa penasaran karena sikapnya yang ia sadari sangat aneh.
Belum sempat lelaki itu membaca penggalan kalimat yang ada dibuku, Lea lebih dulu menarik benda itu dan menutupnya lalu menumpukkan buku itu diatas buku lainnya. Arkan jelas langsung menatap gadis itu bingung, yang justru dibalas dengan tatapan datar.
"Jawab aku, Arkan! Kamu kenapa?" Paksa Lea dengan raut marah, kesal karena lelaki ini nampak menutupi sesuatu darinya.
Arkan menghela nafas, menundukkan kepalanya sesaat sebelum kembali mendongak dan menatap gadisnya dengan wajah tak terbaca.
"Arkan ya," Lea menarik jemari pemudanya dan menggenggamnya erat, "Aku udah nyoba buat selalu jujur ke kamu kayak yang kamu mau dan seharusnya kamu juga gitu ke aku. Jadi jangan nutupin apapun dari aku. Bilang, kamu kenapa?"
Dalam hati Arkan mengutuk dirinya sendiri. Benar, seharusnya ia melakukan hal itu juga pada Lea karena gadis itu sudah berusaha menetapi janjinya. Ia memang benar-benar payah dalam hal membalas perilaku orang.
Tetapi ini sulit.
Arkan tidak mau Lea tau tentang hal yang sedang mengganggu pikirannya dan membuat gadis itu khawatir. Entah sejak kapan, ia jadi sangat takut Lea mengetahui hal yang memang sengaja ia tutupi dari gadis itu. Bukannya Arkan tidak mau membagi pada Lea karena bagaimanpun gadis itu adalah pacarnya, hanya saja ia merasa belum siap jika Lea tidak bisa menerima kenyataan yang ada.
"Arkan..." Panggil Lea dengan suara lesu, berharap lelaki itu menjawab dengan sejujur-jujurnya.
Arkan memilih untuk tetap diam. Perlahan ia bergerak mengelus rambut Lea, mendorong kepala itu mendekat dengan wajahnya dan menyatukan ujung hidung mereka. Dari sini, ia menatap Lea tepat dikedua bola matanya yang membulat, terkejut dengan perbuatan Arkan yang tiba-tiba namun pelan.
Lea terbuai merasakan nafas lelaki itu dari jarak sedekat ini. Dan iris itu menusuk penglihatannya seolah ia adalah satu-satunya objek yang menarik untuk dilihat. Apalagi dengan jemari yang mengelus rambutnya sangat lembut, rasanya ia lupa cara bernafas seketika.
Keadaan menjadi hening karena keduanya menikmati waktu-waktu seperti ini, karena memang keduanya sudah mulai jarang memiliki waktu untuk berduaan mengingat kesibukan mereka mendekati ujian-ujian sekolah yang semakin dekat.
Arkan melihat jelas Lea memejamkan matanya dan ia memutuskan untuk tidak mengikuti gadis itu. Menatap Lea yang menutup kedua mata indahnya dari jarak dekat seperti ini sungguh membuat ia memuji berkali-kali lipat gadisnya.
Lea indah melebihi apapun, dan gadis indah itu miliknya. Hanya miliknya.
•••
"Darimana kamu jam segini baru pulang?"
Langkah kaki panjang lelaki semampai bernama Arkan tersebut berhenti tepat diundakan tangga yang paling tengah. Serta merta ia menoleh kearah bawah dan sedikit umpatan keluar dari bibirnya ketika mengetahui bahwa Marcus adalah orang yang tadi bertanya dengan nada sinis padanya.
"Rumah teman, pa," jawab Arkan dengan nada datar, setidaknya masih sopan.
"Kamu inget enggak sih ini jam berapa?! Ini jam tujuh malam Arkan dan kamu ada les private jam setengah tujuh tadi!"
Les private macem apa sih yang ngajarin tentang perusahaan doang hah?
Arkan bertanya pada batinnya dan sudah jelas tidak akan pernah bisa ia utarakan pada ayahnya ini. Bahkan bentakan keras yang dilayangkan Marcus tadi padanya adalah peringatan bahwa pria paruh baya itu meminta untuk dituruti.
"Daritadi Dhanis sudah nunggu kamu di ruang baca, kesana sekarang!"
Hell, itu nama orang kepercayaan Marcus yang usianya bahkan menyerupai ayahnya itu.
Sungguh, tubuh Arkan sangat lelah dan ia ingin sekali untuk cepat-cepat istirahat dikamarnya. Tetapi ketika Marcus sudah memerintah, tidak ada hal yang bisa ia lakukan kecuali menurut.
Melewati ayahnya yang menatap ia tajam, Arkan menegakkan kepala tanpa sedikitpun berniat melirik Marcus.
•••
Capek banget mas? Perlu saya peluk ga biar ga capek lagi? Hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect [✓]
Short Storyhanya penggalan cerita usaha Lea menjadi gadis yang sempurna untuk berdamping dengan Arkan.