Lea merangkul Audree yang berjalan disampingnya, "Lo tau, kesel gue gara-gara susah banget sumpah bujuk Arkan supaya mau makan di pinggir jalan."
Audree mengerutkan kening beberapa saat lalu mendelik, "Lo-nya aja yang bego. Ya kali anak orang kaya makanannya di tempat begituan. Mereka pasti mikir itu kotor secara kan dipinggir jalan."
Iya juga ya, batin Lea. Namun gadis itu mengangkat bahunya tak peduli dan kembali melanjutkan jalannya kearah kelas bersama Audree. Langkah keduanya berhenti saat tiga orang gadis yang jelas lebih tinggi daripada mereka dengan sengaja menempatkan diri dijalan yang akan dilewati Lea dan Audree.
Lea mendongak dan menghela nafasnya. Ia memutar mata malas saat mengetahui bahwa ketiga gadis itu adalah Belva, Vilza, dan Stephani.
"Apa lagi sih?" tanya Lea lengkap dengan nada melasnya.
Sudah dibilang, Belva dan genk-nya seperti menghantui Lea dimana-mana.
"Enggak sih," Belva menampilkan senyum meremehkan yang selalu ia pasang untuk menunjukkan betapa rendahnya gadis yang sekarang berstatus sebagai pacar dari mantannya itu, "Gue cuma mau kasih tau ke lo doang."
"Apa?"
Audree menyipitkan matanya saat menangkap Vilza memberikan handphone kepada Belva. Lalu ia menyapu seluruh keadaan sekitar yang kini terarah pada mereka berlima. Sungguh, Audree benci menjadi pusat perhatian dalam kejadian seperti ini dan Lea berhasil menyeretnya untuk berdiri disini.
"Gini ya kemarin lo maksa Arkan makan dipinggir jalan kan?" Belva mengotak-atik sebentar handphone dari Vilza, lalu menyodorkan benda itu pada Lea, "Arkan alergi makan dipinggir jalan kayak gitu dan lo udah berhasil bikin dia sakit hari ini. Dan lo tau? Hari ini dia ada pertandingan basket tapi sekolah kita terpaksa mundur karena kaptennya enggak ada! Lo tau betapa malunya sekolah kita ini, hah?!"
Seluruh orang disana nampak terkejut mendengar perkataan Belva, seolah itu adalah sebuah pengumuman buruk yang sangat penting. Ya, sekolah mereka memang nyaris tidak pernah absen dalam pertandingan basket setiap tahunnya dan Arkan yang selalu bersemangat dalam pertandingan ini juga ikut absen. Apalagi permainannya tahun ini paling dinanti-nantikan karena tahun ini adalah permainan terakhirnya sebagai murid di sekolah mereka.
Awalnya Lea tidak begitu terkejut melihat foto dirinya dan Arkan yang nampak dilayar ponsel Belva, namun setelah mendengar kalimat terakhir gadis sialan dihadapannya, perasaan khawatir dan bersalah langsung menggerogoti dirinya.
Seharusnya ia mengerti, seharusnya ia tau.
Arkan bukan laki-laki biasa yang bisa ia ajak kemana saja atau melakukan apa saja sesuai kemauannya. Lelaki itu istimewa, jika diibaratkan ia adalah pangeran dari sebuah kerajaan yang harus selalu dilindungi meskipun sangat mempesona dan membanggakan bagi rakyatnya.
Iya, Arkan seperti itu.
Dan seharusnya Lea tau, ia hanya satu dari sekian banyak orang yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan kesempurnaan sang pangeran.
Kedua tangan Lea mengepal dan matanya memerah ketika mendengar bisik-bisikan dari murid-murid yang berada disana tertuju padanya, dan itu semua menyudutkannya. Kebodohannya, semua orang membicarakan kebododohannya.
Belva tersenyum licik dan melipat kedua tangannya didepan dada, "Kalau udah kayak gini, lo mau tanggung jawab, hah?! Cewek macam apa lo yang enggak tau kalo cowoknya alergi?! Keegoisan lo udah jadi penyebab kesalahan fatal!"
Audree membelalak, tidak terima sahabatnya dibentak seperti itu ㅡseolah-olah Lea adalah penyebab dari semuanya, "Kan Lea enggak tau, jadi bukan sepenuhnya salah Lea dong! Lagian kenapa Arkan-nya mau mau aja? Kenapaㅡ"
"Dree," Lea menggeleng pelan dan menahan Audree yang sudah tersulut emosi. Gadis itu tatap Belva dengan matanya yang memerah ingin menangis dan mati-matian berusaha menahan malu, "Seneng kan lo udah berhasil permaluin gue kayak gini?"
"Oh, jelas. Lo emang pantes dipermaluin."
"Gue bakal tanggung jawab buat semuanya dan makasih buat," Lea menahan kalimatnya beberapa saat, "Makasih udah ngingetin gue."
Belva terbahak, menikmati wajah memerah Lea yang kini pergi dari kerumunan tersebut.
Audree mendelik kesal kearah Belva sebelum menyusul Lea.
Gadis itu menangis dalam langkah kakinya yang melaju entah kemana. Yang jelas ia ingin pergi dari sana. Ia malu, ia merasa bersalah.
Astaga, apa yang udah gue lakuin?
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect [✓]
Short Storyhanya penggalan cerita usaha Lea menjadi gadis yang sempurna untuk berdamping dengan Arkan.