Waktu berjalan cukup cepat. Pengumuman kelulusan sudah memastikan bahwa seluruh murid lulus seratus persen.
Audree mendapat beasiswa di salah satu universitas Bandung.
Riko dan Kelvin masuk ke salah satu universitas negeri di Jakarta.
Dan Arkan lulus test untuk universitas di Amerika.
Berbeda nasib dengan si manis kita, Tallea Ambarita.
Hari ini Lea turun dari kamarnya kearah dapur. Mendapati ibunya yang sedang memasak, Lea memeluk wanita itu dari belakang dan mengecup pipinya.
"Pagi, ma," sapa Lea dengan senyum manisnya.
"Eh udah bangun? Siang banget," sahut ibu Lea yang membuat anak gadinya itu mengerutkan kening.
"Hah?"
"Ini sudah masuk jam makan siang kalau kamu tau."
Lea melepas pelukan dari ibunya dan menggertakkan giginya. Bisa-bisanya ia tidur sampai sesiang ini. Semenjak lulus dari SMA dan menikmati libur panjangnya, Lea selalu melupakan waktu. Biasanya saja ia bisa tidur dari pagi hingga pagi bertemu lagi. Parah? Sekali.
Lea memilih berjalan kearah kulkas, lalu mengambil sebungkus yoghurt. Setelah membuka tutupnya, Lea mulai menikmatinya dengan sendok sambil bersandar dimeja dekat kulkas.
"Lea."
Lea berdehem.
"Soal kuliah kamu."
Gadis itu berhenti menikmati yoghurt-nya lalu menatap penasaran ibunya.
"Kayaknya kamu harus nunda satu tahun dulu."
Bukan itu yang ingin didengar Lea. Seharusnya ia mendengar kabar baik, misalnya ia mendapat beasiswa atauㅡ
"Mama enggak ada uang buat bayar kuliah kamu."
ㅡibunya punya uang untuk membayar kuliah.
Yeah, sepertinya Lea harus berhenti berharap dulu saat ini. Mengingat ibunya hanya memiliki toko roti yang penghasilannya belum tentu tinggi membuat Lea tidak lagi menyahut sebagai balasan. Toh sebagai anak pertama, ia harus bisa memaklumi keadaan yang menimpa keluarga.
"Kamu kan tau uang mama udah habis karena bayar iuran perpisahan kamu sama Ellen. Dan sebagian lagi mama pake buat biaya sekolah Ellen," wanita itu mencuci sayuran yang tadi ia potong, lalu melirik Lea guna melihat reaksi putri sulungnya tersebut.
Lea menggigit ujung sendoknya dan memilih untuk memandang lantai marmer yang ia pajaki.
"Ellen-kan maunya sekolah di SMA kamu. Sedangkan SMA kamu itu sekolah swasta, ya jadi mama harus ngeluarin uang lebih buat Ellen," jelas wanita tersebut.
"Iya ma," ujar Lea sebelum melangkah kembali kearah kamarnya. Meninggalkan ibunya yang hanya menghela nafas karena menyadari raut kecewa Lea.
•••
Taman kota sore itu cukup ramai oleh manusia-manusia yang sibuk melakukan aktivitas mereka masing-masing. Lea tertawa melihat anak-anak kecil yang bermain bersama-sama. Sesekali ia mencubiti pipi gembil anak-anak tersebut karena merasa sangat gemas. Taman ini berada tepat didepan toko roti ibunya dan Lea memang sering bermain kesini kalau toko sedang sepi.Lea memang mulai menjaga toko ibunya untuk mengisi waktu luangnya sebelum masuk ke bangku perkuliahan yang entah kapan itu.
Walaupun sedikit kecewa karena dirinya tidak bisa mengikuti teman-temannya yang mulai sibuk dengan jadwal kuliah, Lea tau bahwa ia harus menikmati dan membiarkan semuanya berjalan seperti apa adanya. Mungkin saat ini belum waktunya, Tuhan punya rencana lain untuk dirinya.
"Kak, tolong ambilkan buah mangga itu dong!"
Lea yang kala itu sedang bermain bersama anak kecil berusia 5 tahun menoleh. Mendapati anak laki-laki bersama beberapa temannya sedang memanggilnya sembari menunjuk pohon yang berukuran agak rendah itu.
"Ye elah bocah," Lea mendekat sambil berkacak pinggang, "Gitu doang kalian enggak bisa ambil?"
"Sombong nih kakak! Pendek aja belagu!"
Lea membelalakkan mata saat anak-anak tersebut tertawa meledeknya, "Wuih, kalian remehin gue ya? Mau berapa sih mangga, hah? Gue ambilin!"
"Semuanya!"
"Buset," Lea melirik kearah pohon tersebut. Dan ya, meskipun pohon ini berukuran rendah, tetap saja ia tidak bisa mengambilnya. Faktor tubuhnya yang pendek adalah masalah utamanya.
"Ayo kak, ambilin! Katanya bisa!" Sahut anak laki-laki tersebut memaksa.
Manjat enggak ya?, Lea menghembuskan nafasnya kemudian mendekat kearah pohon itu. Baru saja kakinya akan naik ke atas batang pohon tersebut, sebuah suara mengintrupsi gerakannya dan mampu membuatnya menoleh.
"Kalian kok nakal sih? Masa kakak secantik ini disuruh manjat pohon?"
"Habis kakaknya sombong sih kak!" Adu anak itu dengan wajah kesalnya.
"Idih," Lea mendecih.
Arkanㅡsi pemilik suara yang tadi menarik perhatian Lea tertawa. Ia berjongkok guna menyamakan tingginya dengan anak tersebut, "Sini biar kakak yang ambilin," dalam hitungan detik Arkan kembali berdiri.
Sorakan anak-anak terdengar melihat betapa menakjubkannya tinggi badan Arkan. Hanya dalam sekali jinjitan juga lompatan lelaki itu sudah berhasil mengambil buah yang mereka inginkan.
Lea jelas langsung terperangah. Hell, Arkan benar-benar tinggi, jauh sekali dengannya yang mungil ini.
Arkan menghentikan aksinya ketika merasa sudah mengumpulkan cukup banyak mangga yang anak-anak tersebut inginkan. Ia menyerahkannya pada anak-anak itu lalu mengulum senyum ketika mereka berlari menjauhi Lea dan Arkan.
Lea berdehem, membuat Arkan langsung menoleh padanya. Tanpa aba-aba ia memeluk manja tubuh Arkan dari samping dan mendongak untuk menatap wajahnya. Arkan menyambutnya dengan merangkul bahu gadis tersebut.
"Kok kamu tiba-tiba ada disini?" Tanya Lea penasaran.
"Kangen kamu," jawab Arkan dengan senyum lebarnya.
"Gombal," hardik Lea kesal.
"Jalan yuk?"
"Kemana?"
"Kemana aja asalkan sama kamu mah aku mau."
"Arkan!"
Arkan tertawa dan mencuri kecupan dari pipi gembil Lea yang memerah karenanya. Astaga, menggemaskan sekali.
•••
Yuhuuuu~~~
Guysss
Jadi begini, aku rencana mau tamatin ini nanti malam:D uyeyyyyy~~
Aku ada nulis sequel, but aku ragu untuk ngepublish-nya. Adakah yang minat?:D
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect [✓]
Short Storyhanya penggalan cerita usaha Lea menjadi gadis yang sempurna untuk berdamping dengan Arkan.