58

1.5K 186 28
                                    

"Jadi..." Lea menggantung kalimatnya yang seolah tertahan ditenggorokan, lalu beralih dari mata Arkan ke cappucino-nya yang tersaji diatas meja, "Kamu bakal kuliah di luar negeri?"

Arkan menangkap aura kecewa Lea dengan sangat baik dari intonasi suara dan wajahnya, "Aku berharap enggak karena kamu pasti tau aku enggak bisa jauh-jauh dari kamu," jawab Arkan.

"Terus?"

"Tapi kan kamu tau papa aku kayak apa. Meskipun aku udah berontak kayak gimanapun, aku enggak yakin dia bakal biarin aku kuliah atau kerja disini sebelum dapat ijazah dari universitas itu," jelas lelaki tersebut kemudian.

Lea menghela nafas berat. Bolehkah ia merasa sedikit kecewa? Arkan sudah terlanjur membuatnya jatuh dalam pelukan lelaki itu dan tidak bisa lepas sama sekali. Membayangkan bagaimana mereka harus menjalankan sebuah hubungan jarak jauh membuatnya tidak bisa berpikir dengan baik. Kemungkinan-kemungkinan seperti berselingkuh atau bahkan putus sudah tergambar didalam otaknya.

Ia hanya takut Arkan meninggalkannya. Ia juga takut jika jenuh menjalani hubungan seperti itu. Terlebih Lea sama sekali tidak berpengalaman.

"Lea," panggil Arkan yang membuat Lea menatapnya dengan iris datar, "Aku tau kamu pasti udah mulai mikir macem-macem."

"Enggak tau Arkan, tapi aku ragu buat LDR-an," balas Lea lemah lalu menundukkan lagi kepalanya, "Bayangan-bayangan kamu yang main sama cewek lain disana atau aku yang bosan sama hubungan kayak gitu langsung tergambar dipikiran aku."

"It's okay, semuanya bakal baik-baik aja kalau kamu percaya sama aku," Arkan mengusahakan sebuah senyum tergambar dibibirnya. Meskipun kenyataannya sama seperti Lea, ia ragu semuanya akan berjalan sesuai dengan harapan.

"Teㅡterus les kamu..."

Arkan menghela nafasnya, "Aku enggak tau lagi harus aku kemanaan ilmu yang aku dapet dari les itu kalau ujung-ujungnya papa malah nyuruh aku kuliah diluar negeri begini."

Mendengar nada frustasi disana, Lea memandang Arkan yang kini menunduk sembari meremas rambut hitam legamnya keras. Dan Lea merasa bahwa ia tidak pantas mengeluh ketika Arkan bahkan seperti orang stress memikirkan apa yang akan terjadi.

Seharusnya ia menyemangati Arkan, memberinya dukungan juga kekuatan agar lelaki tersebut diterima di universitas itu. Hey, siapa yang tidak mau kuliah diluar negeri? Bahkan Lea-pun yang akademis-nya biasa-biasa saja juga mau kalau mendapatkan tawaran menggiurkan itu.

Lea tersenyum lebar, meraih jemari Arkan lalu menautkannya dengan jemarinya. Arkan langsung menatapnya bingung ketika Lea yang tadi begitu resah kini terlihat begitu tenang.

"Kenapa?"

"Kamu harus semangat," Lea mengeratkan tautan jemari mereka, "Aku tau mungkin sulit, tapi aku yakin kamu bisa kok. Siapa yang enggak mau kuliah diluar negeri? Di universitas bergengsi lagi yang tiap tahun bangkunya selalu direbutin sama seluruh murid dibelahan dunia."

Arkan mengerutkan keningnya tidak mengerti.

"Arkan denger aku. Meskipun papa kamu kayak gitu, tapi dia tetap mau yang terbaik untuk anaknya. Coba kamu ambil sisi positif dari sikapnya itu, pasti kamu bakal ngejalanin semuanya sambil senyum. Bayangin, di masa depan kamu punya rumah yang bagus, mobil yang mahal, perusahaan yang sukses, terus istri yang cantik. Beuh, nyaman dah tuh hidup," Lea jadi benar-benar membayangkan bagaimana kehidupan lelaki ini dimasa depannya yang cerah, "Disaat kayak gitu, kamu harus ingat ada papa kamu yang selalu berusaha menjadikan kamu yang terbaik."

Mata Arkan berkaca melihat wajah berbinar Lea, membuat seluruh ketakutannya hilang entah kemana. Gadis itu selalu saja punya cara untuk menghiburnya agar ia bisa berpikir lebih tenang. Seolah mengatakan ketakutan yang Arkan alami tidak akan berarti apa-apa.

"Aku yakin," Lea tersenyum lebar, "Kamu bisa."

Lelaki tersebut menarik tangan Lea yang duduk dihadapannya agar berdiri dan berpindah kedekatnya. Pada akhirnya Lea jatuh diatas pangkuan Arkan dan Ia tidak tahan untuk tidak memeluk tubuh mungil itu gemas. Membenamkan wajah tampannya didada Lea, membuat Lea mengelus rambut lelaki tersebut sayang.

"Dan aku mau," gumam Arkan yang didengar baik oleh Lea.

"Hm?"

"Kamu yang kelak bakal jadi pendamping aku, perempuan yang bakal terus ada disaat aku senang maupun sedih."

Lea jadi terharu sendiri mendengarnya, namun sebisa mungkin ia tahan air matanya.

"Tallea Ambarita cuma milik Arkan Damopoli Durand seorang," katanya posesif.

Gadis itu mencium kepala Arkan lembut, "Ya, pasti."

•••

"Tumben lo datang kesini," Alvie menaruh sekaleng soda didepan Arkan. Lalu duduk disofa yang berada tepat dihadapan adiknya tersebut. Masih dengan rasa penasaran ketika Arkan tiba-tiba malam ini datang ke apartement-nya padahal mereka tidak benar-benar dekat seperti adik dan kakak lainnya.

Arkan memandang Alvie sebentar lalu beralih pada kaleng sofa, "Arkan enggak mau pulang ke rumah. Enggak mau juga ke rumah kak Arvie."

Alvie yang kala itu akan meneguk sodanya berhenti dengan kening yang mengerut bingung. Ia tidak salah dengar? Adiknya yang rajin juga selalu betah belajar dirumah itu tidak mau pulang? Dan tidak mau datang ke rumah kakak kesayangannya?

"Dunia sudah terbalikkah?" Tanya Alvie basa-basi, membuat Arkan bingung.

"Maksudnya?"

"Ada angin apa lo yang selalu betah dirumah dan rajin ke rumah Arvie mendadak datang ke apartement gue?" Alvie benar-benar meneguk sodanya sebelum melanjutkan kalimatnya, "Ada sesuatu yang terjadi di rumah?"

Tepat sasaran, wajah Arkan langsung muram seketika. Dan Alvie membenarkan tebakannya ketika raut itu nampak.

"Oh, kali ini apalagi?"

Arkan menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya kasar, "Arkan enggak bisa cerita sekarang kak."

Alvie melirik Arkan lalu mengalihkan pandangannya kearah lain.

"Tapi, bolehkah malam ini Arkan tidur disini? Arkan enggak mungkin terus-terusan nginap dirumah Lea."

Alvie tersenyum simpul sebagai tanggapannya. Cih, manusia, hanya datang ketika ia butuh dan pergi ketika kebutuhannya sudah terpenuhi.

Arkan menangkap dengan baik ekspresi sinis kakaknya dan rasa tidak yakin ia akan diperbolehkan tidur disini menguar begitu saja.

"Ada kamar tamu disamping kamar gue. Kosong. Gih."

Arkan memandang Alvie, "Pinjem baju sekalian ya."

Alvie memutar mata jengah, "Malah minta lebih. Ambil dikamar gue yang pas sama lo."

Adiknya itu langsung mengangguk lalu pergi dari hadapannya. Meninggalkan Alvie yang menggeleng-geleng sambil terkekeh.

•••

Menjelang ending? Wakkakaka 😂🌚

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menjelang ending? Wakkakaka 😂🌚

perfect [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang