Kenapa tadi dia enggak nyusulin gue? Emang dia enggak cemburu gitu liat gue sama Revand? Siapa lagi yang kasih tau kalau gue ada disini? Huft.
Lea tadi sangat berharap Arkan akan menghampirinya, menariknya dari dalam sana dan mengajaknya untuk berbicara empat mata. Meminta maaf dan menceritakan segalanya padanya. Tapi harapan hanya tinggal harapan, nyatanya Arkan malah masuk kembali kedalam mobilnya tanpa berniat untuk menariknya.
Sial sekali.
"Lo sama Arkan udah putus?" Tanya Revand, memecahkan lamunan Lea lalu menyeruput es moccacino-nya santai.
Mereka saat ini berada di cafe setelah mendapatkan buku yang dicari Revand. Tadi lelaki itu melihat ada Arkan disekitar toko tersebut dan ia tengah beradu tatap dengan Lea. Anehnya Arkan malah pergi, jadi Revand sedikit penasaran kenapa lelaki itu tidak mendatangi Lea yang jelas-jelas adalah pacarnya.
Lea mengangkat bahunya, "Enggak tau."
Revand mengerutkan dahinya, menaruh gelas yang tadi ia pegang keatas meja, "Kenapa sih? Cerita aja kali sama gue."
Gadis itu menggeleng dengan senyum tipisnya sebagai jawaban.
"Ya sudah kalau lo enggak mau cerita," kata Revand akhirnya mengalah. Ia sangat menyadari kalau ini bukan urusannya. Jadi ia tidak punya hak apa-apa untuk mengetahui lebih dalam tentang Lea dan Arkan.
Toh, memangnya ia siapanya Lea?
Revand tertawa miris dalam hati, pantaskah ia bertanya seperti itu? Sebuah pertanyaan yang seolah berharap pada Lea.
Hening.
Nada musik klasik menguasai atmosfer cafe tersebut. Lea sibuk meminum pelan-pelan cappucino-nya sembari menelisik kearah luar karena memang mereka berada didekat kaca cafe tersebut. Sementara Revand hanya diam menikmati musik mellow yang mengalun dari penyanyi perempuan yang berada didepan sana.
"Semusim telah kulalui, telah ku lewati..."
Revand menoleh, menatap gadis dihadapannya yang bergumam namun terdengar seperti nyanyian. Meskipun pelan, tapi telinganya tidak tuli untuk menangkap nada yang keluar dari bibir cherry Lea.
"Tanpa dirimu, tetapi bayang wajahmu..."
Buat siapa? Tanya Revand pada dirinya sendiri.
"Masih tersimpan dihati.."
"Lea."
"Ya?"
"Gue tau lo punya Arkan," Revand menatap Lea tepat dibola matanya, "Tapi, bisa enggak lo kasih gue kesempatan buat buktiin kalau gue enggak kalah layak sama Arkan buat dampingin lo?"
Pada akhirnya, Lea hanya tertegun dengan rasa terkejut menguasai dirinya.
•••
Sementara itu dentuman musik terdengar keras memekikkan telinga didalam tempat tersebut. Sebagian manusianya sudah kehilangan kesadaran, larut dalam minuman yang memabukkan dan membantu melupakan sejenak masalah yang sedang menimpa. Sebagian lagi sibuk menari, mengikuti irama musik seperti orang yang hilang kewarasan.
Dan dipojok kiri ruangan, Arkan duduk disana bersama Kelvin disampingnya. Daritadi Kelvin hanya memandangi sahabatnya itu dan menjadi pendengar baik racauan Arkan tanpa berniat menjawabnya. Toh, dirasa percuma juga menyahut kalau orangnya saja kehilangan kesadaran.
Dalam hati Kelvin masih bertanya-tanya bagaimana mungkin Arkan yang notabennya adalah murid paling membanggakan disekolahnya yang selalu mencontohkan perilaku-perilaku baiknya pada masyarakat sekolah kini berada didalam club. Dan dalam keadaan mabuk.
Meskipun ia bertahun-tahun bersahabat dengan Arkan, bukan berarti Kelvin ingin menjerumuskan Arkan kedalam dunia yang sama dengannya. Kalau sekedar mengajak saja pernah. Tapi itu dalam kawasan bercanda karena ia tau Arkan tidak akan mau mengiyakan ajakannya dan Riko.
"Lo tau Vin? Gue cowok paling menyedihkan yang ada didunia ini," racau Arkan pada Kelvin yang duduk disampingnya sembari menunjuk dirinya sendiri.
Kelvin memutar mata lalu menyenderkan punggungnya di kepala sofa. Entah perkataan itu sudah berapa kali Arkan ulang. Tapi Kelvin mengerutkan keningnya saat Arkan menundukkan kepala seperti memikirkan sesuatu. Namun Kelvin tau sahabatnya tersebut bukan berpikir karena kesadarannya memang sudah hilang.
"Gue pengen terlahir kembali dan enggak jadi orang yang kayak gini," racau Arkan kesekian kalinya, nadanya sedikit melemah saat ini, "Gue pengen jadi kayak kak Arvie yang selalu dipuji papa atau kak Alvie yang dinomor satukan sama mama."
Kelvin merangkul pundak Arkan dan menepuknya beberapa kali. Ucapan Arkan kali ini jauh berbeda daripada sebelumnya, karena tadi Arkan hanya menyebutkan bahwa ia adalah lelaki yang menyedihkan.
Arkan tertawa miris untuk dirinya sendiri, "Gue pengen lahir dikeluarga biasa aja kalau itu bisa bikin gue bahagia. Gue pengen hidup kayak orang-orang kebanyakan. Gue capek dikekang!" Bentak Arkan entah pada siapa dan untuk siapa.
"Gue tau," gumam Kelvin. Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali mendengarkan dengan seksama.
"Satu-satunya yang gue punya, Lea," Arkan meremas rambutnya frustasi, melampiaskan segala-galanya disana, "Dan dia mulai makin jauh dari gue. Shit."
"Arkan."
Kelvin maupun Arkan mendongak. Kelvin tidak perlu heran ketika langkah Riko mendekat kearahnya bersama Lea dibelakang karena memang ia yang menyuruh Riko untuk membawa gadis itu kesini. Bagaimanapun Arkan tidak akan pulang kalau bukan Lea sendiri yang menariknya.
Dan Arkan, dengan matanya yang berkunang-kunang menatap gadis tersebut. Anehnya ia malah mengulum sebuah senyum tipis. Dalam pikirannya, ia menganggap sosok Lea yang berdiri disini adalah sebuah halusinasinya.
Plak!
Iya, halusinasi sebelum Lea menampar pipi lelaki itu keras.
•••
Ku tadi hampir saja kehilangan mood menulis wkakakakakakakk.
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect [✓]
Short Storyhanya penggalan cerita usaha Lea menjadi gadis yang sempurna untuk berdamping dengan Arkan.