Enjoy with my story☕
_____________________________________
Aku bergegas melangkah, merasa langkahku sudah cukup cepat. Namun, sepertinya nasib baik belum berpihak padaku. Gerbang sekolah sudah tertutup rapat. Sebagai tambahan nasib sial, seorang siswa yang juga terlambat tanpa sengaja menyenggolku, membuat beberapa buku yang kugenggam jatuh berserakan."Kalau jalan pakai mata, jangan pakai dengkul!" ketusku pada siswa itu.
"Di mana-mana, jalan itu pakai kaki, bukan pakai mata!" balasnya ketus.
Seketika emosiku tersulut. "Udah tahu salah, nyolot lagi! Bukannya minta maaf atau bantuin beresin buku kek, ini malah nyolot! Dasar Otak Udang!"
Tak terima dikatai Otak Udang, dia membalas tajam, "Kalau ngomong difilter dulu, jangan asal nyerocos! Tadinya saya mau bantu, tapi setelah dipikir-pikir, ngapain juga nolongin mulut pedas kayak kamu? Gak penting dan gak guna!"
Kekesalanku memuncak. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam amarah yang menguasai hati. Namun, rasa kesal itu tak juga mereda.
Sambil menggerutu, aku memunguti satu per satu buku yang jatuh berserakan. "Pagi yang buruk. Telat bangun, telat ke sekolah, dan sekarang ketemu Otak Udang. Belum lagi kena hukuman setelah ini. Benar-benar hari yang buruk!"
Bunyi peluit Pak Rudi terdengar nyaring, membuatku menghela napas pasrah. Aku tak mampu berkata-kata lagi. Satu-satunya pilihan yang tersisa hanyalah pasrah menerima keadaan.
"Yang telat, silakan berbaris di halaman!" teriak pak Rudi, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.
Aku berjalan menuju halaman dengan sedikit gontai. Baru kali ini aku terkena hukuman. Rasanya cukup menyebalkan. Namun, ada yang lebih menyebalkan dari itu.
"Urusan kita belum selesai. Ingat itu!"
Aku terkejut sekaligus kesal. Lelaki yang ada di sebelahku ternyata si Otak Udang—ya, hal inilah yang lebih menyebalkan daripada hukuman yang kuterima.
"Harusnya aku yang ngomong kayak gitu, bukan kamu!" ketusku.
"Siapa suruh tadi jalannya buru-buru?!" balas si Otak Udang, tak kalah ketus.
"Eh, Otak Udang! Aku buru-buru karena udah telat. Kamu aja yang gak liat-liat kalau jalan, main tabrak aja!" sahutku sengit.
"Hei, kalian! Baru masuk sekolah udah telat, sekarang malah ngobrol lagi. Mau ditambah hukumannya?! Kalau mau temu kangen, nanti di kelas, jangan di sini!" bentak Pak Rudi.
Seketika aku diam seribu bahasa. Aku tak mau hukumanku bertambah.
Bener-bener pembawa sial nih cowok, sampai dibentak gini sama Pak Rudi! batinku kesal.
Setelah selesai menjalani hukuman, aku segera bergegas menuju kelas baruku.
"VIII-C, VIII-C, VIII-C ... mana, ya?" Aku terus menggumam sambil menelusuri koridor, mataku mencari plang kelas yang sesuai.
"Nah, ini dia." Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya aku menemukannya.
Aku melangkah masuk, memperhatikan sekeliling. "Kelihatannya belum ada guru." Belum sempat aku duduk, seseorang dari bangku paling belakang tiba-tiba berseru keras.
"Hei, Mulut Pedes! Ngapain ke sini?!"
Aku menoleh dan—ah, sial—ternyata si Otak Udang lagi!
"Ngapain? Aku mau gadein otakmu biar ada gunanya. Terus cari Dragon Ball, abis itu kitab sucinya Sun Go Kong. Setelah itu, cari Doraemon supaya bisa minjem baling-baling bambu sama meriam anginnya buat ngalahin Pain. Jelas?! Atau perlu diperjelas?!" jawabku santai, menikmati ekspresi kesalnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pil Pahit Hijrahku
Spiritüel⚠️Zona campur aduk; baper, kesel, sedih, kocak, bahagia, semuanya bersatu. _________________________________________ Rasya Hanifah. Seorang gadis yang kerap kali dipanggil Echa itu memiliki kisah yang cukup unik. Berawal dari ia yang telat ke sekola...