7,1 - missed calls

397 92 29
                                    

DESAHAN panjang keluar dari bibir Galileo. Pemuda itu meletakkan ponselnya di dasbor, kemudian menyalakan mesin mobil. Leo baru saja menelepon Calista dan nadanya sibuk, panggilan kedua hanya ada nada sambung, panggilan ketiga bernada sibuk lagi. Leo menyerah dan membiarkan benda pipih itu tergeletak di dasbor. Satu jam yang lalu, sebelum jam pulang kantor, Leo sudah mengirimkan pesan, tapi balon percakapan hanya terbaca, tanpa balasan. Biasanya, Leo menanggapi hal tersebut dengan kepala dingin. Memang bukan hal baru, Calista sering lupa membalas pesan, atau menelepon balik kalo gadis itu sedang sibuk atau tidak bisa diganggu.

Tapi hari ini Leo berbeda.

Padahal, rencana Leo hari ini adalah mengajak Calista makan lontong kupang. Sudah lama ia ngidam makanan tersebut tapi tidak juga terpenuhi karena dua alasan: tidak sempat, atau bapak penjualnya libur ketika Leo ada waktu senggang.

Rupanya rencana hanyalah wacana.

Ponsel itu berdering. Leo menyambarnya dengan antusias. Namun air mukanya mencelos begitu melihat nama Sammy sebagai penelepon.

"Apa?"

Sammy misuh dari seberang. "Anjir, gue belum bilang halo kenapa lo udah galak aja sih."

"Udahlah jangan banyak bacot, ada apaan?" Leo hari ini tidak ingin bergurau.

Sammy mendengus pendek. "Gue cuma mau nanya, lo laper nggak? Gue delivery piza salah pesen yang gede. Mana abis gue makan sendirian."

"Ya udah gue otw."

"Nitip rokok ya, Yo."

"Nggak."

"Bir deh. Dua kaleng aja."

"Berisik ya lo." Leo menutup telepon tanpa menunggu sahutan dari Sammy. Kemudian ia melempar pelan ponselnya ke jok penumpang.

Sepanjang jalan menuju apartemen Sammy, Leo membiarkan radio mobilnya cuap-cuap soal informasi lalu lintas meskipun ia sama sekali tidak butuh. Yang ingin Leo dengar adalah suara Calista, bukan penyiar yang merepet mengenai macet dan kecelakaan beruntun Xenia dan minivan.

Leo memarkir mobilnya dan segera berjingkat ke apartemen Sammy. Di ruang tengah, sambil menyalakan layar proyektornya, Sammy mengunyah piza; menyaksikan film Me Before You. Leo mendesis melihat sentimen temannya tersebut.

"Lagi? Udah berapa kali lo nontonin itu?" Leo menyodorkan kantung plastik berisi dua kaleng milo dan satu air mineral.

Sammy mengangkat bahu. "Seribu kali?"

"Gila."

"Gue cuma mau belajar."

Leo mencomot sepotong piza, "Belajar apaan?"

"Belajar seikhlas Lou," jawab Sammy, lalu mengambil satu kaleng milo dan membuka kaitnya. Ia tak protes meskipun Leo membelikannya minuman cokelat dan bukan bir sesuai pesanannya.

"Iris kan nggak mati kayak Will Traynor, Sam."

Sammy nyengir hambar. "Tapi efek ditinggalinnya kan sama aja, Yo."

Leo termenung sebentar.

"Ditinggalin, entah meninggal, entah putus, kalau hilang komunikasi dan keberadaannya udah nggak ada lagi, ya tetep aja rasanya sama. Hampa."

"Sam," panggil Leo.

"Apa? Lo mau ngatain gue sakit jiwa pascaditinggal Iris?" tuduh Sammy, menelan pizanya lalu mengambil sepotong lagi.

Leo tertawa kecil. "Iya itu juga bener, sih, tapi bukan itu yang mau gue tanyain."

"Terus?"

"Kalau seandainya, lo masih sama Iris—"

ROSYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang