✨
"NGGAK, Ma. Bukan."
Ini sudah kesekian kalinya Dylan harus menjawab pertanyaan ibunda soal gadis yang tiba-tiba mendekati Dylan seusai acara kebaktian tadi pagi. Gadis itu berambut ikal, sepundak, dan memakai terusan hitam yang manis. Berulang kali Nyonya Santoso alias ibu Dylan, menyelidik, bertanya apakah gadis itu pacar Dylan.
"Terus siapa? Gebetan kamu? Mantan kamu?"
Kenapa ya, ibu-ibu tuh suka banget bertanya ala tembakan kanon? Bertubi-tubi. Dylan meninggikan volume teve, memilih untuk mengabaikan pertanyaan sang ibu. Padahal, kalau mau Dylan jujur, gadis di gereja itu bukan siapa-siapa. Dylan bahkan tidak kenal walaupun gadis yang mengaku bernama Inneke itu bilang kalau dia adik angkatan Dylan; satu fakultas, beda jurusan.
Masalahnya, Dylan ini termasuk mahasiswa yang suka mengulur-ulur waktu kelulusan. Jika sesuai dengan target, harusnya Dylan sudah lulus dan meninggalkan kampus tahun lalu. Tapi Dylan masih betah ngendon di kampus. Yah, tapi tentu saja itu tidak berarti Dylan tahu satu persatu adik angkatannya. Apalagi beda jurusan.
"Dylan,"
"Apa lagi, Ma?"
"Kamu masih main band sama Jeff, kan?" tanya sang Mama. Dylan mengecilkan volume teve, menyembulkan kepala dari sofa dan menoleh ke arah ibunya yang sedang sibuk menguleni adonan dengan tangan.
"Masih. Kenapa?"
"Itu, kemaren Mama ketemu sama Bu Marisa terus katanya beliau mau ada acara nikahan gitu buat anaknya yang sulung dan minta diisi band buat hiburan. Kira-kira kamu sama bandmu, mau nggak?"
"Mau dong, Ma!" Dylan langsung berseru reflek. Air mukanya berubah, ia tampak berbinar-binar.
Mama Dylan tersenyum, "Anak Mama yang satu ini, memang ya.."
Dylan nyengir. "Mau kontaknya tante Marisa dong, Ma. Biar Dylan aja yang langsung ngabarin kalau udah diskusi sama anak-anak."
Mama Dylan mengelap tangannya ke ujung celemek, lalu mengambil ponsel dari saku celana. "Mama kirim via whatsapp ya, Lan."
"Oke, Ma."
Setelah ponselnya berdenting tanda pesan dari Mamanya sudah masuk, Dylan mematikan teve dan beranjak dari ruang tengah untuk masuk ke dalam kamarnya. Tak berapa lama, berbalut jaket yang sepertinya baru ia ambil dari lemari, Dylan menghampiri Mamanya, mengecup pipi wanita paruh baya tersebut dan berpamitan. "Dylan ke tempat Jeff dulu ya, Ma."
"Jangan kesorean ya, pulangnya."
"Siap."
Dylan berjingkat cepat. Mamanya setengah berteriak, "Kalau sempat, nanti malam jangan lupa dibenahin skripsinya, Dylan!"
"Iyaaaaaaaaa." Dylan menyahuti, lalu terdengar suara pintu tertutup. Tak lama, suara knalpot motor Dylan yang berderu nyaring. KLX 150 hijau miliknya menghilang ke jalanan bersamaan dengan debu yang terhempas angin.
Mama Dylan tersenyum. Netra gelapnya menyusuri rak di ruang tengah, lalu tertuju pada satu pigura di mana Dylan tergambarkan duduk di belakang set drum, tertawa lebar. Sampai-sampai, setiap kali melihat foto itu, seolah terdengar tawa khas dari Dylan. Anak laki-lakinya itu selalu tampak bahagia kala bermain musik. Dylan tak pernah terlihat murung jika sedang menggebuk drum, memainkan simbal dan melantunkan lagu.
Mama Dylan mengembalikan konsentrasinya pada adonan, masih dengan senyuman di wajah. Banyak ibu-ibu kompleks yang sering bertanya kapan Dylan akan diwisuda, karena kebanyakan teman sekolah Dylan sudah melangkah ke dunia kerja. Mama Dylan tidak pernah ragu menjawab: Dylan is doing his best, as long as he's happy, I'm okay with it.
Bagi Mama Dylan, pendidikan memang penting. Tapi tidak lebih penting dari kebahagiaan dan keputusan yang dibuat oleh Dylan. Anaknya itu bukan lima tahun lagi, beliau yakin Dylan sudah memikirkan matang-matang sebelum mengambil keputusan, juga dengan konsekuensi dan risiko yang akan muncul nantinya. Keluarga Santoso memang sangat demokratis tentang pilihan yang berkaitan dengan keinginan dan kebutuhan para anggota keluarga. Mulai dari hal kecil seperti pilihan cat kamar, menu makan malam, tujuan liburan akhir pekan, sampai hal-hal yang cukup penting layaknya jurusan kuliah, pekerjaan, dan pasangan hidup.
Dylan menyeberang.
Ia mematikan mesin motor begitu ia sampai di kompleks kos-kosan elit di mana Jeff tinggal. Sebenarnya, sampai saat ini Dylan masih tidak paham dengan cara pikir Jeff yang menurutnya agak aneh. Buat apa kos kalau keluarganya ada di kota yang sama? Jeff bukan anak rantau. Kediaman keluarganya terletak sekitar dua puluh menit dari kos-kosan ini.
Kata Jeff, dia ingin mandiri. Tapi ibunya tidak memberi ijin kalau Jeff harus tinggal di apartemen. Menurut beliau, lebih aman kos-kosan. Setidaknya, ada orang lain yang tinggal di bawah atap yang sama, sehingga kalau terjadi sesuatu bisa langsung ditangani. Berbeda dengan apartemen yang cenderung individualis. Pendeknya sih, ibu Jeff cemas kalau anak laki-laki tersayangnya itu kenapa-kenapa. Itu sebabnya Jeff justru tinggal di kos-kosan elit seperti ini.
Dylan memutar kenop pintu, tanpa mengetuk dan langsung ngeloyor masuk. "Cuy."
"Anjir, kaget!" teriak Jeff yang tidak menduga kedatangan Dylan. Laki-laki yang baru datang itu langsung menjatuhkan diri ke kasur, "Gue kan udah whatsapp."
"Gue nggak cek," Jeff menyahuti, lalu kembali pada layar laptopnya.
Dylan melongokkan kepala. "Apaan?"
"Skripsi. Minggu depan gue sidang."
"Oh."
"Progres skripsi lo gimana?" tanya Jeff, mengangkat mok berisi kopi yang sudah dingin. Dylan menggumam pendek. "Ya, gitu. Dosen gue masih di luar kota."
"Kemaren dosen lo sakit, sekarang dosen lo di luar kota. Minggu depan lo mau pakai alesan apa?"
Dylan berdecak. "Iya, iya, gue besok ke kampus."
"Jadi ada apaan lo ke sini?"
"Ada temen nyokap mau ngadain nikahan anaknya, butuh band buat pengisi acara hiburan. Menurut lo gimana?" tanya Dylan, ia duduk bersila di atas kasur. Jeff menimpali, "Kapan?"
"Belom nanya. Rencananya gue mau ngehubungin orangnya kalau lo sama Leo udah fix oke," Dylan menarik guling lalu menjadikannya alas agar sikunya bisa bertumpu.
"Coba lo tanya Leo dulu. Gue oke aja asal nggak nabrak sama jadwal sidang gue," jemari Jeff menari di atas keyboard laptopnya, sesekali mengerutkan kening dan membetulkan dokumen yang panjangnya sekitar 90 halaman tersebut.
"Lo udah makan?" tanya Dylan.
Jeff berhenti mengetik. Ia menoleh reflek ke arah Dylan. "Jangan nanya gitu ah."
"Hah, kenapa? Kan gue cuma nanya?" Dylan menyalak, merasa tidak ada yang salah dengan pertanyaannya. Pundak Jeff bergidik, ia berkilah, "You sound like her."
"Siapa?"
"Siapa, lo nanya?"
"Iya, siapa? Lo mana pernah cerita soal cewek sih, Jeff," keluh Dylan.
Jeff mengibaskan tangannya, lalu kembali pada laptop. "Ada. Cewek. Tau ah, siapa."
"HAH?" Dylan makin tidak mengerti arah pembicaraan Jeff.
"Duh, lo laper? Pesen go-food deh, gue yang bayar. Asal lo jangan berisik, gue mau beresin skripsi gue malem ini juga. Oke?"Jeff menunjuk dompet dan ponselnya yang terletak bersebelahan di atas nakas, di samping tempat tidur.
Dylan nyengir. "Lo nggak makan juga?"
"Nggak, males."
"Kopi?"
"Oh, kopi boleh tuh."
- - -
KAMU SEDANG MEMBACA
ROSY
Ficción GeneralAgni Samandriel - mostly known as Sammy - decided to join Leo's band to heal his brokenheart, to forget the girl who used to be his world. But it's not gonna be easy. Copyright ©2018