✨
TELEPON dari Leo baru saja berakhir. Dylan menelusupkan ponselnya ke saku, dan menghampiri Sammy yang hari ini menawarkan diri untuk datang ke rumah Dylan alih-alih dijemput di apartemen. Pemuda itu naik sepeda sejak pagi karena memang sengaja supaya ia tahu alamat rumah Dylan, sekaligus olah raga. Diam-diam, Sammy melakoni yang dianjurkan Leo.
"Leo nitip sesuatu, jadi kita harus mampir kantor dia," kata Dylan.
Sammy manggut-manggut saja.
Tiba-tiba, dari arah pintu depan, seorang gadis manis dengan blus kuning muncul membawa buket berisi chiki yang dibungkus dengan plastik mika bercorak bunga-bunga. "Dylaaaaaan!"
Sammy dan Dylan menoleh bersamaan. Gadis yang berteriak itu langsung terlonjak kaget karena keberadaan Sammy. Ia bahkan mundur dua langkah secara reflek.
Dylan mengerutkan kening. "Apa sih, dateng langsung teriak-teriak? Bukannya bilang assalamualaikum."
"Bilang assalamualaikum juga ngapain, emangnya bakal kamu jawab? Dasar cah gemblung. By the way, kamu mau ke Jeff, kan? Nitip hadiahku, ya. Sebagai ucapan selamat udah lulus," gadis itu menyodorkan buket chikinya pada Dylan.
"Emang nggak bakal gue jawab sih. Tapi ini ada Sammy, kali aja dia bakal jawab." Dylan nyengir.
Netra Aisya berotasi sebal. Ia bahkan tidak tahu siapa laki-laki yang berdiri di samping Dylan, mengenakan kaus berlengan panjang dan memperhatikannya dalam diam.
"Sam, ini Aisya yang kemaren nyita HP gue," Dylan menyiku Sammy.
"Halo," sapa Aisya pendek.
"Hai, Aisya. Fahri mana?" tanya Sammy, melontarkan gurauan tapi gadis berhijab itu menatapnya dengan satu alis terangkat. Sama sekali tidak merasa bahwa lelucon itu lucu.
Aisya melirik Dylan dan berbicara datar, "Pantes kamu garing. Temen kamu juga garing gini."
Dylan menahan tawa, Sammy mendengus tanpa suara. Padahal ia hanya berusaha mencairkan kecanggungan antara ia dan Aisya, tapi malah mempertebal jarak keduanya. Percakapan di telepon kemarin sudah cukup membuat Sammy keki dengan Aisya, dan hari ini gadis itu seolah semakin memperjelas garis batas. Sammy berdeham, mencoba menghilangkan tengsin.
"Lo nggak mau ikut aja? Sekalian, biar lo bisa ngasih chikinya langsung ke Jeff," usul Dylan.
Aisya menggeleng. "Aku ada keputrian. Hari ini bakal bikin donat."
"Mau dong donat," Dylan menimpali.
"Iya, nanti aku bawain tapi nggak banyak," lanjut Aisya.
Sammy menyimak. Dylan menambahkan, "Aisya ini ngisi ekstra kulikuler keputrian di SMA 17. Materinya kerajinan tangan sama tata boga." Laki-laki itu menjelaskan secara singkat supaya Sammy tidak merasa seperti kambing congek.
"Oh."
Melihat reaksi pendek Sammy, Aisya langsung menyolek Dylan, "Kalau gitu, beneran titip, ya. Jangan kamu makan, itu aku beli buat Jeff!"
"Jeff juga bisa beli se-Indomaretnya sekalian kalau dia mau, Sya. Lagian kenapa Jeff dibeliin ginian sih," Dylan mengomentari. Aisya melotot. "Bukan soal barangnyalah, Lan. Tapi soal niat baikku buat Jeff. Doanya. Itu kan penting."
"Iya deh, iya," Dylan malas berdebat, lalu mengambil kunci mobil dari piring kaca di atas rak sepatu. "Gue berangkat. Lo masih mau di sini? Mama arisan, Papa kerja. Nggak ada orang."
Aisya mengangguk. "Mau pinjem mikser."
"Bikin donat kok pakai mikser? Bukannya diuleni pakai tangan?" tanya Dylan, memasang sepatu. Sammy lalu berseloroh asal, "Bikin glaze-nya, mungkin."

KAMU SEDANG MEMBACA
ROSY
General FictionAgni Samandriel - mostly known as Sammy - decided to join Leo's band to heal his brokenheart, to forget the girl who used to be his world. But it's not gonna be easy. Copyright ©2018