3,0 - iris pelangi

572 115 24
                                    



"BUN," seorang gadis memanggil pelan. Rambutnya sesiku, pinggiran yang panjang diselipkan di belakang telinga. Seraya meletakkan nampan berisi makanan di nakas, gadis itu menyapa wanita paruh baya yang terlelap di atas tempat tidur. Wajahnya pucat, kerut di sekitar pelipis dan keningnya makin terlihat nyata, ada raut letih yang tergambar jelas.

"Bunda, bangun yuk. Sarapan."

Wanita yang disebut Bunda itu perlahan-lahan membuka mata, lalu tersenyum kecil melihat anak gadisnya menyambut di sisian ranjang.

"Sarapan yuk, hari ini Iris bikin sambel goreng telur puyuh favorit Bunda," gadis itu menyodorkan nampan, lantas tersenyum. Bunda mengangguk, "Ya udah sana, berangkat. Nanti kesiangan. Dijemput Radewa, kan?"

Iris mengiakan.

"Gih, berangkat. Bunda hari ini badannya kerasa enak banget, jadi nggak perlu ngerepotin kamu," Bunda menepuk pinggang Iris, supaya cepat beranjak dari tepian ranjang. Iris mengulurkan tangan, menyalami ibunya, men ciup punggung tangan tersebut, lalu berpamitan.

Di depan rumah, sudah ada laki-laki yang mengangkat tangan kanannya di atas pelipis bak hormat. Padahal sebenarnya Radewa sedang menghalau cahaya matahari yang pagi ini terasa lebih hangat dari pada pagi-pagi yang sudah berlalu. Padahal baru pukul sembilan. Ketika terdengar suara pintu, Radewa menoleh dan menyambut Iris.

"Gimana?"

"Panas ya?" Iris malah balik tanya.

Radewa mencemooh. "Iya. Mampir beli es kelapa mau nggak?" Tawaran itu dijawab dengan tolakan Iris. "Katanya tadi buru-buru ketemu klien? Kenapa sekarang minta mampir beli es?"

Radewa berdecak. "Judes banget astaga. Lupa ya kalau gue kepanasan karena gue jemput lo?"

"Gue kan nggak minta dijemput," bantah Iris, lalu memasang helm. Radewa menarik napas, "Kita kan udah pernah bahas ini, selama seminggu berturut-turut sampai akhirnya lo nerima alesan gue. Sekarang lo mulai meragukan alasan gue lagi? Kita perlu bahas ini berhari-hari lagi?"

Iris mengangkat bahu. "Gue cuma nggak mau terlalu bergantung sama lo."

"Iris," panggil Radewa.

Iris menoleh.

"Gue tau lo kuat, lo mandiri. Tapi dengan gue melakukan ini, gue ngerasa lebih tenang.." lanjut Radewa. Iris tersenyum pahit, "Demi lo merasa lebih tenang gue harus merasa nggak nyaman, gitu?"

"Iris, bukan gitu maksud gue," Radewa berkilah. "Sorry, kalau lo nggak nyaman. Tapi kan gue udah pernah bilang kalau gue bukan sok mau jadi pahlawan, bukan mau bikin lo tergantung sama gue. Anggep aja semua yang gue lakuin buat lo, bales budi gue ke orang tua lo."

Iris menghela napas.

Balas budi.

"Klien kita nunggu di kantor?" tanya Iris membelokkan pembicaraan.

Radewa menatap gadis itu lekat. Ada banyak yang tertahan di kedua mata Iris; pertanyaan, rasa kecewa, penolakan, kemarahan, semuanya bercampur jadi satu.

"Wa, lo denger gue nggak? Klien kita nunggu di mana? Kantor? Kafe? Rumah makan?" ulang Iris. Kali ini gadis itu membuang muka, dan menyibakkan rambut panjangnya, pura-pura sibuk.

Radewa mengeluarkan karet berwarna merah dari saku jaketnya, "Panas. Kuncir aja rambut lo."

"Makasih." Iris menerima dengan senyum ramah.

Radewa memasang helm, lalu menaiki matic-nya. Iris menyusul di jok belakang dan memeluk tas selempangnya di tengah-tengah. Radewa menarik napas. Jarak yang diciptakan Iris padanya di atas dua roda yang berputar tidak berarti apa-apa. Jarak yang sesungguhnya ada pada sorot mata Iris yang tak pernah berpendar; manik gelap gadis itu hampir selalu terlihat kelam dan tak beriak. Seolah senyap tanpa suara.

ROSYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang