9,3 - assistance

391 91 31
                                    

LEO menekan ujung bolpoinnya berulang-ulang. Menimbulkan bunyi tik-tok yang berirama. Mau tak mau, Nina yang sedari tadi duduk dengan laptop di hadapannya, mendongak. Leo menyadari tatapan Nina, lalu menoleh dan tampak canggung.

"Sori."

"Lagi banyak pikiran, Pak?" tanya Nina, basa-basi.

Leo tersenyum kecut. "Gitu deh."

"Mau kopi, Pak? Saya haus. Mau ke pantry, biar sekalian," tawar Nina. Leo mengangguk, "Teh aja, Nin. Tawar ya."

Sekitar tujuh menit kemudian, Nina muncul dengan dua gelas di tangan. Dua-duanya beruap. Nina meletakkan gelas berisi teh tawar di dekat Leo. "Nih, Pak."

"Udah kelar jam kerja, Nin. Nggak usah panggil Pak, ah. Kesannya gue tua banget kayak bapak bapak jenggotan," ujar Leo usai berterima kasih.

Nina tersenyum, "Saya nyamannya panggil pakai 'Pak', hehehe. Nggak papa kan, Pak?"

"Ya kalau jam kerja sih nggak papa. Sekarang kan kita lembur, panggil Leo aja. Atau Mas Leo juga nggak masalah kalau lo nggak enak langsung sebut nama," lanjut Leo dengan usulan lainnya.

"Oke, Mas Leo aja ya," Nina menggaruk pangkal hidungnya sungkan.

Leo tersenyum, lalu kembali fokus dengan kertas bertuliskan ide dan petak-petak konsep. Setelah lima menit dalam hening, Leo melirik Nina lagi, "Nin, ini konsep siapa?"

Nina menoleh.

Leo menyodorkan sebendel konsep food truck festival dengan konser amal yang diisi oleh band ibu kota. Nina menggigit bibir, "Kenapa, Pak?"

"Bagus. Gue suka."

Nina tidak menjawab lagi.

Leo membalik bendelan itu ke halaman terakhir. Kemudian ia tertawa kecil begitu melihat nama yang tertera, "Oh ide lo?"

Nina nyengir.

"Lo usul siapa?"

"Band-nya?" tanya Nina balik. Lalu menjawab dengan antusias. "Sheila on 7."

Leo manggut-manggut. "Calista doyan Sheila on 7 nggak ya.." gumamnya lirih. Nina menggerakkan mouse, menatap layar laptop dan menimpali gumaman tersebut, "Menurut saya sih, Pak, nggak ada yang bakal nolak kalau diajak nonton Sheila on 7. Sekalipun mereka bukan fans."

Leo tersenyum.

Nina langsung membubuhi, "Maaf, Pak. Bukannya mau ikut campur, tapi abisnya tadi Pak Leo ngomongnya kenceng jadi saya pikir saya dimintai pendapat."

"Iya, nggak apa-apa."

"Calista... istri Pak Leo?" tanya Nina, ragu-ragu.

Tawa Leo pecah. "Bukaaaan. Belum, maksudnya. Masih pacar."

Bibir Nina membulat.

"Lo? Punya pacar?"

Nina menggeleng kecil.

"Kenapa nggak punya?" tanya Leo, seolah pertanyaan itu setara dengan pertanyaan basa-basi lainnya. Nina mengangkat bahu, "Belum ada yang cocok, Pak. Giliran ada, orangnya nggak mau sama saya."

"Masa?"

"Iya."

"Lo cantik gini, kalem, rajin kerja, masa nggak mau? Gila kali tuh cowoknya," komentar Leo sambil tertawa kecil, membuat Nina ikut tertawa. "Bisa jadi, Pak."

Percakapan terhenti begitu saja. Keduanya merapikan draf konsep lengkap dengan anggaran dana. Leo menguap beberapa kali, melirik ponsel hampir setiap lima menit sekali. Nina tak bisa tak menyadari semua hal yang terjadi di depan matanya tersebut.

ROSYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang