10,3 - running into him

420 85 26
                                        

RADEWA hanya bisa mengerjapkan matanya berulang kali ketika mendapati Iris, berdiri di depan pintu rumahnya seusai menekan bel dua kali. Radewa menatap sekeliling, meyakinkan kalau Iris datang sendiri dan tidak terjadi apa-apa. Iris menundukkan kepala dan yang bisa ditangkap oleh Radewa hanyalah puncak kepala gadis itu.

"Ris?"

Panggilan itu membuat Iris mendongak. Radewa dikejutkan lagi oleh sepasang mata Iris yang tampak sembab dan memerah.

"Lo kenapa?"

Iris mengangkat bahu, "Laper."

Radewa menoleh ke belakang – ke ruang tamu, di mana ada jam menempel di dinding. "Mau masuk? Nyokap gue tadi masak tapi cuma sayur lodeh, penyetan ayam sama tempe goreng. Atau kalau mau makan di luar juga nggak papa.."

Iris terdiam.

Radewa membuka pintu lebih lebar. "Lo duduk bentar, gue ambil kunci mobil ya. Kita makan mi kuah tektek di depan gang. Langganan gue."

"Jalan kaki aja. Jauh nggak?"

"Lumayan, sih. Nanti kaki lo pegel. Baliknya gue mau beli lampu sekalian, tadi kata nyokap lampu teras belakang udah mau mati," lanjut Radewa, kemudian menarik Iris agar segera duduk di sofa.

Radewa melompati anak tangga dengan sigap. Rumah keluarga Radewa banyak berubah. Iris ingat sekali bagaimana kondisi keuangan orang tua Radewa ketika mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Radewa adalah ketua kelas yang sering dijadikan bahan tertawaan teman-teman lain karena ia satu-satunya yang tidak punya mainan terbaru, tidak ikut mobil antar jemput sekolah, dan sering tidak setor uang tabungan – dulu disemiwajibkan oleh pihak sekolah sebagai pembelajaran hemat – karena ia bahkan tidak bawa uang saku.

Suatu hari, Radewa tidak sengaja memergoki Iris sedang muntah seusai sekolah. Sopir Iris belum datang dan Radewa baru saja menyelesaikan piketnya mengumpulkan buku PR ke ruang guru. Waktu itu Iris mengancam, kalau Radewa mengadu pada guru atau sopirnya, Iris akan mengatakan pada semua teman di kelas kalau ayah Radewa cuma tukang kayu.

Tapi, Radewa justru menyahuti, 'Ayahku emang tukang kayu, kok. Terus kenapa? Emangnya jadi tukang kayu pekerjaan jelek?'

Lalu, pada akhirnya, Iris dibawa ke rumah sakit dan berkat Radewa, infeksi usus buntu Iris belum parah. Iris semakin benci Radewa – menurutnya, Radewa seperti pahlawan kesiangan. Waktu itu.

"Iris?"

Panggilan Radewa membuat Iris hampir terlonjak kaget.

"Yuk?" Radewa menyodorkan jaket ke arah Iris dan mengajak gadis itu keluar rumah. Iris menurut dan berjalan mendahului karena Radewa harus mengunci pintu.

Di perjalanan, mereka hanya saling diam dan tak bicara. Radewa bukan hanya satu dua kali melirik gadis yang duduk di sampingnya tersebut. Sementara Iris memalingkan wajah, menatap kaca yang menampilkan – entah pantulan wajahnya sendiri, atau pemandangan lalu lalang jalanan.

"Wa,"

"Ya?"

"Gue dulu jahat banget ya, sama lo.." kata Iris, lalu tertawa sumbang. "Padahal kalau diinget-inget lagi, lo tuh cuma anak kecil yang dipilih jadi ketua kelas karena lo diem dan nggak punya temen. Lo juga cuma berusaha bantuin gue pas gue sakit."

"Lo juga anak kecil waktu itu, Ris. Ya wajar sih kalau lo benci sama gue," balas Radewa.

"Benci kok wajar sih, Wa?"

Radewa tersenyum, "Kalau gue jadi lo, anak kecil yang dateng dari keluarga kaya dan punya banyak temen, kayaknya gue juga nggak bakal mau deh temenan sama anak yang dikucilin kayak gue? Udah gitu gue kan dulu kucel banget, bau matahari, dan nggak punya mainan."

ROSYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang