9,1 - promised date

394 87 29
                                    


JEFF mengambil kunci mobil, berjalan ke garasi ketika ponselnya berbunyi. Nama Dylan terpampang di layar. Laki-laki itu mengangkat telepon dan masuk ke dalam mobil.

"Oy."

"Di mana lo? Mau pergi?" tanya Dylan begitu mendengar suara mobil dinyalakan.
Jeff menjawab jujur. "Mau jalan sama Madina. Kenapa?"

"Oh, kalau gitu ngomongin ininya ntar kalau lo udah balik aja," kata Dylan.

"Lah, belom berangkat ini. Baru nyalain mobil. Apa mau ketemu di tempat makan aja? Yuk deh, sekalian. Gue laper.." usul Jeff.

Dylan menimpali, "Hah, kan lo mau jalan sama Madina."

"Santai aja. Lagian Madina tuh tiap hari ke rumah gue," kata Jeff memutuskan, kemudian ia menyebutkan sebuah nama restauran dan panggilan pun terputus.

Mobil Jeff berhenti di depan sebuah rumah yang dibangun dengan arsitektur Eropa, lengkap dengan pilar-pilar besar, beranda yang luas, dan tembok tinggi. Jeff mengeluarkan ponsel untuk menelepon Madina. Ia sedang tak ada mood untuk berbasa-basi dengan orang tua Madina, sehingga ia meminta Madina untuk segera keluar.

"Apa sih, kenapa telepon? Masuk dulu kek, gue sampai keburu-buru pasang lipstik," protes Madina, ia berjingkat.

Jeff melirik Madina, lalu mengelap ujung bibir gadis itu. "Udah bagus lipstiknya, rapi. Ayo buruan naik."

Madina tersenyum.

"Kita makan dulu ya. Gue laper."

"Okidoki!" Madina pun memasang sabuk pengaman dan menyalakan musik. Gadis itu memilah satu persatu CD yang ada di dasbor tapi tidak ada yang sesuai seleranya, ia pun memilih untuk memasang radio saja.

Jeff melirik spion belakang sebelum melakukan U-turn, "Kita makan sama Dylan."

"Kok sama Dylan?" Madina tampak kecewa.

"Dia mau ngomong sesuatu, takutnya penting. Cuma pas makan doang kok," kata Jeff menjelaskan. "Nggak papa kan?"

"Halah, palingan juga lo udah bilang alamat tempat makannya ke Dylan. Mau gue bilang nggak boleh juga bakal percuma," Madina bersungut-sungut.

Jeff tertawa. "Jangan monyong gitu dong. Lipstik lo meluber nanti.."

Madina mendengus, lalu membuang wajah. Bisa nggak sih, Jeff sekali saja melihatnya sebagai perempuan? Dan bukan cuma sekadar teman masa kecil yang tidak sengaja dipertemukan lewat ranjang bersebelahan di rumah sakit. Madina melirik Jeff. Laki-laki itu fokus menyetir dan menghadap ke depan.

"Kenapa sih?" tanya Jeff.

"Nggak ada."

"Muka lo kelipet-lipet gitu, masa nggak ada apa-apa?" tanya Jeff, tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. Madina mendengus, "Nggak usah sok mau jadi cowok baik deh. Lo kan brengsek, nolak mentah-mentah tawaran nikah sama gue. Harusnya lo bilang ke nyokap gue apa gitu, mau mikir dulu, atau alasan yang lain. Kenapa langsung nolak, kan kesannya kayak lo ogah banget sama gue."

Jeff tertawa kecil. "Sorry that I hurt your ego."

"Jangan sok ganteng deh. Emangnya lo pikir gue mau nikah sama lo?" tukas Madina tajam.

Jeff akhirnya menoleh, "Nah. Bagus dong kalau gitu, kita sama-sama nggak mau."

Madina berdecak.

"Denger ya, Maddie sayang. Gue nolak mentah-mentah bukan biar lo sebel sama gue, tapi gue nggak mau bikin nyokap kita berharap banyak. Lo itu udah kayak saudara gue. Masa lo kebayang sih, ciuman sama gue, tidur seranjang sama gue?"

ROSYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang