6,3 - a walking atm

416 90 22
                                        

KALA mondar-mandir. Di tangannya ada dua tas kertas berisi konsumsi untuk penguji, sementara Jeff menatapnya heran. Sidangnya akan dimulai seperempat jam lagi, tapi Kala seperti kebakaran janggut—karena ia tidak punya jenggot. Jeff menarik ujung lengan hem Kala, gadis itu sontak menoleh.

"La, duduk."

"Lo beneran udah minta berita acara di operator akademik kan? Udah SMS atau telepon pengujinya, ngingetin kalau hari ini lo sidang?" tanya Kala, bertubi-tubi.

Jeff menarik hem Kala lagi. "La, duduk dulu."

"Jeff, sekarang tuh bukan waktunya duduk. Ini udah lima belas menit lagi dan penguji lo belom ada yang dateng. Kok lo nggak panik atau apa gitu sih," Kala mencak-mencak melihat Jeff yang menurutnya, terlalu tenang.

Jeff mengangkat bahu. "Yang penting pagi ini udah gue telepon, udah gue SMS. Kalau mereka telat ya itu kesalahan mereka. Yang penting jatah sidang gue sampai jam setengah satu."

"Jeff, lo tuh ya."

"La, lo duduk deh, astaga. Kenapa malah lo yang panik? Lo kan udah lulus."

"Ya tapi kan lo belum!"

Jeff kaget mendengar jawaban itu terlontar dari bibir Kala. Gadis itu berdiri lagi, tapi Jeff bersikeras membuatnya duduk. "Kalasenja Mahendria! Ya ampun lo tuh susah banget sih dikasih tau. Duduk. Gue awalnya nggak nervous bisa jadi ikut nervous kalau liat lo muter ke sana sini terus kayak setrikaan."

Kala menoleh, lalu menurut.

"Ribet amat disuruh duduk kayak kucing birahi."

Kala berdecak sebal. "Sialan banget disamain kucing birahi."

"Ya makanya, duduk yang anteng." Jeff mengeluarkan catatan kecil, lalu menyusuri poin-point tersebut dengan konsentrasi yang hanya separuh, sementara separuhnya lagi, tertuju pada lutut Kala yang berguncang-guncang karena gadis itu terus mengetuk-ketukkan ujung sepatunya.

Jeff mengulurkan tangan, menahan lutut Kala. Gadis itu menoleh reflektif.

"Yang bikin gue was-was bukan sidang atau pengujinya, La. Tapi lo."

"Sorry, gue nggak ngerti juga kenapa gue kayak gini," Kala menatap Jeff pasrah. Telapak tangannya terasa basah karena rasa cemas. Pemuda itu mengerutkan kening. "Kemaren lo kayak gini juga?"

Kala menggeleng.

"Terus kenapa lo sekarang kayak gini?"

"Ya mana gue tau, Jeff.."

Jeff tersenyum. "Kala, Kala.. lo tuh ada-ada aja."

Beberapa saat tak lama dari itu, dua pemuda muncul dengan senyum lebar di wajah. Jeff menoleh, sedikit terkejut tapi senang juga karena Sammy dan Dylan datang untuk memberi dukungan saat sidang.

"Good luck, Jeff." Sammy menepuk pundak Jeff.

"Thanks. Lo nggak ada kerjaan, Sam?"

"Nggak, kerjaan gue udah kelar semalem. Tapi ntar sore ada ketemu sama atasan, katanya ada klien yang minta langsung ketemu sama gue, nggak mau komunikasi via email. Sebenernya gue males, tapi ya udahlah, duitnya gede," Sammy nyengir.

Dylan menimpali, "Duit emang bisa mengubah segalanya ya, Sam."

"Diem, lo." Sammy mengabaikan Dylan.

Dylan cekikikan. Lalu mengarahkan pandangan pada Kala. "Hei, La. Kata Jeff kemaren lo sidang ya? Selamat ya, akhirnya lo lulus juga."

Kala berterima kasih, lalu mencibir Dylan yang juga adalah kakak tingkatnya tersebut, "Jangan cuma nyelametin gue. Lo kapan nyusulnya?"

ROSYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang