9,5 - chicken feet

392 90 15
                                        

"LEVEL berapa, kak?" tanya perempuan di balik mesin kasir ketika Iris berdiri di depan konter untuk memesan. Radewa di sampingnya, sedang mendongak melihat satu persatu menu yang disediakan.

"Level tiga aja, mbak," jawab Iris lalu menoleh ke arah Radewa. "Lo jadi pesen apa?"

"Roasted duck salted egg. Kalau bisa bagian dada ya," kata Radewa.

Setelah pesanan mereka dicatat lengkap, dan memenuhi tagihan, Iris dan Radewa berjalan ke meja. Gadis itu melontarkan pertanyaan iseng.

"Lo suka dada ayam?"

"Dada cewek juga suka," Radewa menjawab ngaco.

Iris terbahak. Radewa bahkan tidak menyangka ia akan dapat reaksi demikian. Malah ia yang jadi sungkan, lalu menggaruk pangkal hidungnya.

"Canda," kata Radewa.

Iris masih cekikikan meskipun mereka sudah duduk berhadapan di satu meja. "Hahahah, ya kali, Wa. Bakal lebih aneh kalau lo nggak suka dada cewek."

"Hehehe," Radewa hanya bisa menanggapi dengan cengiran malu.

"Makasih ya udah mau nemenin ke sini. Lo bener nggak ada janji lain, kan?" tanya Iris, membelokkan percakapan.

Radewa mengangguk. "Lo sendiri? Nggak papa nggak langsung pulang? Nggak dicariin nyokap?"

Iris menggeleng kecil.

"Nyokap udah baikan, Ris?"

Iris mendongak, menyambut mbak-mbak yang membawa pesanannya dengan senyum tipis, lalu mengaduk minumannya dengan sedotan. "Ya gitu deh. Masih rutin minum anti-depresan, tapi udah mendingan. Sekarang kalau lagi relapse cuma nangis dan nggak destruktif lagi kayak dulu."

"Glad to hear that."

"Kurus banget, kalau gue bukan anaknya mungkin nggak bakal bisa ngenalin beliau," lanjut Iris seraya memasang sarung tangan plastik bening yang disediakan di sebuah kotak yang mirip kotak tisu.

Radewa tersenyum tipis. "Nyokap lo beruntung masih punya lo."

Iris hanya menanggapi dengan mengangkat bahu. "Well, we can't choose our parents. Gue cuma berusaha semampu gue buat bayar semua hutang budi ke beliau. At least she isn't the one who destroyed the whole household."

Radewa tak bisa menanggapi.

Setiap kali Iris menyinggung ayahnya, Radewa hanya mampu diam. Terlepas dari kesalahan yang dilakukan beliau, Radewa—mungkin—satu dari sekian yang merasakan kebaikan Ir. Irawan; meskipun hal itu sama sekali tidak bisa menggoyahkan keyakinan Iris tentang dosa-dosa ayahnya. Rasanya tidak adil bagi Radewa jika terus mencekoki Iris dengan deret kebaikan ayahnya sementara indera Iris mati total soal hal tersebut. Tidak mampu mendengar, melihat, mencecap, atau merasakan.

"Lo nggak mau nemuin bokap?" tanya Radewa lirih.

Iris mendongak. Sorotnya tajam. "Really? You really have the gut to ask me that?"

"It's just a question."

"Nggak."

"Gue bersedia nemenin kalau lo nggak bisa sendiri."

Iris menarik napas panjang-panjang. "Wa, I really appreciate your kindness, tapi soal bokap—"

"—Beliau nyariin lo terus."

Iris mengerutkan kening. Sorot matanya belum berubah. "Hah?"

"Gue rutin ngunjungin bokap lo. Tiap bulan. Kadang kalau gue sibuk, dua bulan sekali. Dan beliau nggak pernah absen nanyain lo. Kabar lo, kesibukan lo, apa lo baik-baik aja, apa lo sakit, apa lo masih suka marah, apa lo masih ngerokok. Semua pertanyaan tentang lo, Ris."

ROSYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang