Episode 01

126 15 0
                                    


Distrik 4, pinggiran ibu kota dari Kerajaan Neingod.

Sepasang ayah dan anak menunggangi 2 ekor kuda secara bersisian. Sang anak bernama Alfiyansyah. Usianya 16 tahun, memiliki wajah rupawan, dan badan yang tidak besar maupun kecil. Di samping kanannya ada sang ayah yang bernama Agus Kuncoro. Ia berusia 45 tahun, memiliki kumis yang agak lebat, dan tinggi badannya sedikit lebih tinggi dari sang anak. Mereka berdua mengenakan setelan kemeja hitam dengan sedikit aksen putih di kerahnya. Tak lupa untuk mengurangi teriknya matahari, masing-masing kepala mereka ditutupi topi.

Dengan masih di atas kuda, Alfiyansyah menengok jam yang terikat di tangan kirinya. Setelah menurunkannya, ia melihat ke sisi kiri jalan. Mengarahkan pandangan ke sebuah tiang listrik dan bayangannya yang terbentang hingga menyentuh tepi jalan di seberangnya.

"Tak ada tempat seperti itu di sini," ucap Agus tanpa menolehkan pandangan. Ia baru saja melakukan hal yang sama dengan anaknya.

Alfiyansyah tertegun. Hendak percaya dengan apa yang dikatakan sang ayah, namun ia merasa kalau itu tidak mungkin. Ia tak tahu kalau wilayah di mana ia berada sekarang tidaklah termasuk bagian negara yang jadi tempatnya lahir dan berkembang.

Akhirnya mereka berdua turun dari tunggangan. Tak seperti sang ayah, Alfiyansyah enggan melangkah ke tempat yang jadi tujuan Kuncoro. Tak ada sikap membujuk. Tak ada pula pertanyaan mengenai keengganan sang anak untuk tidak mengikutinya. Kuncoro paham dengan sikap satu-satunya keturunan yang ia miliki itu.

Tunggangan mereka diikatkan ke sebuah tiang kecil khusus kuda. Kuncoro masuk ke dalam tempat yang memiliki jalan beranak tangga untuk menuju pintu masuk, dan pagar kayu yang membentang di berandanya. Sampai melewati pintu yang terbuka otomatis, dengan cepat Kuncoro menuju sebuah bar di mana tempat memesan kopi berada.

Coffee Beer, itu adalah tempat di mana Kuncoro berada. Sebuah tempat berlantai 2 yang mempunyai konsep gabungan antara menikmati berbagai macam kopi dan meneguk bir. Lantai terbawah khusus para peminum kopi, sedangkan di atasnya ada untuk mereka yang ingin meminum kopi dan bir.

Hari masih sore, lantai 2 dari Coffee Beer sama sekali tak berpenghuni. Tempat untuk bersenang-senang itu memang dibuka pasca matahari terbenam. Keadaan terbalik berada di lantai 1. Di sana hanya tersisa 2 buah kursi kosong yang kemudian diduduki Kuncoro salah satunya.

"Hei, apa bosmu ada?" tanya Kuncoro pada seorang pelayan yang baru saja mengantarkan secangkir kopi ke tempatnya duduk.

Pelayan wanita itu mengangguk seraya memeluk nampan stainless di depan dadanya.

"Panggilkanlah. Bilang kalau Agus Kuncoro telah datang."

Beberapa menit kemudian, seorang lelaki yang tengah dirangkul sepasang wanita di sisi kiri dan kanannya muncul dari balik pintu di belakang bar. Kuncoro berdiri, lalu melambaikan tangan ke arahnya.

"Bagaimana kabarmu, Umar?" Sambut Kuncoro pada uluran tangan yang datang. Lelaki yang muncul bersama sepasang wanita berpakaian serba minim tadi mendekati tempat duduk Kuncoro.

Lelaki berwajah rupawan dan bermata biru itu mempunyai nama asli Umar Fatih. Badannya cukup tinggi, memiliki rambut lurus sebahu dengan sebagian jatuh ke depan sedikit menutupi wajahnya, dan tiap tersenyum akan ada lesung pipi yang terbentuk.

Satu jam lagi senja datang mewarnai langit. Dua cangkir kopi yang kepulan asapnya menggoda indra penciuman pun menyeruak dan bergabung dengan puluhan aroma cangkir kopi lain. Setelah sebuah seruput di bibir keduanya terjadi, pembicaraan dimulai.

^_^

Sebuah kepala yang menengadah ke arah langit menuju seberkas warna merah di ufuk barat. Dari sorot matanya terlihat sebentuk kegelisahan akan kewajiban yang belum dituntaskan. Alfiyansyah menengok ke arah tempat di mana ayahnya baru saja lenyap dari pandangan.

"Ayah mungkin akan lama," batinnya. Setelah sesaat menengok jam tangan, ia beranjak dari tempatnya duduk. Menuju ke jalan kecil yang terletak di seberang jalan.

Apa yang kemudian hadir di depan matanya adalah suatu hal yang sama sekali tak pernah terpikirkan. Di tengah jalan kecil di mana kakinya berpijak, tengah tergelar berbagai kesenangan. Yang paling dekat dengannya adalah sekelompok lelaki yang sedang bersemangat bermain kartu. Mereka melingkari meja kecil yang di bawahnya ada beberapa botol minuman keras. Beberapa langkah di dekat mereka, ada beberapa pasang muda-mudi yang sedang bahagia menggelorakan cinta. Mereka bergumul tanpa peduli kalau siapapun bisa melihatnya.

Alfiyansyah hendak memutar haluan. Segan ia melewati mereka yang sangat kontradiktif dengan caranya melangsungkan hidup. Namun, langit makin memerah. Bisa saja ia kehabisan waktu dan akan menyesal setelahnya. Akhirnya dengan menyiapkan kekuatan di dalam jiwa, ia melangkah maju.

"Apa kau bodoh?! Apa kau tidak melihat tulisan di gerbang masuk kerajaan ini?!" Seorang lelaki plontos berbicara sekaligus melotot tanpa beranjak dari kursi kayu di depan meja permainan. Alfiyansyah mendekati sekelompok orang yang sedang bermain kartu dan menanyakan keberadaan tempat yang ia cari.

"Atau mungkin kau bisa menunjukkan musala?" tanya Alfiyansyah tanpa menyetarakan intonasi bicara dengan lelaki plontos itu.

Sikap lelaki muda itu mulai menumbuhkan bibit amarah. Dikuasai minuman keras, uang berada di roda taruhan, dan tiba-tiba seseorang menanyakan hal yang terlarang. Lelaki plontos itu berdiri, dan memperlihatkan air matanya yang merah nan keruh.

"Tahan! Dia mungkin tidak tahu dengan hukum di kerajaan ini." Seorang lelaki paruh baya berperawakan tinggi tegap, kulit coklat, dan berambut ikal berdiri. Ia membentangkan tangan kanannya di depan si lelaki plontos. Seketika lelaki yang hendak menumpahkan amarah pada Alfiyansyah pun kembali duduk.

"Aku akan mengantarkanmu," ujar si lelaki berambut ikal pada Alfiyansyah seraya tersenyum.

Lima belas menit kemudian.

Alfiyansyah tertegun, "Paman, jangan bercanda." Mereka sampai di depan sebuah bangunan yang sisi depannya mirip dengan Coffee Beer.

Sang lelaki berambut ikal terkekeh di samping telinga pemuda yang dirangkulnya. Bersamanya, bau alkohol menyeruak dari mulutnya.

"Jangan lihat buku hanya dari sampulnya. Ayo, masuk!"

Sejatinya semua bangunan yang diperuntukkan untuk bisnis yang ada di Distrik 4 tidaklah punya papan nama. Namun, dari apa yang berputar di penglihatan pun sudah mewakili apa yang ada di dalam bangunan itu nantinya. Di beranda tempat itu ada beberapa pasang lelaki dan perempuan yang tengah bercumbu. Beberapa di antaranya bermesraan seraya meneguk sebotol kecil minuman keras, dan ada pula 3 orang perempuan yang bergumul dengan seorang lelaki.

Waktu terus menipis. Mau memutar langkah dan mencari di tempat lain pun ia tidak tahu ada atau tidak nantinya. Akhirnya Alfiyansyah pasrah, dibiarkan langkahnya mengikuti si lelaki berambut ikal yang terus merangkul pundaknya.

Di luar sana tertegun, dan masuk ke dalam membuatnya terkejut. Amat terkejut hingga matanya membelalak, dan percikan amarah serta merta memanaskan hatinya.

"Apa-apaan ini?! Tidak mungkin ada musala di tempat kotor seperti ini!!" Alfiyansyah begitu berani, padahal lima langkah di depannya tengah banyak orang yang sedang berpesta. Apa yang orang-orang itu lakukan lebih parah dari apa yang tampil di beranda tadi.

"Tenanglah, Nak. Bukankah kau ingin mencari ketenangan dengan menemui sesuatu yang kau sebut dengan 'Tuhan' itu? Di tempat ini pun kau bisa menemukan ketenangan, dan bahkan lebih dari itu." Si lelaki berambut ikal tersenyum lebar. Terlihat di sana barisan gigi yang sudah menguning.

Alfiyansyah tak menggubris. Dilepaskan tangan yang merangkul pundak, dan kedua kakinya langsung memutar arah untuk memburu pintu keluar, tapi ...

"Uaagh!!"

Sebuah pukulan menghujam keras ulu hati pemuda itu. Ia langsung terbatuk. Beberapa titik darah turut keluar bersamaan dari mulutnya.

"Lucuti dia!" perintah sang lelaki berambut ikal setelah melihat Alfiyansyah yang terkapar di atas lantai kayu tempat itu. Kedua tangannya yang kekar saling bersilangan, dan mulutnya mengeluarkan seringai yang menyiratkan kekejaman.


Selamat datang di episode pertama di novel yang ala kadarnya ini. Tinggalin bintang dan komentar, ya. Eh, jangan kebablasan dengan meninggalkan kenangan di sini. Sekian dan #salamjomblo

Negeri Tak Bertuhan (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang