Episode 04

42 4 0
                                    

Dengan mulut yang kesulitanberbicara dengan lancar, Umar meminta Rita untuk memanggil teman-temannya. Iaingin agar si jubah hitam yang menabraknya itu dihajar habis-habisan.

--episode 03--

Malam biasa dibicarakan sebagai sebuah waktu untuk istirahat bagi tubuh yang telah lelah. Saat yang tepat untuk memejamkan mata dan bermimpi indah. Namun tidak bagi Vasilia. Di tiap selepas ronda malam, ia akan membiarkan tirai jendela kamarnya terbuka. Kemudian dia akan duduk di meja kerjanya ditemani satu atau dua buku. Itu adalah waktunya mencari pengetahuan untuk kelangsung hidup Kerajaan Neingod.

Dalam kekhidmatan menikmati kata per kata dari buku yang tengah dibaca itu, tiba-tiba terdengar sebuah ketukan pintu. Tanpa membiarkan menunggu, Vasilia langsung bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu kamarnya.

"Selamat malam, Yang Mulia. Aku membawa secangkir kopi untuk, Yang Mulia," ucap sesosok lelaki berpakaian khas pelayan istana berwarna hijau.

Vasilia tidak seketika mengulurkan tangan untuk meraih cangkir kopi yang dibawa di atas nampan itu. Sebabnya, ia tidak pernah meminta dibuatkan sebuah minuman apa pun saat jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Lelaki berjenggot itu enggan mengganggu waktu istirahat bagi para pelayannya.

"Tapi ini perintah dari Tuan Halil, Yang Mulia. Aku juga tadi belum terlelap."

Mendengar penjelasan itu, Vasilia meluluhkan keengganannya. Sambil menghaturkan terima kasih yang diiringi sebuah senyuman, ia mengambil minuman itu, lalu kembali ke meja kerjanya.

Dengan napas yang terputus-putus dan jenggot putih yang menari bergantian dari kiri ke kanan, seorang lelaki berlari menyusuri sebuah lorong istana. Berlari dan terus berlari, hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah pintu ruangan yang terbuat dari kayu.

Ketukan pintu digalakkan bersama sebuah kalimat salam ke arah pintu itu. Tak ada jawaban, ketukan dan salam kedua pun dijalankan. Namun lagi-lagi telinga lelaki itu tak mendengar balasan dari dalam. Kesempatan ketiga dilakukan, tetapi tetap kesunyian yang datang.

Hampir ia mengangkat kaki dan melenggang dari sana, tetapi hatinya seperti membisikkan sebuah keanehan. Baginya, seseorang yang ada di dalam ruangan itu tak pernah sesulit ini membuka pintu meski waktu sudah hampir pagi. Rasa penasaran mengusik, ia pun mencoba meletakkan tangan kanannya ke arah engsel.

Pintu itu ternyata tak dikunci. Si lelaki berjenggot putih pun melanjutkan niatnya untuk menentaskan rasa keingintahuan yang mengganggunya. Tiba-tiba ia terperangah. Sosok yang ingin ditemuinya terlihat dinaungi ketidakberesan.

"Vasilia, sadarlah!"

"Malik, selamat tinggal." Vasilia tersenyum pada lelaki yang mendatanginya itu.

Enggan untuk percaya dengan apa yang didengar. Malik mencoba mengangkat tubuh Vasilia yang tergeletak di atas lantai dengan busa putih di mulutnya. Namun ajal sudah tiba. Setelah Malik berhasil membuat tubuh Vasilia dalam posisi duduk, ia mendengar sebuah kalimat berbahasa asing dari sang raja.

Si lelaki berusia setengah abad itu langsung tertegun. Diletakkan kembali tubuh Vasilia ke atas lantai, lalu ia mencoba menegakkan kaki untuk mencari bantuan.

Baru selangkah keluar dari kamar sang raja, seseorang berpakaian khas pelayan istana terlihat di belokkan menuju kamar Vasilia. Sosok yang dilihatnya itu nampak menyembunyikan diri di sana. Malik curiga, langsung ia mengangsur langkah mendekatinya. Seakan tak mau diketahui siapa dan bagaimana rupanya, orang yang dikejarnya itu langsung berlari cepat.

Belum setengah jam tubuh lelahnya tenang, tapi lagi-lagi harus memacu langkah. Baru saja ia kembali berlari dua menit, napasnya sudah terputus-putus. Namun kecurigaannya cukup tinggi. Dipaksalah tubuh kurusnya memburu sosok itu.

Suasana tenang istana karena kebijakan yang diramu sang raja membuat Malik sedikit kerepotan. Ia tak menemukan seseorang pun untuk membantu dalam pengejaran. Sampai akhirnya dengan tetap mengejar sendirian, ia sampai di kebun bunga yang terbentang di halaman belakang istana.

"Hei, lelaki tua, kau hebat juga bisa menyusulku." Lelaki yang dikejar Malik menghentikan langkah di tengah-tengah kebun bunga.

"Kau ..., apa kau yang telah menyelakai Vasilia?" tanya Malik seraya memegangi dadanya yang terasa sesak. Ia cukup memaksakan diri di usianya itu.

Tawa terdengar cukup kencang. Kemudian sebuah pengakuan terhadap pertanyaan Malik pun dilontarkan. Ia juga mengatakan kalau dirinya adalah bagian dari sebuah perintah.

"Apa maksudmu?" tanya sang asisten raja.

Bukan kalimat yang menjadi jawaban. Lelaki itu menyentikkan jari di tangan kanannya. Dari balik sebuah pohon yang beberapa langkah di belakang darinya, muncul beberapa orang berjubah merah dengan tertawa terbahak-bahak.

"Kau ...." Dari beberapa sosok berjubah merah itu, ada seseorang yang membuat Malik terkejut.

Sang asisten raja langsung menegakkan tubuhnya. Tatapan mata seketika menajam begitu mendapati sebuah kenyataan itu. "Dasar penghianat!!"

--(0)--

Mentari belum terbit. Kesejukan embun masih terasa memeluk siapapun yang memposisikan dirinya di luar ruangan. Terlebih di kebun bunga. Kesejukannya lebih terasa dibanding di tengah-tengah ibu kota. Itulah kebiasaan Satya Dewa. Menteri berkepala plontos dan wajah oriental itu hobi sekali berada di kebun bunga di belakang istana seraya menanti fajar.

Namun pagi itu tak seperti biasanya. Hidung yang biasanya menghirup ketenangan udara pagi pun diusik oleh aroma busuk yang sangat tak mengenakan. Penasaran dengan asal bau busuk itu, Satya melangkah ke tengah-tengah kebun.

"A ... apa-apaan ini?" Satya tiba-tiba terbelalak. Sebuah pemandangan mengerikan hadir di depan matanya. Seseorang berjenggot putih tewas dengan posisi tengkurap dan sebilah pedang yang menancap bagian punggungnya. Ia tak lain adalah Malik Soewiryo, sang asisten raja.

Tiga jam kemudian, kabar buruk menyebar ke seluruh sudut kerajaan dan membuat Neingod dirundung duka. Kabar buruk itu adalah berita tentang kematian Vasilia Daw dan asistennya, Malik Soewiryo. Tak seperti Malik yang tewas dipenuhi luka, Vasilia ditemukan tewas tergeletak di kamarnya. Sang raja diduga terkena racun dari secangkir kopi yang diseruputnya.

Pagi yang biasanya diisi oleh segala kesibukan rakyat pun tak terjadi di hari itu. Mereka menghentikan aktivitas seperti berdagang, bekerja, dan lain sebagainya, demi berkabung ke istana. Kehilangan sosok raja seperti Vasilia yang bijaksana tentu terasa berat.

"Umar, kau tidak mengiringi penguburan ayahmu?" tanya Rita seraya meletakkan secangkir kopi ke atas meja di sebuah sudut Coffee Beer.

"Huh, untuk apa melihat penguburan ayah yang merepotkan itu?"

Mendapat respon itu, Rita bertanya mengenai perasaan sang kekasih perihal kematian ayahnya sendiri. Bukan duka yang menjadi jawaban, Umar justru terbahak-bahak.

"Aku justru bahagia kalau dia mati." Umar menggenggam tangan Rita. Wanita itu duduk di depannya.

"Jadi mulai hari ini, tidak akan ada yang melarangku melakukan apapun yang kusuka," lanjut Umar. Kemudian ia menyeruput kopi yang terhidang.

Negeri Tak Bertuhan (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang