Hari pertama.
Di pagi hari saat matahari mulai meninggi, Khalid dan Umar berhadapan. Mereka berada di wilayah perbukitan dan mengenakan pakaian serba hitam.
“Pukul aku!” perintah Khalid.
Kuda-kuda tengah yang menjadi posisi awal pun diuraikan. Berlari Umar menyongsong lelaki raksasa itu dengan tangan mengepal.
“Lumayan juga,” puji Khalid. Umar sedikit tersenyum bangga di sana, tapi tiba-tiba pelatih bela dirinya itu berkata, “Tapi untuk ukuran seekor tikus!”
Tangan kanan Khalid mengepal kuat, lalu ia melancarkan hantaman ke arah perut sang mantan raja, “Ini baru pukulan seorang lelaki.”
Tinju yang cukup besar menghujam. Umar terbatuk, lalu terhempas beberapa meter hingga hampir sampai jatuh ke tegalan. Sang pemuda bermata biru itu pun mengumpat dengan suara membisik. Menurutnya, pukulan tadi bukanlah pukulan lelaki, tapi pukulan t
Dalam ketidakberdayaan di atas tanah, sang pelatih mendekatinya dengan wajah datar, “Belum waktunya istirahat.”
Dada masih terasa sesak. Mulut juga mengalami kesulitan untuk bicara. Namun, kegiatan belajar harus dilanjutkan. Dengan bermodalkan semangat, Umar pun memaksa tubuhnya untuk bangun. Kemudian ia mengikuti sang pelatih yang berjalan turun menuju tegalan.
Dengan perlahan, akhirnya Umar berhasil sampai ke tempat di mana Khalid menghentikan langkahnya. Bersama tangan yang bersilangan di depan dada, ia menatap ke sebuah pohon pisang yang tak lagi berbuah.
“Hantam pohon itu dengan tinjumu sampai hancur!”
Belum usai rasa sakit di tubuh, Umar mendapat tugas yang ia berpendapat tak sanggup untuk menjalankannya. Sepintas, memang pohon pisang itu terlihat seperti pohon piasa pada umumnya. Namun, jika melihat lebih lama maka akan ditemukan perbedaan. Pohon yang keberadaannya dikelilingi beberapa pohon jati itu memiliki batang dua kali lebih besar. Tingginya juga satu setengah kali dari tinggi pohon pisang pada lazimnya.
“Biasanya untuk latihan para muridku, aku akan memberikan mereka pohon pisang berukuran normal. Namun, kurasa kau tidak perlu melakukannya karena pernah belajar bela diri selama 2 tahun.”
Umar sedikit kesal mendengar pernyataan yang diucapkan tanpa menoleh ke arahnya tadi. Ia memang pernah belajar diri, tapi itu sekitar 9 tahun lalu. Pikirnya, tentu kemampuan itu sudah menghilang.
“Sampai kapan batas waktunya?”
“Tak ada batas waktu. Jika pohon itu belum hancur, maka kau tidak diperkenankan untuk kembali ke perkampungan. Menetaplah di sini sampai tugasmu selesai!” Tanpa menunggu setuju atau tidak atas perintah yang dilontarkannya, Khalid pun memutar tubuh ke belakang. Berjalan ia meninggalkan Umar dengan tetap mempertahankan kedua tangan di depan dada dan tatapan tanpa ekspresi.
Tak ada pilihan lain selain menurut. Bersama rasa sakit yang hampir meredam sepenuhnya, Umar berjalan lurus mendekati pohon pisang raksasa itu. Dalam jarak hampir 1 meter, pemuda itu membentuk kuda-kuda dengan kaki kiri di depan.
“Aku pasti bisa!” Tangan kanan mengepal. Tinju pun melaju pada batang pohon pisang itu.
“A-apa?” Serangan gagal menunaikan tugas. Kepalan tangannya langsung terpeleset saat menyentuh target. Ternyata tak hanya diameternya yang jadi masalah, ternyata teksturnya yang licin juga menjadi lawan.
Semangat tak terputus. Dengan membabi buta, kedua tangan saling bergantian melancarkan serangan. Hasilnya tak nihil, beberapa tinju berhasil mendarat pada target tanpa terpeleset. Namun, jumlah keberhasilannya tidak sampai setengah dari total kegagalan.
Siang telah datang. Rasa haus dan lapar mulai terasa memberatkan tubuh. Namun, Umar tidak tahu bagaimana caranya mendapat makanan dan minuman. Bukan ia segan memanjat pohon dan memetik beberapa buah kelapa, tapi ia berpikir kalau tempat ini bukanlah miliknya. Mengambil beberapa hasil tanaman di sana tanpa permisi, sama saja dengan mencuri.
“Sepertinya kau kehausan.” Tiba-tiba Radu muncul dari arah datangnya Umar tadi pagi. Ia datang bersama sekeranjang buah apel di tangan kanan dan sebuah teko di tangan kiri.
Setelah perdebatan kecil atas keengganan Umar pada ajakan Radu untuk makan bersama, akhirnya mereka pun duduk berdua. Di bawah sebuah pohon jati, keduanya duduk saling berhadapan.
Radu menarik cangkir yang diletakkan di atas corong teko. Kemudian dari dalam teko, ia mengalirkan sesuatu yang sudah sangat diidam-idamkan Umar sedari tadi. “Minumlah,” ucap Radu sambil menyodorkan cangkir bening yang sudah ia isi air putih.
Tanpa mempedulikan gengsi yang biasa muncul saat berhadapan dengan Radu, Umar pun meraih cangkirnya. Dengan sekali teguk, habislah apa yang tadi diberikan anak tunggal sahabat dari mendiang Vasilia itu.
“Teguklah sebanyak tiga kali, jangan terburu-buru seperti itu!” Setelah peringatan itu dilontarkan, posisi sila pun diuraikan. Berjalanlah Radu ke bawah pohon jati lain dan menyandarkan punggungnya di sana.
“Istirahatlah sebentar dan habiskan buah-buahan itu!” teriak Radu. Ia merogoh tas slempang di sisi kirinya, lalu mengambil sebuah kitab dari sana. Ia membukanya, lalu membaca dengan suara yang agak kencang. Bersama semilir angin yang lembut, suaranya pun mengalun merdu mengisi keheningan area tegalan itu.
“Indah sekali. Apa yang sebenarnya ia baca?” Umar membatin sambil melirik ke arah Radu. Tersebab kagum, apel yang hampir masuk ke dalam mulut pun diletakkan kembali ke atas keranjang. Tak mau ia suara mulut yang mengunyah mengganggu kesenangan telinganya mendengar bacaan pemuda itu.
“Ah, aku jadi ingin belajar membacanya.”