Untuk penjelasan mengenai latar belakang Umar bin Khattab, Syekh Ahmad meminta agar pemuda di sampingnya menyelesaikan buku yang ia berikan semalam. “Untuk sekarang, aku hanya akan menceritakan sebuah kisah dari nama tokoh yang kedua, yakni Muhammad Al-Fatih.”
Sejarah penaklukan Konstantinopel, itu yang akan dibawa Syekh Ahmad. Pada tahun 1453, untuk pertama kalinya kaum muslim dari Kesultanan Turki Usmani berhasil menembus tembok Konstantinopel. Pemimpin dari kaum muslim sendiri, tak lain dan tak bukan ialah Muhammad Al-Fatih. Sosok sultan yang dikenal cerdas dan berani.
“Konstantinopel merupakan wilayah yang dikelilingi tembok-tembok tinggi sebagai alat untuk bertahan dari serangan musuh. Reputasi kekokohannya amat masyhur pada zamannya. Namun, Sultan Muhammad Al-Fatih tak gentar untuk menaklukannya. Selama berhari-hari, ia bersama pasukannya berperang dengan tentara Konstantinopel yang dibantu beberapa negara Eropa lainnya. Kematian terus menerus terjadi di tiap harinya. Sampai akhirnya karena sikap pantang menyerah, tembok itu pun berhasil dihancurkan dan mereka masuk ke dalam.”
“Bukankah itu penjajahan?” Umar menengok ke Syekh Ahmad dengan mata memicing. Angin laut sedang kencang.
Lelaki yang sangat dihormati itu tersenyum. Pertanyaan menohok itu bukanlah hal aneh bagi seseorang yang dididik anti-agama di negerinya. Syekh Ahmad tidak menyanggah atau mengiyakan pertanyaan pemuda di sampingnya, tapi ia berkata, “Jika aku jawab pertanyaan itu sekarang, mungkin Anda tetap akan sulit menerimanya. Jadi, kita akan langsung menuju alasan pemberian namamu oleh almarhum Vasilia.”
“Ayah Anda, Vasilia Daw, ingin agar anaknya punya sikap kerja keras dan pantang menyerah seperti Muhammad Al-Fatih. Ia ingin agar Anda terus memperjuangkan apa yang diinginkan. Tentu dengan catatan kalau hal itu adalah hal yang baik dan benar.”
Pembicaraan pada pagi hari di tepian laut itu menumbuhkan sikap optimis yang tinggi di hati Umar. Setelah kalimat nasihat terakhir dari Syekh Ahmad tadi terucap, pemuda itu mengungkapkan sebuah keinginan. Ia ingin merebut Kerajaan Neingod kembali dari tangan Halil Sebastian. Sebab semenjak ia tersadar dari pingsannya kemarin, asumsi kalau sang penasihat adalah penghianat telah menguat.
Dari keinginan Umar, Syekh Ahmad menawarkan banyak hal bagi pemuda itu. Dari mulai bela diri, strategi penjalanan sistem pemerintahan, dan sampai keluarga baru. Untuk yang terakhir, Syekh Ahmad bukan bermaksud mengadakan sebuah perjodohan. Namun, ia menawarkan sebuah ikatan persaudaraan yang solid. Yang ia tidak langsung jelaskan secara mendetil untuk sekarang.
Tawaran yang datang disetujui. Diajaklah Umar menuju sebuah wilayah perbukitan di sebelah barat daya kampung itu.
Wilayah perbukitan.
“Buka kuda-kuda! Pukul ke depan!”
Di atas tanah lapang di mana rerumputan mempunyai setinggi 1 inci, nampak sekelompok anak lelaki tengah belajar bela diri. Di hadapan mereka, ada sesosok lelaki bertubuh tinggi dan besar yang memandu aba-aba. Ia memiliki jenggot hitam tak terlalu tebal dan tatapan mata yang cukup tajam. Seorang ahli bela diri yang dianggap memiliki kemampuan setara lima puluh orang.
“Assalamualaikum, Khalid.”
Lelaki bertubuh besar itu menunjuk seorang anak muridnya yang ada di baris terdepan dan bertempat di sebelah kanan untuk maju. Posisi sebagai pelatih ingin diganti sebentar, ia ingin mendatangi asal suara salam tadi.
“Waalaikumsalam, Syekh.” Dengan langkah cepat, lelaki yang dipanggil Khalid itu langsung mencium tangan salah seorang yang mendatanginya.
Menempuh waktu setengah jam, Syekh Ahmad dan Umar pun sampai di wilayah perbukitan. Dari perkampungan menuju tempat itu, keduanya harus melewati sebuah tegalan yang banyak ditumbuhi pohon jati dan palawija. Sampai di ujung tegalan, mereka harus melalui jalan menanjak yang dihiasi oleh beberapa pohon cengkeh di sisi kiri-kanannya.
“Yang Mulia, dia adalah lelaki yang menyelamatkanmu dari dalam dalam laut. Namanya Ibnu Khalid.”
Dahi Umar mengerut sesaat. Ia lupa memikirkan satu hal semenjak sampai di perkampungan itu, yakni siapa yang menyelamatkannya.
“Yang Mulia, namaku Ibnu Khalid. Anda bisa memanggilku Khalid.” Ibnu Khalid mengulurkan tangannya. Ekspresi lelaki itu datar, bahkan cenderung nampak dingin.
“Ah, iya. Namaku Umar Fatih. Kau bisa memanggilku Umar. Tak perlu memakai sebutan untuk raja seperti tadi. Aku bukan lagi raja.” Sembari menjabat tangan Khalid, Umar tersenyum hingga barisan giginya terlihat.
“Begitu juga Syekh atau siapapun di sini. Aku bukan lagi raja.”
Dari bawah pohon cengkeh di mana ketiganya bicara, mereka berjalan menuju sebuah gubuk yang berdiri tak jauh. Cuaca saat ini tak panas maupun hujan. Sepoi-sepoi angin bebas masuk ke dalam gubuk. Menjadikan dirinya pendingin alami bagi siapapun yang sedang ada di sana. Terlebih tempat itu berdiri di pinggir bukit yang di samping kiri dan kanannya tumbuh banyak pohon kelapa. Jadi, siapapun yang lelah bekerja di tegalan atau latihan bela diri, mereka bisa istirahat sekaligus menikmati angin dan air kelapa.
Diskusi ringan dilanjutkan Khalid, Syekh Ahmad, dan Umar. Obrolan mereka pun ditemani tiga buah air kelapa yang disajikan langsung dari buahnya.
“Apa kau sudah pernah belajar bela diri?” tanya Khalid pada Umar.
“Aku pernah mempelajarinya selama 2 tahun, tapi saat usiaku 10 hingga 12 tahun.”
“Khalid, apa kau bisa mematangkannya?” tanya Syekh Ahmad.
“Insyaallah, Syekh.” Buah kelapa yang ada di tangan pun diturunkan. Sorot matanya menajam dan tubuh dicondongkan ke depan, lalu ia berkata dengan suara yang berat, “Tapi ingatlah! Kau akan mempelajari tingkat yang tak pernah kau bayangkan. Kau akan mempelajari hal-hal yang mungkin akan membuatmu menyerah, bahkan marah. Apa kau siap?”
Mulut yang sibuk menghisap air kelapa melalui sedotan langsung berhenti. Nyalinya sedikit turun di sana. Bukan tak hanya sebab kalimat yang Khalid ucapkan, tapi juga sorot mata lelaki itu. Ya, siapa pun yang belum mengenal lelaki besar itu tentu tidak akan mau untuk mencari masalah.