Episode 18

20 2 0
                                    

"Apa kau menganggap ayahmu itu orang hebat?! Apa kau tidak percaya kalau aku lebih baik darinya?!"

--episode 17--

Langit sedang berada di proses transisi antara siang dan malam. Pupil mata berwarna biru milik pemuda itu menyaksikan sekelompok burung yang beriringan menjemput terbenamnya matahari.

Hidup sederhana, tapi dapat bergerak secara bebas bagai sekelompok burung di atas langit sana. Itulah yang kini amat didambakan Umar. Sudah 3 bulan lebih semenjak terakhir keluar istana menuju makam sang ayah, ia belum pernah lagi melewati gerbang tempat tinggalnya. Sang penasihatlah yang melarang. Ia mengatakan kalau hal itu bertujuan demi keselamatan sang raja.

Perasaan rindu untuk menikmati suasana kota agaknya sulit ditanggulangi. Setelah menghela napas dan mengakhiri kesibukan di dalam kepalanya, Umar pun berkata pada dirinya sendiri, "Malam ini aku akan pergi ke pasar malam. Sama seperti ayah, aku akan melakukan penyamaran serapi mungkin."

Malam harinya.

Tak ada seorang pun pengawal. Pergi tanpa satu suara ketoplak pun dari kuda abu-abunya. Umar berhasil lolos dari penjagaan para pengawal istana dengan mengenakan jubah hitam untuk mengelabui pandangan anak buahnya itu.

Persepsi kalau memilih untuk berjalan-jalan di pasar malam akan membuat hati senang ternyata salah. Setengah jam pasca menginjakkan kaki di sana, justru hatinya merasa diserang oleh kebingungan yang sedemikian menyiksa.

"Kembalikan pekerjaan suami dan anakku!!"

Suasana riuh karena semaraknya para pedagang dan pembeli tiba-tiba berubah menjadi ajang caci-makian. Di depan sebuah tenda yang menjual permen kapas, seorang wanita bertubuh gempal sedang meluapkan amarah pada seseorang.

Target amarah sang wanita paruh baya tak lain adalah sang raja, Umar Fatih. Wanita yang mengenakan daster coklat itu menampar pemimpin tertinggi dari Neingod hingga tersungkur.

Penyamaran pemuda bermata biru itu terbongkar setelah secara tak sengaja tudungnya terbuka. Tadi lelaki itu hendak memungut sebuah benda yang tergeletak di hadapannya. Saat membungkuk, tiba-tiba datang segerombolan anak kecil yang berlari ke arahnya. Umar yang tak siap pun tertabrak oleh mereka. Tudung hitam yang sempat menutupi kepala akhirnya jatuh ke belakang dan memperlihatkan wajahnya.

"Maaf, tapi aku tidak paham maksudmu," ucap Umar dengan memegangi pipi kanannya bersama tubuh yang masih tersungkur.

"Kau ini raja atau bukan?! Apa kau tidak tahu kalau banyak pekerja asing yang masuk ke dalam kerajaan ini, dan menggantikan para penduduk lokal?!" Wanita yang rambut disanggul itu melotot. Tak ada ketakutan di dalam hatinya, padahal ia tahu dengan siapa ia bicara.

Umar terkejut dengan apa yang didengarnya. "Aku benar-benar minta maaf. Tapi ... aku memang benar-benar tidak tahu tentang hal itu."

"Sudah hampir 3 bulan beberapa pabrik dan perusahaan besar di kerajaan ini diambil alih kekuasaannya oleh para pengusaha asing," timpal seorang lelaki pedagang ikan bakar dengan kedua tangan yang bersilangan di depan dada. Ia pula menuturkan, kalau kegiatan dagangnya saat ini dilakukan karena sebelumnya diberhentikan oleh sebuah perusahaan.

"Tak hanya itu. Sistem pajak yang diterapkan di negaraku sebelumnya juga dijalankan di sini. Padahal dulu Yang Mulia Vasilia enggan menerapkan hal itu."

Mendengarkan semua penjelasan itu, makin terbenam Umar ke dalam kubangan kegelisahan yang teramat dalam. Meski tak begitu suka belajar tentang roda kepemerintahan di Neingod, ia tahu kalau ayahnya dulu tidak menerapkan sistem pajak. Vasilia hanya memberikan ajakan kepada para penduduk untuk bersama membangun kerajaan. Ya, benar-benar ajakan, tanpa sedikit pun paksaan.

Negeri Tak Bertuhan (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang