"Comel, berhenti di sana!"
--episode 09--
Tertegunlah lelaki itu di sana. Di depan pintu kayu berukiran bulan sabit tepat di tengahnya. Bagi Umar, pintu itu seakan-akan memiliki kekuatan magis. Melaluinya, tiba-tiba saja ada seberkas perasaan aneh yang sudah beberapa tahun tak dirasakan. Itu adalah rindu pada sang ayah, Vasilia Daw. Ruangan di depannya tak lain dan tak bulan ialah kamar mendiang ayahnya.
Perasaan rindu dapat menimbulkan pembicaraan rumit di dalam kepala. Di sudut jauh benak Umar, ada beberapa kalimat yang muncul dan mengikis keegoisannya sebagai seorang anak. Salah satu di antaranya ialah kapan terakhir lelaki itu berkunjung ke kamar sang ayah, yakni lebih dari 3 tahun lalu.
Aneh memang saat mereka tinggal di satu atap, tapi sangat jarang sekali untuk sang anak mengetuk pintu kamar ayahnya. Namun, itulah kenyataannya. Selepas Umar lulus dari sekolah tinggi, ia sering kali bergaul dengan orang-orang yang lebih jauh usianya. Salah satunya ialah Edwin Sudjana. Lelaki berambut ikal yang suka memamerkan otot lengannya itu mengajak Umar untuk bergaul secara bebas.
Hidup 17 tahun dengan suasana istana yang kental dengan kedisiplinan ternyata membuat muak. Bersedialah lelaki bemata biru itu dituntun Edwin menuju jalan yang sangat tak disukai sang ayah. Satu hingga dua bulan, Umar masih bisa tersenyum hangat pada ayahnya. Namun, memasuki bulan ketiga semuanya berubah. Tak pernah lagi Vasilia menjumpai anaknya itu tersenyum maupun menyapanya.
Hal bertolak belakang justru dilakukan Vasilia. Pasca Umar lulus dari sekolah dan berubah menjadi anak pembangkang, ia tetap mencoba menuntun sang anak. Seminggu sekali di tiap minggu pagi, ia akan berkunjung ke kamar Umar. Mengetuknya, dan memberikan sepiring sarapan yang diolah dengan kedua tangannya sendiri.
Tak jarang, Vasilia menemukan anaknya itu terlelap di atas lantai dengan beberapa botol minuman keras di sekitarnya. Jika itu terjadi, sebelum ia membangunkan Umar, akan dibersihkan kamar itu terdahulu dari benda-benda yang dibencinya itu. Setelahnya, ia akan meraih secarik kertas dari buku catatan kecil yang tersembunyi dari balik saku kemejanya. Dengannya, dibuatlah satu atau dua kalimat berisi nasihat bagi anaknya.
Baru setelah itu, sang anak dibuat membuka mata. Dengan senyum tulus, sarapan itu diberikannya dengan tak lupa meletakkan kertas tadi di bawah piring. Tak perlu mendapat ucapan terima kasih, atau setidaknya segaris senyum tipis. Vasilia akan langsung pergi begitu tahu Umar sudah menyadari apa yang dibawanya.
Semua hal itu, semua sikap manis yang biasa dilakukan sang ayah, muncul di dalam pikirannya.
Rindu yang memeluk menggerakkan langkah kaki yang sudah lama sekali tak masuk ke dalam kamar itu. Didoronglah pintu sampai ke sudut terakhir.
"Siapa kau?" tanya Umar.
Sesosok lelaki berpakaian hijau khas pelayan dengan kepala yang dililiti kain hitam terlihat di kamar itu. Ia sedang sibuk menggerakkan kemoceng ke ventilasi udara di atas tirai jendela yang terbuka. Di bawah kaki kanannya, terlihatlah Comel di sana. Ia nampak menggelayuti kaki lelaki itu dengan tenang.
Tahu kalau sang raja muncul, gerakan tangannya pun dihentikan. Digantungkan kemoceng tadi di sisi kiri celananya. Sementara itu, Comel pun diraihnya. Digendong di depan dada, lalu ia berjalan mendekati Umar.
"Aku pelayan yang khusus merawat kamar mendiang Yang Mulia Vasilia." Diserahkanlah Comel pada sang pemilik, lalu tanpa berkata apa pun lagi ia pergi.
Tak ada sugesti untuk menghentikan langkah lelaki misterius itu. Tak ada pula niat mencari tahu siapa sebenarnya ia. Dengan kedua tangan yang saling bersilangan menggendong Comel, melangkahlah Umar lebih dalam. Menuju titik tengah dari ruangan.
Kesederhanaan adalah yang terlukiskan dari kamar itu. Tak seperti kamar Umar serta semua para petinggi kerajaan, tak ada satu hiasan pun di sana. Kamar itu memiliki ranjang kecil yang pas hanya untuk seorang, lemari pakaian, dan meja kerja.
Dari tempat Umar berdiri, terlihatlah sebuah tali tambang berwarna putih yang terbentang di samping kiri ranjang. Penasaran muncul, mendekatlah ia ke sana. Didapati olehnya dua buah benda berbahan mirip permadani dengan ukuran tak besar. Di atas dua benda itu terdapat gambar sebuah tempat berbentuk kubus berwarna hitam dengan sedikit garis kuning.
Umar keheranan. Selama hidupnya ia tak pernah melihat benda itu di mana pun. Untuk ukuran hiasan, rasanya tidak mungkin. Benda di depannya nampak hanya untuk digantungkan, bukan untuk dipamerkan.
Pandangan diputar 180°. Jatuhlah titik penglihatan pada meja kerja yang di atasnya ada dua tumpuk buku tebal. Di interval antara kedua tumpukan buku itu, terdapat sebuah buku yang terbuka. "Mungkin lelaki tadi membacanya," gumam Umar.
Comel yang tertidur di atas kasur dibelainya dengan lembut, lalu ia melangkah lurus. Kursi yang badannya tersembunyi di bawah laci meja kerja sang ayah ditarik keluar. Duduklah ia di sana membaca buku yang terbuka tadi.
Untuk anakku, Umar. Mungkin aku salah telah menampar dan menolak keinginanmu. Aku yakin kau marah besar. Jika kala itu di bajumu ada sebilah belati, mungkin perutku sudah berdarah-darah. Aku yakin selepas beranjak dari ruangan itu, kau pun sama. Bedanya, aku pergi untuk mulai menulis di buku ini, sedangkan kau bersenang-senang bersama temanmu.
Aku adalah ayah sekaligus raja. Aku bisa memerintahkan seorang prajurit untuk memata-matai kehidupanmu di luar istana. Mungkin jika kau di suatu waktu membaca tulisan ini, pasti akan timbul pendapat kalau aku adalah ayah yang arogan.
Sang raja yang memerintahkan seorang prajuritnya untuk memata-matai anaknya, sangat mengganggu sekali bukan? Namun, yang perlu kau tahu adalah, tiap prajurit yang kusuruh sedang tidak dalam waktu kerjanya. Mereka yang sudah menyelesaikan pekerjaan dan ingin uang tambahan tentunya.
Semua ini bukanlah karena aku takut kalau keluargaku kehilangan tahta, tapi aku takut kehilanganmu. Aku takut kehilangan sosok yang dititipkan padaku yang semestinya kudidik dengan baik dan benar.
Kau tak perlu tahu seberapa banyak aku berjuang menjagamu, yang perlu kau tahu adalah, aku sangat menyayangimu. Semoga kita akan bertemu di kehidupan selanjutnya. Aamiin.