"Jadi mulai besok aku akan menjadi raja?" tanya Umar meminta penegasan di akhir pertemuan. Satya mengangguk sambil tersenyum.
--episode 05--
Cahaya alami dari pusat tata surya sudah sedemikian terang. Jendela rumah para penduduk telah dibuka lebar. Beberapa cerobong asap industri kembali mengepulkan limbah yang menjemput awan di area luar dinding kerajaan.
Di wilayah perikanan, para nelayan sudah membentangkan jala menuju laut yang terletak di sisi luar timur dinding Neingod. Berbagai kelompok petani sudah meletakkan topi yang terbuat dari anyaman bambu di atas kepala mereka. Sekolah-sekolah telah menggemakan suara bel masuk dan mempersilakan para murid menyerbu ke dalam. Begitu juga di pusat ibu kota. Tirai-tirai toko kembali tergulung di atas.
Suasana di lorong-lorong istana turut sama sibuknya. Beberapa pelayan bergerak militan memberikan pelayanan kebersihan ke tiap sudut bangunan. Lainnya, sibuk mencampur rempah-rempah ke atas wajan dan sebagian melestarikan keindahan di halaman depan dan belakang.
Namun peluh tak ikut dirasakan sang raja baru, Umar Fatih. Bersama seekor kucing berwarna coklat dan putih di atas dada, ia masih terlelap di atas lantai kamarnya. Sehari sebelumnya, pemuda itu berpesta ria bersama penduduk di Coffee Beer. Ia baru berhenti meneguk botol vodka yang entah kesekian kalinya pada beberapa jam lalu.
Pemandangan yang tak seharusnya ada itu pun disaksikan Joseph Putra, Menteri Perdagangan. Ia masuk ke pintu kamar sang raja yang terbuka seraya menenteng setumpuk buku tebal dan agak berdebu.
"Ada apa kau pagi-pagi sekali ke kamarku?" Bersama tubuh yang menggeliyat dan meletakkan Comel (nama kucing yang tidur bersama Umar) ke atas lantai, ia membuka mata.
Dengan wajah tak berekspresi, Joseph memperlihatkan setumpuk buku yang dibawanya. Diulurkanlah buku bersampul merah yang berada di posisi teratas pada Umar, "Kau harus mempelajari apa yang dipelajari ayahmu."
Respon tak baik dilakukan. Sang raja menyingkirkan tangan Joseph dan berkata kalau itu tidak perlu. Ia berkilah dengan pernyataan sekaligus pertanyaan, "Aku punya menteri yang telah berada di bidang-bidangnya masing-masing. Kalau aku juga bekerja, lalu apa gunanya kalian? Bukankah raja hanya bertugas untuk memerintah?!"
Tahu kalau kekesalannya akan menjadi bumerang jika diluapkan. Dengan menaikturunkan napasnya, menteri termuda itu menjelaskan dengan perlahan mengenai tugas-tugas sang raja. Namun Umar bergeming, ia tetap dengan argumen pribadinya.
"Apa-apaan ...." Amarah meletup. Kekesalan hampir sudah tak dapat lagi ditahan. Namun belum kalimat cacian secara lengkap dilontarkan, Halil datang pada mereka berdua. Lelaki tua itu menyunggingkan senyum.
"Joseph, biar aku saja yang menjadi pembimbingnya."
Joseph langsung berdiri dan menatap tajam wajah Halil. Kecurigaan pada lelaki tua itu memang selalu berada di barisan depan pikirannya. Namun untuk kali ini agaknya kekesalan pada Umar mengikis pikiran buruk pada Halil. Tanpa berkata apa-apa, Joseph pergi dari ruangan itu dan meninggalkan buku-buku yang ia bawa.
Tak seperti Joseph, setumpuk buku di kamar itu disingkirkan. "Kau tak perlu repot-repot membaca buku apa pun. Aku akan selalu di sampingmu dan membisikkan langkah apa yang sebaiknya kau lakukan."
Umar tertegun. Pikirannya menimang pernyataan itu.
"Usiaku dengan ayahmu terpaut jauh, jadi pengalamanku jauh lebih banyak daripadanya. Kau tak perlu khawatir kalau usulku nanti merugikanmu, karena pasti itu yang terbaik."