"Akhirnya kau mengunjungi ayahmu juga." Lelaki itu tersenyum tipis.
--episode 11--
Di wilayah paling timur kerajaan, ada sebagian bentuk tembok yang berbeda. Tingginya hanya 10 meter dan tidak dibangun di atas tanah. Garis terbawah tembok itu berdiri di atas 5 meter permukaan laut. Jika seorang pelaut masuk melalui tembok itu, dia akan mendaratkan perahunya pada dermaga yang berjarak 21 meter. Neingod memiliki lima bentuk tembok yang seperti itu dengan tiap dermaga terdapat 5-10 perahu nelayan."Sudah lama rasanya aku tidak berkunjung ke sini," gumam Umar. Dengan tetap menunggang kuda, dinikmatilah semilir angin laut yang tidak begitu kencang dari salah satu dermaga.
"Raja, ayo masuk!"
Berpalinglah Umar dari langit timur yang mulai gelap ke asal suara yang meneriakinya. Teriakkan tadi berasal dari lelaki yang ditemuinya di kamar sang ayah dan area pemakaman. Ia berdiri di depan sebuah pintu rumah yang terletak tak jauh dari posisi sang raja berada.
Tali pengekang dihentak, dipaculah kuda abu-abu yang ditungganginya. Pintu rumah yang dituju pemuda bermata biru serupa dengan pintu kamar ayahnya. Ada ukiran bulan sabit yang berada di titik paling tengah.
Duduklah Umar di ruang tamu ditemani secangkir kopi beraroma khas yang memikat. Setelah kopi itu dihidangkan, lelaki sang pemilik rumah meminta waktu selama 10 menit untuk pergi. Sebagai seorang tamu, tak ada pilihan baginya untuk mencegah. Mengangguklah Umar, kemudian lelaki yang belum mengenalkan diri itu berjalan ke sisi dalam rumah.
Dari balik bibir cangkir kopi yang menyentuh mulutnya, tiba-tiba ia melihat sesuatu yang membuat perhatianya tersita. Itu adalah benda yang sama seperti di kamar Vasilia. Sebuah kain berbahan mirip permadani, memiliki gambar benda berbentuk kubus dengan warna hitam dan sedikit garis kuning.
Seteguk kopi sudah mulai mengalir ke tenggorokan. Ditaruhlah cangkir di tangannya ke atas meja. Kemudian Umar berdiri, lalu berjalan ke arah benda yang juga tergantung di atas tali itu.
"Aku pikir hanya ayah yang memiliki benda seperti ini, tapi kenapa juga ada di sini? Apa hubungan ayah dan pemilik rumah ini?" Umar mengelus benda di depannya, dan memang sama.
"Jadi, inilah anak Vasilia?"
Menolehlah Umar. Dari pintu yang menuju ruang dalam rumah itu, terlihat sesosok lelaki tua berjubah putih. Lelaki itu memiliki jenggot putih tebal yang nampak tersambung dengan kumis berwarna sama. Ia datang dengan tersenyum, dan tangan kanan yang nampak memegangi sebuah tongkat kayu untuk berjalan.
"Benar, Syekh. Mari kita berkenalan!"
Akhirnya terungkap siapa nama sosok lelaki yang sedari sore membuat sang raja bertanya-tanya. Ia bernama Abu Radu, anak dari asisten pribadi Vasilia. Sedangkan lelaki tua di sampingnya memperkenalkan diri sebagai Ahmad Sulaiman.
Kini tak hanya secangkir kopi yang asapnya mengepul di ruangan itu, hadir pula dua cangkir teh hijau di sana.
"Rasanya baru sekali ini aku melihatmu datang ke makam Paman Vasilia."
"Mungkin sibuk. Bukan begitu, Yang Mulia?" Tersenyum Syekh Ahmad Sulaiman pada Umar.
"I-iya, Pak," Umar agak tergagap dengan kepala yang menunduk.
Sejatinya, Radu tahu apa yang menjadi alasan sikap tak peduli lelaki berambut gondrong itu. Namun, ia enggan mengutarakannya. Keributan sekecil apa pun harus dihindari, ini kesempatan langka bisa bertemu dengan Umar.
"Radu, apa benar kau anak dari Paman Malik? Aku ragu dengan hal itu."
Dengan tersenyum, Radu mengawali jawaban yang akan membuka pintu menuju sebuah kebenaran yang cukup besar. Lelaki itu menuturkan, kalau memang ia tak pernah mengunjungi istana sebelum ayahnya meninggal. Selain Malik melarang, lelaki berhidung mancung dan dagu dihiasi jenggot tipis itu memang tidak menginginkannya.
"Selepas ayah meninggal dengan tak wajar, aku akhirnya masuk ke dalam istana untuk pertama kali. Di sana aku memang bekerja menjadi petugas kebersihan, tapi bukan itu tujuan utamaku."
Pembicaraan mulai serius, keingintahuan sang raja makin meninggi. Terlontarlah pertanyaan dari mulutnya mengenai maksud ucapan Radu barusan. Ia memang tidak tahu mengenai apa penyebab sang ayah dan asistennya meninggal.
Lelaki pemilik rumah itu menghela napas sejenak. Sebal ia atas ketidaktahuan pemuda bermata biru di depannya yang keterlaluan. Namun, penjelasan harus diberikan. Tak boleh ia menyia-nyiakan kesempatan untuk membuka rahasia besar di benaknya.
"Penghianatan, itulah asal muasal kematian Paman Vasilia dan ayahku."
Mata Umar membulat. Otaknya mendadak sibuk menerka siapa yang dimaksud Radu.
Kemudian nama yang terdengar oleh lelaki yang tidak tahu banyak hal itu membuat atmosfer memanas. Radu mencondongkan tubuh dan kepalanya ke depan. Sorot mata yang ia hantarkan menunjukkan keseriusan, "Halil Sebastian."
"Jangan membual, bodoh!! Tidak mungkin Paman Halil yang begitu kukagumi melakukan hal menjijikkan seperti itu!" Sang raja berusia muda itu menggebrak meja. Matanya melotot.
Radu menyeringai, respon Umar sesuai perkiraan. Tubuh yang tadi dicondongkan kembali ditarik mundur. Bentakkan yang tadi diterima tidak memancing amarah di hatinya. Kemudian penjelasan pun berlanjut, makin gila.
Sang anak mendiang asisten raja itu menerangkan kalau sebenarnya Malik sudah memberi tahu sejak lama. Namun, ia sendiri bersama Vasilia belum menemukan bukti kuat untuk menjerat Halil. Sahabatnya memang berstatus sebagai raja, tapi ia tak ingin menyalahgunakan wewenangnya.
Atas dasar itu, masuklah Radu ke dalam istana dengan membuat identitas sebagai petugas kebersihan. Selama 2 bulan bekerja di sana, ia selalu mencari bukti-bukti tambahan kebusukan sang penasihat raja. Namun, selama itu pula ia gagal. Pernah di bulan ketiga saat hampir tengah malam, ia tak sengaja melihat seseorang berjubah abu-abu yang berjalan di lorong istana.
Penampilan yang begitu misterius memicu rasa penasaran mengusik, Radu pun memilih untuk membuntutinya. Sampailah lelaki berjubah abu-abu itu di kamar Halil dan masuk tanpa perlu mengetuk pintu. Suasana yang sedemikian sepi, membuat Radu berani untuk menguping di dekat pintu.