"Akulah penguasa, tak boleh ada yang menentangku!"
--episode 06--
Tak seperti wakil demonstran pertama yang seorang lelaki, seseorang yang baru saja mengisi sisi kanan singgasana ialah wanita. Sosok wanita paruh baya berpakaian sederhana dengan wajah merengut.
"Jangan bercanda!!" Umar terperangah.
Utusan demonstran kedua menuturkan mengenai perselingkuhan yang merebak di wilayah pertanian. Penyebabnya ialah para imigran baru yang diizinkan menetap di beberapa rumah penduduk. Itu tentu sangat bisa terjadi mengingat banyak dari para imigran baru yang berparas lebih menawan.
Bingung, itu yang terjadi pada otaknya. Lagi-lagi keengganan si pemuda bermata biru untuk belajar berhasil menjadi bumerang. Di sisi kiri, sang prajurit diam dan menatap Umar dengan tajam. Di sisi seberangnya, wanita sederhana itu terus mengoceh sebal atas sikap suaminya. Dijepit dengan dua cara berbeda tanpa sedikit pun pengalaman atau pengetahuan, sang raja hanya bisa menggigit jarinya.
Bak malaikat. Dalam kekalutan itu, datang sang penasihat yang sangat dipercayainya. Dengan mulut yang sibuk mengunyah sesuatu, Halil muncul di balai agung, "Seorang pelayan ... memanggilku ..., ada apa ... memangnya?"
Umar diam saja. Dibiarkan seseorang yang biasa disapanya dengan paman itu menyelesaikan kesibukan dalam rongga mulutnya.
"Seorang pelayan memanggilku, ada apa memangnya?" ulang Halil dengan lebih lancar. Mulutnya sudah tenang.
Singgasana dikosongkan. Umar menuruni tiga buah anak tangga untuk menuju Halil yang berada di tengah-tengah ruangan. Pembicaraan bernada pelan antara mereka terjadi. Seketika sang lelaki berusia tua itu terperanjat. Namun, ajaibnya jawaban begitu cepat terlontar.
"Naikkan semua gaji para prajurit! Biarkan mereka bersenang-senang dengan para wanita lajang di ibu kota!" usul Halil, yang sejatinya lebih pantas ditafsirkan sebagai perintah.
"Untuk para imigran, kita dirikan rumah-rumah baru, dan mungkin juga sebuah pekerjaan."
Pertanyaan mengenai keuangan kerajaan diucapkan. Tak yakin Umar kalau wilayah kekuasaannya bisa mencukupi hal itu. Namun, Halil menjawab dengan segaris senyuman tipis. "Kita akan menemui Sri Natalie setelah ini untuk menjawab pertanyaanmu."
Keputusan berhasil dibuat. Setelah para wakil demonstran di samping singgasana diperintahkan untuk keluar, keduanya segera menuju kantor menteri keuangan.
"Jangan seenaknya membuat kebijakan konyol seperti itu! Harusnya, kau sebagai raja baru yang minim pengetahuan dan pengalaman, berdiskusilah bersama para menteri!" Di belakang meja kerjanya, Natalie lekas berdiri dan melotot ke arah Umar dan Halil.
Data dibuka. Natalie berjalan ke sebuah papan tulis putih yang tergantung di belakang kursinya. Di sana terdapat tabel, grafik, diagram, dan beberapa angka, Umar tidak mengerti itu semua.
Dari apa yang tertulis di sana, tergambarlah situasi keuangan Kerajaan Neingod. Gawat, itulah keadaannya. Beberapa industri memiliki income sangat jauh di bawah garis minimal. Para petani kesulitan mendistribusikan hasil panennya ke luar kerajaan. Banyak nelayan pun dilanda ketakutan berlayar karena laut sedang pasang. Kondisi yang sangat tidak memihak itu pun berdampak pada aktivitas dagang di pusat ibu kota. Banyak toko mengalami kerugian sebab sepinya pembeli.
Tinggal satu hal yang belum dijelaskan, dan itu diutarakan Halil, "Bagaimana dengan pajak? Bukankah pendapatan pajak untuk kerajaan di tahun kemarin cukup bagus?"
Wajah Natalie masam seketika, "Halil, kau ini penasihat raja, apa kau tidak tahu kebijakan Raja Vasilia?! Dia memerintahkan pendapatan pajak yang menjadi tabungan kerajaan akan disalurkan kepada rakyat yang membutuhkan!"
Bukan meminta maaf atas ketidaktahuannya, Halil justru menyerapahi raja sebelumnya. Anggapnya, Vasilia tak becus mengurus kerajaan.
"Ternyata selain rakus, kau juga tak punya jiwa kepemimpinan! Justru itulah tugas seorang raja untuk memastikan rakyatnya baik-baik saja. Kau tentu ingat insiden penamparan pada Umar tempo hari. Karena hal itu, hari ini aku sangat lega. Kalau saja mendiang Vasilia menyetujuinya, aku jamin hari ini kerajaan akan berada di keadaan yang teramat genting."
Halil kehabisan kalimat. Tertegun ia menyantap racun yang berhasil membungkam mulutnya. Namun, pertemuan yang pada awalnya diniatkan untuk diskusi dan berubah jadi debat itu belumlah berakhir. Giliran sang raja penerus yang bersuara, "Menjijikkan sekali kau membela lelaki yang tak berguna dan kini sudah mati itu!"
Natalie terheran. Ia tahu kalau lelaki muda yang kini menjadi atasannya memanglah tidak akur dengan sang ayah, tapi kalimat tadi sungguh kejam. Giliran wanita itu yang terbisu. Sebagai orangtua, ia tentu akan sedih jika mendengar sang anak melecehkannya seperti Umar.
Serapah pada mendiang raja berlanjut di sana. Sampai saat Umar menghentikan ocehan pedasnya, Natalie terus terdiam. Tak sedikit pun mulutnya terbuka. Dalam hati, ia merasakan kepiluan yang terus bertambah menyakitkan.
Halil menarik rahangnya ke bawah, ia siap bicara, "Indonesia, kita bisa meminta uang ke negara itu untuk melanggengkan kebijakanmu."
"Halil, apa kau sudah lupa, atau mungkin tidak tahu tentang kebijakan Raja Vasi ...." Ucapan Natalie yang bernada rendah itu seketika berakhir belum waktunya. Umar membentak, tak suka ia ada mulut yang mengucapkan nama ayahnya sendiri.
"Paman, mari kita pergi! Tak ada gunanya meminta tolong pada bawahan yang tak berguna seperti dia!" Dengan raut muka yang masam, Umar membalikkan badan dan berjalan menuju pintu.
"Umar, kusarankan mulai hari ini kau banyak membaca buku-buku yang dibaca juga oleh mendiang ayahmu. Jadilah cerdas serta bijak, dan jangan turuti orang tua di sampingmu itu!" Natalie menahan tangis. Kasihan ia pada Vasilia yang memiliki watak sungguh baik, tapi anak lelakinya justru begitu menyedihkan.
Kepedulian yang bergema di sana tak dipedulikan. Untuk berhenti melangkah selama setengah detik saja enggan. Bersama sang penasihat, raja kedua kerajaan itu pun akhirnya lenyap dari pandangan Natalie. Dalam kesendirian, tangis yang sedari tadi ditahan akhirnya menyeruak, "Vasilia, semoga kau baik-baik saja di sana. Semoga anakmu itu bisa sadar seberapa indah rasa cintamu padanya."
Di sebuah lorong istana, pembicaraan Umar dan Halil dilanjutkan sambil keduanya berjalan. Dari apa yang diucapkan sang raja, ia setuju dengan usulan tadi.
"Tapi Umar, apa kau tidak takut kalau nanti Natalie atau Joseph menentang?"
"Akulah penguasa, tak boleh ada yang menentangku!"
"Paman, aku serahkan urusan ini padamu. Aku mau menenangkan diri bersama teman-temanku di Coffee Beer," ujar lelaki bermata biru itu tanpa mengalihkan pandangan yang lurus ke depan.
Frekuensi langkah meninggi dengan sesekali menghentak lantai. Ditinggalkanlah Halil sendirian. Dari belakang punggung raja yang makin menjauh, ia mengernyih. Ada hal busuk di balik wajah yang banyak dipeluk keriput itu.
Di hari yang sama, pergilah dua orang utusan untuk menemui Presiden Indonesia. Mereka tak serta merta berangkat ke sana. Sebelum pemilihan sepasang utusan, Halil telah membuat selembar surat permohonan yang ditandangani Umar. Sayangnya, lelaki bermata biru itu tidak membaca isi suratnya sebelum membubuhkan tanda tangan. Ia tidak tahu kalau ada bahaya yang siap mengintainya.