Episode 16

28 5 0
                                    

Syekh Ahmad tersenyum, kemudian ia berkata, "Berjuanglah dengan terus mengingat nama-Nya. Semoga Allah merahmatimu."

--episode 15--


Sebuah sikap individualis sering kali menyingkirkan sifat-sifat peduli pada orang lain yang muncul di dalam hati. Di sebuah jalan di depan pintu rumah berukiran sabit, upaya menggedor-gedor jalan masuk itu tak dihiraukan siapa pun.

"Aku yakin sudah mensabotase lubang kuncinya, tapi rasanya pintu ini tidak bisa untuk didorong ke dalam," ujar salah seorang dari kelompok pembunuh itu. Ia berulang kali memutar gagang pintu di depannya, mendorongnya ke dalam, tapi tak seinci pun pintu itu bergerak.

Sang ketua mencabut pedang di punggungnya. Dimintalah sang anak buah untuk menyingkir dari hadapannya. Hal mengerikan terjadi. Ia membelah pintu di depannya dengan dua kali ayunan pedang.

Apa yang menjadi kebingungan mereka akhirnya terungkap. Dari balik pintu yang kini tak berada di posisinya, terlihatlah tumpukan meja dan kursi yang menghalangi jalan. Tanpa ada basa-basi maupun perintah. Tembok yang dibuat dengan mendadak itu langsung hancur. Dengan sekali tendang, meja dan kursi yang disusun sedemikian rapi itu kini bertebaran ke segala arah.

"Empat orang masuk bersamaku, sisanya tetaplah berjaga di luar!" teriak sang ketua kelompok itu yang kini mulai berjalan masuk.

Masuklah ia lebih ke dalam dari rumah itu. Langkahnya mengendap-endap. Otaknya berpikir kalau bisa saja akan ada jebakan yang sudah disiapkan di ruangan yang gelap itu. Berkat lemari yang diletakkan di belakang jendela, bulan juga tak mampu untuk membiaskan cahayanya segaris pun ke dalam.

"Air, ya? Jadi, mereka ingin membuat kelompokku terjatuh setelah melewati halangan pertama? Pintar sekali." Ketua Serigala Perak itu menginjak air di celah antara dua kaki kursi yang tergeletak di depannya.

Tahu kalau situasi apa pun bisa terjadi. Diperintahkanlah seluruh anak buahnya untuk mencabut pedang. Mereka harus siap dengan segala serangan yang bisa saja datang.

"Ah!"

Dibantu gelap, ranjau berhasil dengan tugasnya. Sang ketua dari kelompok itu menginjak dua paku payung dengan kaki kanannya.

"Pinggirkan meja dan kayu di ruangan ini! Berhati-hatilah dengan paku yang bertebaran di lantai!"

Sambil mengerang kesakitan, mundurlah sang ketua ke arah luar. Ia harus mencabut paku-paku di kakinya untuk melancarkan misi. Kini di dalam sana diisi oleh empat orang anggota Serigala Perak. Bukannya sibuk mencari target, mereka justru dibuat repot dengan perintah menyingkirkan berbagai jebakan.

Ada satu kesalahan besar yang mereka lakukan. Sebelum melaksanakan perintah sang ketua, tak ada satu pun anggota yang bergerak mencari penerangan. Tak ada pemikiran kalau bisa saja mereka disergap dalam gelap.

Kebodohan itu berbuntut panjang. Dalam kegelapan, pintu kedua yang menghubungkan ruang belakang mulai terbuka ke dalam secara perlahan. Dari sana muncul sebuah lubang pistol. Ia mengarah pada seorang lelaki yang tengah sibuk memunguti paku dengan tubuh membungkuk.

Sebuah peluru terbang ke arah lelaki yang tengah membungkuk itu. Jarak yang dekat dan gelap begitu pekat, tak ada waktu untuk melakukan penghindaran. Pinggang kanan tertembak. Tubuhnya pun terpental dan tergesek beberapa paku yang belum sempat disingkirkan.

"Bunuh dia!!"

Mata memang sukar melihat, tapi suara tembakan dan jatuhnya seseorang ke atas lantai dapat terdengar. Tiga orang yang tersisa di ruangan itu langsung berlari memburu. Sayangnya jarak mereka tak sedekat dengan teman ketiganya yang baru saja terjatuh itu. Tiga buah peluru dengan mengerikan menghujam perut mereka semua.

Negeri Tak Bertuhan (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang