Episode 21

12 4 3
                                    

“Sial, mereka menemukanku.”
Jantung berdebar-debar. Tenggorokan berulang kali menelan ludah. Umar terus berlari menjauh dari para pengejarnya. Solusinya untuk pergi dari pintu belakang rumah Radu ternyata gagal. Kelompok itu membagi diri menjadi dua dan menemukan sang raja bersamaan.
Pikiran yang sudah kalut pun makin kalut. Dalam pelarian yang Umar sendiri akan menjadi akhir hidupnya itu, sempat ia menengok ke belakang. Matanya membulat seketika, salah seorang anggota Serigala Perak berlari sendirian dengan kecepatan tinggi.
“Aku akan ....”
Akselerasi tinggi dijalankan. Berhentilah Umar di tepian dermaga, trek larinya telah habis. Seketika otaknya sibuk memikirkan solusi dari situasi ini. Memaksakan diri untuk melawan, atau ....
Satu meter di depan mata, maut tiba-tiba terasa begitu dekat. Sebuah seringai jatuh ke dalam tatapan Umar. Dada raja itu telah terluka parah. Sebilah pedang yang di bagian pegangannya ada ukiran kepala serigala telah menyerang badannya dari sisi kiri.
“Uagh!!”
Tak sampai 3 detik darah mengalir keluar dan bajunya basah oleh cairan merah, serangan berikutnya datang. Lelaki pemburu di depannya menjejalkan tendangan ke arah luka yang baru tercipta. Umar terpental melewati tepian dermaga, dan langsung terjatuh ke air.
Alam enggan berbelas kasih. Digulunglah Umar oleh ombak. Hanyut ia menuju ke luar dinding yang menghubungkan ke laut.
--(0)--
Sebuah perahu kecil bermesin masuk melewati dinding Kerajaan Neingod. Di atasnya ada seorang lelaki berjenggot hitam yang tebal dan memiliki tubuh besar di sana.
Sampai ia ke dermaga dan langsung mengikatkan perahu merahnya tepian. Kaki ditegakkan, lalu lelaki itu menceburkan diri ke dalam laut. Tak sampai 2 menit, kembalilah ia ke permukaan bersama sesosok lelaki yang tidak sadarkan diri.
Tubuh yang ditemukan dari dalam laut tidak dibawa menuju rumah sakit. Dinaikkanlah sesosok lelaki yang nampak terluka parah itu ke atas perahu. Tali pengikat benda itu dilepaskan, pergilah ia kembali menuju ke luar dinding.
Setengah jam kemudian.
Perahu kembali dihentikan, tapi bukan pada dermaga khusus seperti tadi. Lelaki itu menepi pada sebuah permukaan tanah yang agak menjorok ke laut. Dicengkeram kerah baju sesosok lelaki yang dibawanya, kemudian ia turun dari perahu.
“Dia datang!” Dari pinggir sebuah perkampungan, ada sekelompok warga yang nampak sedang menunggu sesuatu. Salah seorang lelaki di antaranya mengarahkan telunjuk pada suatu hal. Tak lain dan tak bukan, yang dimaksudnya adalah seorang lelaki yang tadi pergi dari Neingod menggunakan perahu.
Para warga yang mengelompok itu berlari menuju lelaki yang baru saja datang. Diraihlah oleh mereka sesosok pemuda tak sadarkan diri yang dibawanya di atas pundak kanan. Pertolongan cepat diadakan. Pemuda berambut gondrong itu langsung dibawa ke sebuah rumah untuk ditutupi lukanya.
Beberapa jam kemudian, kesadaran telah datang. Terbukalah mata sang pemuda itu dan menunjukkan warna pupil birunya. Tiga orang yang membersamai sigap membantu dengan meraih punggungnya. Setelah dalam posisi duduk, diberikan secangkir teh untuk diteguknya.
“Syukurlah Yang Mulia masih hidup,” ucap seorang lelaki yang memberikan secangkir teh pada Umar.
“A-aku ada di mana sekarang?”
“Yang Mulia sekarang ada di sebuah kampung di luar Kerajaan Neingod. Ibnu Khalid-lah yang telah menarik Anda dari laut.”
Umar menekur seketika seraya memandangi kedua telapak tangannya. Ia mengingat kejadian mengerikan tadi malam yang dikira akan menghabisi riwayatnya. Sang raja yang diasingkan itu tak percaya, kalau saat ini berada di atas kasur dan dapat menghirup udara.
Dari luar ruangan, terdoronglah pintu kamar ke dalam di mana Umar saat ini berada. Di sana muncul dua orang lelaki berbeda generasi. Yang satu ialah lelaki berusia senja dan datang dengan segaris senyum. Sementara di sisi kirinya adalah pemuda yang sebaya dengan sang raja. Ia muncul dengan wajah datar saja.
“Kalian ... bukankah sudah mati?” Umar terperangah tak percaya. Di depannya ada Syekh Ahmad Sulaiman dan Abu Radu. Dua orang yang menurut asumsinya telah tewas dibunuh.
“Rencana pembunuhan terhadap kami berdua telah gagal dilaksanakan oleh Serigala Perak. Halil Sebastian telah ditipu oleh anak buahnya sendiri,” jelas Radu.
“Ja-jangan bercanda! Ini pasti mimpi. Ya, ini pasti mimpi. Aku sekarang sedang tidur nyenyak di kamar dan menunggu pagi untuk bangun,” tolak Umar, tapi dengan keragu-raguan yang mencolok. Kedua mata biru pemuda ditundukkan. Enggan ia melihat tatapan Radu.
Radu yang tetap dengan wajah datarnya menunjuk ke arah perban yang melintang di tubuh Umar. Ia menanyakan pendapat sang tamu, apakah luka pada tubuhnya terlihat sungguhan atau bukan.
“Kurasa cukup untuk sekarang. Kita biarkan Yang Mulia beristirahat dulu di sini.” Syekh Ahmad menepuk pundak kiri Radu.
Sanggahan segan keluar. Tanpa perlu menunggu lama, berbaliklah Radu menuju pintu. Diikuti oleh ketiga lelaki yang tadi mengawasi dan merawat Umar semasa belum sadarkan diri. Syekh Ahmad membuntuti paling belakang. Ia tersenyum pada pemuda bermata biru itu sebelum memutar tubuhnya.
--(0)--
“Allaahu akbar. Allaahu akbar.”
Umar terkesiap di atas ranjang. Tak percaya dengan apa yang didengarnya. Setelah kali pertama diperdengarkan oleh salah seorang gurunya, ini adalah kedua kalinya Umar mendengar kalimat azan. Neingod memang mewajibkan tiap penghuninya untuk tidak bertuhan, tapi mereka juga diajarkan mengenai berbagai agama. Hal itu dilaksanakan sebagai sikap antisipasi kalau-kalau ada seseorang yang ingin menyebarkan agama di sana.
Rasa penasaran tentang azan yang diajarkan beberapa tahun lalu seketika muncul. Dengan tubuh lebih bugar daripada sewaktu baru tersadar, Umar beranjak dari ranjang. Langkahnya perlahan menuju pintu kamar untuk kemudian menjemput pintu utama.
Pemandangan yang muncul di hadapan sesuai dengan apa yang dijelaskan saat masih duduk di bangku sekolah. Bersama sarung yang menyelimuti bagian bawah tubuh dan kopiah sebagai penutup kepala, banyak orang berbondong-bondong menuju suatu tempat.
“Mereka akan menuju masjid. Kalian tahu untuk apa? Mereka akan berdiskusi tentang jihad. Mereka akan berdiskusi tentang terorisme yang akan dilakukan pada orang lain.” Pemuda bertelanjang dada itu mengingat penjelasan dari gurunya.
Keingintahuan sukar reda, ia malah melonjak naik. Dengan langkah yang tak mampu cepat, Umar menyusul orang-orang yang mayoritas mengenakan pakaian putih.
“Qad qaamatish shalah. Qad qaamatish shalah. Allaahu akbar. Allaahu akbar. Laa ilaaha ilallah.”
Umar mematung di halaman masjid. Matanya menyoroti para penduduk yang sedang salat melalui jendela berukuran 1 x 2 meter. Hingga 15 menit berselang, para jemaah pun akhirnya keluar. Dari mereka, seorang lelaki berpakaian hitam datang mendekati Umar.
“Hei, kenapa kau hanya berdiri di sana tanpa masuk ke masjid? Apa kau ingin salat tapi tidak tahu caranya?”
Sang raja terbuang menggeleng. Ia berkata kalau ingin mengawasi kegiatan para jemaah saja.
Alis lelaki itu saling bertautan. Pandangan matanya yang tadi teduh berubah menjadi menyelidik. Tangan kanannya pun berkacak pinggang. Bertanya ia tentang maksud perkataan sosok asing di hadapannya barusan.
“Lelaki itu bernama Umar Fatih. Ia adalah raja dari Kerajaan Neingod.” Salah seorang lelaki lain dari jemaah bersuara.
Tangan yang tadinya hanya berkacak pinggang pun naik. Tangan kiri dan kanan saling bersilangan di depan dada yang sedikit busungkan. Tatapannya menajam, lalu berkata, “Jadi kaulah raja yang merayu banyak muslim berekonomi rendah untuk murtad dan tinggal di kerajaanmu?”
Ingin Umar menyanggah pertanyaan itu karena ia tak pernah merayu siapapun untuk tinggal di Neingod. Ia tahu. Ya, ia tahu siapa dalang dari ketidakbenaran pertanyaan sekaligus pernyataan itu. Namun, pikirannya berkata kalau itu percuma. Tak akan ada yang mau memahami.
“Lancang sekali kau seenaknya membuat orang lain untuk keluar dari agamanya! Apa kau tidak memikirkan kekacauan dari apa yang kau perbuat?”
“Kekacauan? Apa maksudmu? Bukankah sistem kerajaanku dapat menciptakan perdamaian di dunia?” Umar menyerang balik.
“Kedamaian macam apa yang kau maksud?”
“Islam adalah teroris. Aku benar, ‘kan?”
Amarah tentu melonjak cepat. Langsunglah lelaki itu menguraikan tangannya yang bersilang dan mencengkeram leher Umar. Kemudian, ia menarik kepala pemuda yang berpostur lebih tinggi itu hingga hidung keduanya hampir bersentuhan.
“Jangan bercanda! Kau tidak tahu apa pun tentang Islam!”
Gestur keduanya memancing perhatian. Para jemaah yang baru keluar masjid dan berjalan di dekat mereka pun langsung berhenti berjalan. Menggerombol mereka untuk melingkari dua lelaki itu.
Seakan tak gentar, Umar kembali menyerang, “Ini tak hanya tentang Islam, tapi agama lain juga. Budha Myanmar menyerang etnis Rohingnya, Kristen bersama Perang Salibnya, Hindu India dengan diskriminasi pada muslim, Yahudi Israel dengan penjajahan terhadap Palestina, dan Islam dengan tragedi 11 September-nya.”
“Bukankah sudah ada berita kalau tragedi 11 September merupakan propaganda Amerika untuk menyudutkan muslim?” Lelaki yang tadi memberitahukan identitas Umar pun menyanggah.
Umar tertawa kecil, lalu ia kembali bicara, “Apa kau ada buktinya kalau bukan muslim yang melakukan itu? Apa pemerintah Amerika mengonfirmasi tentang propaganda mereka setelah banyak ilmuwan menentang? Tidak, ‘kan?”
Sanggahan tidak terlontarkan. Para jemaah yang melingkari Umar hanya tertegun.

Negeri Tak Bertuhan (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang