Episode 02

74 11 0
                                    

"Lucuti dia!" perintah sang lelaki berambut ikal setelah melihat Alfiyansyah yang terkapar di atas lantai kayu tempat itu. Kedua tangannya yang kekar saling bersilangan, dan mulutnya mengeluarkan seringai yang menyiratkan kekejaman.

--episode 01--


Komando dijalankan. Beberapa wanita berpakaian sangat minim mendekati pemuda yang baru saja dibuat tak sadarkan diri itu. Salah seorang di antaranya menjulurkan lidah, lalu menariknya kembali dengan cepat sambil mengulum bibirnya. Ada hasrat yang mengalir dari caranya berekspresi itu.

"Kalian nikmati dia! Aku ada janji," ucap si lelaki berambut ikal. Ia berjalan ke sisi pintu. Sesaat ia menengok ke arah pemuda yang baru saja dikerjainya itu.

"Terima kasih, Bos Edwin," ucap salah seorang wanita yang tengah mengelus lembut rambut Alfiyansyah.

-----(o)-----  

Meja yang tadinya hanya diisi oleh dua cangkir kopi beraroma latte, kini dihiasi pula sepiring roti beraneka macam. Pembicaraan serius dua lelaki itu belum menemui titik akhir, bahkan hingga senja hampir kehilangan waktu.

"Tawaran yang amat sangat bagus, tapi tentu tak semudah itu membujuk ayahku. Terlebih sudah dua tahun berturut-turut si lelaki tua itu melarang pesta musim panen." Bagi Umar, tak hanya kopi dan roti yang menemani pembicaraan. Sepuntung rokok yang abunya baru saja dijatuhkan ke atas asbak di samping kiri cangkir kopinya turut menyibukkan mulutnya.

Kuncoro mengembuskan napas berat melalui kedua telapak tangannya yang agak dirapatkan di depan mulut. Sudah satu setengah jam lebih ia menjelaskan semua hal untuk diajukan dalam kerjasama bisnis dengan Umar, tapi tak ada hasilnya.

Sebentar lagi musim panen tiba di Kerajaan Neingod. Dalam merayakan kebahagiaan itu, biasanya akan diadakan pesta besar-besaran selama semalam. Kala pesta itu berlangsung, semua rakyat boleh melakukan hal apapun semau mereka, kecuali mengganggu pemerintahan. Tak pandang usia dan harta, mereka boleh melebur ke dalam acara itu. Oleh karena itu, Kuncoro menawarkan sesuatu yang amat sangat menarik, yakni harga minuman keras dengan harga miring.

Kuncoro adalah pemilik pabrik minuman keras yang amat terkenal di negara asalnya. Dari minuman keras yang harganya mampu dibeli rakyat menengah ke bawah, sampai pada yang mampu meningkatkan gengsi belaka. Tak hanya itu, ia pula importir andal dalam penggelapan minuman keras.

Minum-minuman keras di jalanan, pesta seks di tempat terbuka, bahkan mengonsumsi narkoba dimanapun sesuka hati. Namun, sudah selama dua tahun berturut-turut sang raja tidak mengizinkan pesta rakyat itu. Tak ada rakyat yang tahu, tak ada seorang petinggi pun yang dijawab jika bertanya, bahkan anaknya sendiri pun tidak diperkenankan tahu. Bukan pergantian raja menjadi sebab, karena ia adalah sang raja pertama.

"Umar!"

Obrolan terjeda. Si lelaki bermata biru menengok ke belakang. Hadirlah Edwin Sudjana, si lelaki berambut ikal dan berkulit gelap yang menjebak Alfiyansyah. Umar melambaikan tangan dan tersenyum tipis. Kini pembicaraan bisnis di tempat itu ditambah personilnya.

Edwin dan Kuncoro saling menjabat, keduanya sudah saling kenal. Setelah satu pertanyaan mengenai kabar, Kuncoro menjelaskan sudah sejauh mana bahasan yang ada, termasuk bimbangnya Umar.

"Kau bisa menjualnya dengan harga lebih tinggi pada ayahmu, dan hasilnya bisa digunakan untuk keinginanmu. Kau ingin secepatnya mengawini Rita, 'kan?"

Tanpa menoleh ke arah Edwin yang kini berdiri di sisi kirinya, Umar pun menganggukan kepala. Bujuk dan terus membujuk. Akhirnya, ujung percakapan sampai di titik selesai.

Negeri Tak Bertuhan (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang