"Sudah hampir 10 bulan Anda menjabat sebagai raja, tapi kita belum pernah sekalipun bicara. Marilah, ikutlah denganku."
--episode 18--
"Lihatlah!" Satya mengarahkan telunjuk kanannya pada bulan.
"Benda luar biasa yang sedang kita saksikan keindahan cahayanya itu tidaklah memiliki sumber cahaya sendiri. Ia mendapat paparan sinar matahari, baru setelah itu memantulkannya ke bumi. Namun, sering kali mulut kita justru memuji keindahan bulan tanpa melihat asal cahayanya. Padahal tanpa ada matahari, ia tak akan seindah ini."
Umar menengadahkan kepalanya. Mata yang tadi sendu dicoba untuk dibuka dengan lebar demi mencermati jawaban lelaki berkepala plontos itu.
"Sama seperti ayahmu. Beliau tidak sebijak itu dengan sendirinya. Ada berbagai sumber ilmu yang direngkuhn dan membentuk kepribadian seperti yang Anda ketahui sekarang."
"Jadi, maksudmu aku harus mempelajari apa yang ia pelajari?"
Satya menurunkan telunjuknya. Kemudian ia memutar tubuh untuk menghadap Umar dengan segaris senyuman. "Iya, benar. Nanti pasti akan Anda temui sebuah hal yang dapat membantunya semengagumkan itu. Jika sudah menemukannya, maka ambil dan jagalah!"
Rasa sakit dan sedih yang beberapa jam lalu merantai perasaan akhirnya melepaskan diri. Kedamaian menyelinap masuk dan mengisi tiap ruang kosong di hatinya. Tersenyumlah Umar pada Satya, lalu ia berkata, "Terima kasih. Aku pasti akan menyamai ayahku."
--(0)--
"Sialan! Sialan! Kenapa si brengsek itu seberani ini?!" Halil mengamuk dalam kamarnya. Beberapa hiasan dihempaskannya ke sembarang arah.
Seiring waktu, pengetahuan Umar dalam memimpin terus bertambah. Dibekali berbagai catatan sang mendiang ayah, kepribadiannya turut berubah. Tali-tali yang terhubung ke tiap sendi geraknya juga lambat laun terputus. Raja berusia muda itu mulai memimpin tanpa jadi boneka.
Hal itu tentu membuat amarah Halil memuncak. Ambisi untuk menguasai Neingod bisa terancam gagal jika Umar dibiarkan.
"Ayah, bukankah kita masih mempunyai Kelompok Serigala Perak? Kita bisa perintahkan mereka untuk menyingkirkan Umar," ujar Adelardo yang berdiri di samping pintu. Ia tak ingin terkena efek amukan ayahnya itu.
Seakan tercerahkan. Kata-kata yang tak pantas dilontarkan oleh seorang petinggi tadi berhenti. Halil berjalan ke tengah-tengah ruang tidurnya. Pandangan tertuju ke luar jendela yang terbuka. Di sana ia terkekeh, kemudian ia berkata, "Ah, iya, aku lupa pada mereka. Kau benar, Adelardo. Kau amat benar. Kita eksekusi malam ini juga!"
Malam hari.
Bersama seorang pengawal, Umar meniti jalan di sebuah wilayah perikanan. Keduanya mengenakan jubah hitam yang menutupi seluruh bagian tubuh. Mirip seperti Vasilia dan Malik kala hidup, mereka menjalankan ronda malam untuk mencari rakyat yang kesusahan. Sang raja ingin menjalankan roda pemerintahan sebagaimana ayahnya dulu memimpin.
Suasana yang tadinya sunyi mengingat waktu sedang tengah malam, tiba-tiba masalah nampak mendatangi mereka. Di pertigaan jalan dengan jarak beberapa langkah ke depan, muncul sekelompok orang yang menenteng senjata.
Umar dan sang pengawal pun terdiam. Di balik tudung lebar yang menutupi kepala, mereka membuat ruang diskusi dengan berbisik. "Dari pakaian mereka, sepertinya mereka adalah Serigala Perak," ucap sang pengawal raja.