Episode 15

15 4 0
                                    

"Baiklah, kita lakukan sesuai perintah. Kita binasakan mereka!"

--episode 14--


Denting waktu penanda tengah malam telah berbunyi di menara yang berdiri di tengah-tengah wilayah perikanan. Beberapa puluh meter dari menara dan dekat dengan sebuah dermaga, sekelompok lelaki berdiri di atas sebuah atap rumah. Mereka adalah Kelompok Serigala Perak, sebuah organisasi yang menjadikan kegiatan membunuh sebagai pekerjaan mereka.

Bersama tudung yang nampak menari-nari akibat angin yang berembus ke arah laut, mereka mengamati sekitar wilayah di mana mereka berada. Salah seorang di antaranya menggunakan teleskop yang tertuju pada sebuah rumah yang memiliki pintu berukiran bulan sabit. Sisanya mengedarkan pandangan ke sekitar rumah itu, memastikan keheningan malam yang mewakili suasana saat ini.

"Apakah sudah aman?" tanya ketua dari kelompok itu. Ia sosok lelaki yang berdiri terdepan. Notabene pakaian yang dikenakan memanglah sama dengan anak buahnya, tapi ada pembeda di bagian bilah pedangnya. Terdapat pahatan kepala serigala berwarna hitam di sana.

"Sudah cukup, Ketua. Rasanya aksi kita sudah bisa dimulai," ujar salah seorang dari mereka.

Berlarilah sang ketua ke ujung atap rumah itu. Kecepatan yang dipadu dengan jarak ancang-ancang yang sedemikian cocok, melompatlah ia ke atap rumah lainnya. Lari belum usai. Para anak buah mengikuti sang ketua yang terus melompat-lompat seperti tupai ke satu atap ke atap rumah lain. Di tiap kedua kaki mendarat ke atap rumah lainnya, mereka akan tiba di tingkat ketinggian yang lebih rendah.

Tiba-tiba sang ketua menghentikan langkahnya. Ia melihat ke bawah menuju sebuah jalan kecil yang diapit oleh dua buah tembok rumah. Saatnya untuk satu lompatan sebelum yang terakhir. Terjunlah lelaki berstatus pemimpin itu ke sebuah bak sampah berukuran cukup besar. Meminimalisir suara berisik yang akan terdengar. Ia langsung melakukan salto begitu kedua kakinya mendarat ke atas atap bak sampah itu.

"Syekh, apa Anda mendengarnya? Suara langkah-langkah di atas atap rumah penduduk?"

"Tentu Radu. Kurasa waktunya kita untuk pergi."

Dari sisi dalam ruangan rumah yang 3 hari lalu dikunjungi pemimpin tertinggi Neingod, nampak adanya sebuah pertemuan di sana. Dalam ruangan itu, terdapat sepuluh orang lelaki yang duduk melingkar di atas tikar putih bersama sebuah kitab di atas tangan mereka.

Namun, kegiatan menimba ilmu di rumah itu rasanya harus dihentikan. Sekelompok tamu yang sepertinya akan datang untuk memotong nyawa mereka sudah terdengar langkah-langkahnya. Sang pemimpin kajian, Syekh Ahmad Sulaiman, menutup kitab di tangannya. Kemudian ia berdiri dan meminta murid-muridnya untuk ikut pergi.

"Tapi Syekh, kita mau ke mana?" tanya salah seorang murid Syekh Ahmad. Ia adalah seorang lelaki berkaos putih dan bercelana hitam.

Di antara sembilan murid Syekh Ahmad yang bersamanya saat ini, memanglah hanya Radu yang mengerti ke mana tujuan mereka lari. Hal itu wajar saja, karena kedelapan murid selain pemuda sang pemilik rumah itu barulah menimba ilmu di sana selama seminggu. Belum ada berbagai informasi penting untuk disajikan pada mereka.

"Kondisi saat ini terlalu gawat untuk menjelaskan hal semacam itu. Kita harus segera pergi agar nyawa kalian dapat terselamatkan!" ujar Radu.

"Apa kita akan kabur? Bagaimana dengan nasib keluargaku kalau aku pergi begitu saja?" tanya kembali si lelaki berkaos putih itu. Masih ada banyak kegelisahan di hatinya.

Baru saja Syekh Ahmad mengarahkan langkah menuju pintu belakang, tapi ia kembali memutar tubuhnya. Memandangi murid barunya itu, lalu berjalan untuk kemudian merangkulnya. "Insyaallah akan ada perlindungan bagi anak-istrimu. Bertahan hiduplah! Gandeng keluargamu untuk berjalan bersama menuju kebahagiaan! Aku yakin, kondisi kita yang seperti ini tidak akan berlangsung selamanya."

Syekh Ahmad melepaskan rangkulannya, kemudian ia sedikit menyunggingkan senyum pada muridnya itu. Motivasi yang diterbitkan berhasil masuk ke lubuk hati yang terdalam. Kegelisahan yang sempat mencegah langkah untuk pergi pun akhirnya menyingkirkan diri.

Kitab-kitab yang tadi terbuka kembali diletakkan di atas rak meja berwarna hitam di sisi ruangan. Sebelum mereka semua benar-benar lenyap dari sana, digalakanlah sebuah strategi penguluran waktu. Lima lelaki di sana berlari ke ruangan paling depan. Dua orang bekerja sama mengangkat kursi dan meja untuk diletakkan tepat di belakang pintu. Tiga orang sisanya memindahkan lemari untuk ditaruh di belakang jendela.

Strategi penguluran memasuki tahap akhir. Disiramkan beberapa gayung air di belakang benda-benda yang sudah disusun untuk menutup jalan masuk. Hanya membuat pintu sulit dibuka dan musuh terpeleset dirasa belum cukup. Ditebarkanlah sekantung plastik paku di atas lantai.

Semua pencahayaan di ruangan itu turut dipadamkan. Persiapan selesai, waktunya untuk pergi.

"Syekh, aku akan tinggal di sini." Seorang lelaki berpostur tinggi dan besar bernama Agung Setyadi menghentikan langkahnya.

"Agung, apa kau juga memiliki kegelisahan sepertiku tadi?" tanya lelaki yang tadi sempat mengeluhkan nasib keluarganya nanti.

"Iya, aku gelisah, tapi bukan tentang keluargaku. Aku ingin tinggal di sini untuk mencegah orang-orang itu untuk menemukan kita."

Kedua kakinya sudah dua langkah melalui pintu belakang, tapi lagi-lagi Syekh Ahmad menjeda pelariannya. Matanya membulat menatap ke arah Agung. Lelaki itu nampak berdiri di belakang pintu yang menghubungkan dengan ruangan penjebakan para musuh.

"Apa kau ingin melawan mereka, Agung?" tanya Syekh Ahmad. Jawaban yang didapatnya pun ialah sebuah anggukan.

"Yang mengejar Anda pasti para Serigala Perak. Jumlah anggota itu adalah dua puluh orang. Mereka bukanlah orang-orang lemah yang akan berhenti menjalankan misi hanya karena jebakan seperti itu."

Syekh Ahmad tersenyum, kemudian ia berkata, "Berjuanglah dengan terus mengingat nama-Nya! Semoga Allah merahmatimu."

Negeri Tak Bertuhan (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang