Episode 13

15 4 0
                                    

    "Jangan membual, bodoh!! Tidak mungkin Paman Halil yang begitu kukagumi melakukan hal menjijikkan seperti itu!"    

--episode 12--


"Ayah, bagaimana perkembangan rencana kita?"

Pertanyaan itu dijawab dengan suara tertawa di awal, "Tenang saja, Adelardo. Si Umar yang bodoh itu sebentar lagi pasti akan mendapatkan rasa stres luar biasa."

"Aku sudah meminta Kuncoro agar mengirim banyak orang miskin dari Indonesia menuju ke sini. Setelah mereka datang, mau tak mau si bocah boneka itu harus menerima dan memberikan tempat tinggal."

Dari apa yang terdengar dari balik tembok itu, Radu mengetahui kalau si lelaki berjubah abu-abu tadi adalah Adelardo. Pembicaraan di balik kamar itu terus berlanjut, tetapi informasi dirasa sudah cukup. Bergegaslah Radu untuk beranjak dari sana. Akan bahaya nanti jika gerak-geriknya di istana diketahui.

Ucapan tak sekuat bukti. Kembali Umar melontarkan penolakan terhadap informasi itu dengan membentak. Wajar tentunya, ia selama ini sangat merasa nyaman saat bersama Halil.

Namun, usaha untuk meyakinkan raja bermental tak stabil itu urung dihentikan. Penjelasan yang belum usai mengenai kegiatan mata-matanya di istana pun dilanjutkan.

Hampir sebulan pasca mendapat informasi berharga tadi, Radu tiba-tiba menemukan sesuatu yang bisa membantu. Itu adalah kunci kamar sang mendiang raja. Ia menemukannya secara tak sengaja saat membersihkan kamar almarhum ayahnya.

Ekspedisi pencarian bukti-bukti pun diteruskan. Di suatu waktu sekitar 3 jam setelah tengah malam, ia masuk ke kamar Vasilia. Dicarilah di sana berbagai macam literatur yang ditulis mendiang raja. Namun, nihil. Apa-apa yang dibacanya ternyata sama dengan yang diutarakan Malik selagi hidup.

Dari ketidakberhasilan itu, ia mendapati sebuah hal yang membuat hatinya cukup pilu. Kamar itu tak mencerminkan cara hidup sang pemiliknya. Debu di mana-mana. Sarang laba-laba terbentang di beberapa sudut ruangan, serta beberapa perabotan berantakan tak keruan. Ia terheran, tak ada satu pun pelayan yang datang merapikannya. Sejak saat itu, diputuskanlah untuk rutin membersihkannya, sambil mencari bukti lain demi menjerat sang penasihat raja.

"Ada keanehan dari penjelasanmu. Bagaimana caranya kunci kamar ayahku ada di sini? Apa yang pernah kau dan ayahmu lakukan pada ayahku? Apa jangan-jangan sebenarnya kalian adalah penghianat sebenarnya yang membuat rencana pembu ...."

"Yang Mulia, tolong jangan salah sangka dahulu!"

Dengan segaris senyuman yang dengan mudahnya menghantarkan kesejukan, terdiamlah Umar oleh ucapan Syekh Ahmad. Giliran lelaki berperawakan senja, tapi pikirannya penuh akan ilmu itu bicara.

"Ayahmu, Yang Mulia Vasilia, sering berkunjung ke rumah ini. Menikmati seduhan teh yang dibuat Radu, berdiskusi soal kerajaan, dan menimba berbagai ilmu."

Dulu sewaktu Vasilia masih hidup, ia sering kali berkunjung ke rumah itu bersama asistennya. Namun, tak ada satu pun rakyat yang ditemuinya di jalan dapat mengenalinya. Seperti saat menjalankan ronda malam, ia melakukan penyamaran sesempurna mungkin.

Di sana Vasilia akan belajar dan diskusi banyak hal, terutama dengan Syekh Ahmad. Ekonomi, pemerintahan, sosial, dan lain sebagainya. Dari semua hal yang dipelajari itu, ia justru paling sering mempelajari sesuatu yang sangat dilarang di Neingod, yakni agama. Bahkan bagi lelaki yang kini namanya sudah terukir di atas batu nisan itu, ilmu agama adalah yang paling awal direngkuhnya di sana.

"Dengan kata lain, ayahmu adalah penghianat bagi kerajaan yang dipimpinnya sendiri," timpal Radu.

Umar tiba-tiba saja terkekeh, lalu, "Tadi kupikir apa yang akan diucapkan Pak Tua ini adalah kebenaran, ternyata hanya fiktif belaka."

Lelaki yang kini berpangkat sebagai raja itu menyeringai, lalu membuang mukanya ke kanan. Kekesalan akibat mendengar bahwa Halil adalah penghianat yang tadi membara tidak sepenuhnya reda.

"Apakah kau tidak bisa sopan pada guruku?"

"Sopan? Sopan katamu? Bagaimana aku bisa sopan setelah mendengar kalau Paman Halil dan ayahku disebut sebagai penghianat?!" Tatapan mata yang menyiratkan tantangan untuk berkelahi tak hanya ditujukan pada Radu, tapi Syekh Ahmad juga.

Berkatnya, tensi langsung panas kembali. Kini lelaki yang bertemu Umar di makam itu amarahnya berhasil terpicu. Mulut keduanya mulai terbuka, debat panas yang bisa saja berujung saling tinju mulai memasuki ancang-ancang. Namun ...,

"Dari apa yang Yang Mulia ucapkan, nampaknya rencana Radu untuk memancing Anda berhasil." Bibir Syekh Ahmad kembali tersungging. Tak seperti Halil yang di balik senyumnya menyembunyikan hal busuk, sedangkan lelaki tua itu tidak. Ia tulus.

Perilaku aneh sang kucing kerajaan tadi pagi bukanlah tanpa sebab. Kepergian mendadak Comel dari kamar Umar bukan karena ada betina yang nampak di retinanya, tapi karena ulah Radu. Lelaki mata-mata itu sengaja menenteng sekantung ikan segar dan lewat di depan pintu kamar Umar yang terbuka. Sebagaimana naluri seekor kucing, ia langsung memburu bau dari ikan segar daripada bertahan dengan makanan kemasan.

Titik pertemuan yang dituju Radu adalah kamar Vasilia. Namun, segala persiapan yang disusun di ruangan itu lebih dahulu dilaksanakan daripada memancing Comel. Dua buah benda berbahan mirip permadani yang memicu rasa penasaran Umar, halaman yang terbuka dari buku catatan Vasilia beserta dua tumpuk buku di sampingnya, itu semua rencana Radu. Dan rencana yang rapi itu disusun bersama Syekh Ahmad.

"Aku berani bertaruh, kau pasti keheranan saat kutinggal di ruang tamu ini karena melihat sajadah itu." Radu menunjuk ke arah benda yang sama dengan yang ada di kamar Vasilia.

Dugaan lelaki yang mengaku sebagai mata-mata itu memanglah kebenaran. Umar pun sedikit terkejut karena lawan debatnya seakan-akan mampu membaca pikirannya. Namun, apa yang dilontarkan si pemilik rumah di dekat dermaga itu barusan belum mampu membuat sang raja percaya. Ia justru menyerang balik dengan mengatakan kalau bisa saja sajadah yang di kamar Vasilia bukanlah milik ayahnya.

"Bisa saja kau yang membawa benda itu dari sini. Iya, 'kan?" Seringai belum bosan berulang kali muncul di wajah sang pemimpin tertinggi Kerajaan Neingod.

Radu menghela napas. Tangan kanannya yang setengah menggenggam diselimuti tangan kirinya hingga menyentuh pergelangan tangan. Kemudian, ia menatap tajam pada lelaki yang ingin ia buat untuk percaya atas apa yang disampaikannya.

"Kau memang cerdas. Namun, bagaimana kau menjelaskan tentang beberapa kalimat terakhir di halaman yang kau baca pertama kali—buku catatan Vasilia?"

Anak tunggal dari Malik Soewiryo itu merujuk pada "Kau tak perlu tahu seberapa banyak aku berjuang menjagamu, yang perlu kau tahu adalah, aku sangat menyayangimu. Semoga kita akan bertemu di kehidupan selanjutnya. Aamiin." Kalimat itu tertera di paragraf akhir dari halaman pertama yang dibaca Umar.

"Semoga, kata itu menunjukkan sebuah permohonan doa pada sesuatu. Kehidupan selanjutnya, ini dimaksudkan tentang kepercayaan seorang manusia pada sebuah kehidupan yang akan ada setelah kematian. Dua hal itu hanya dibahas di dalam ilmu yang sangat dilarang di kerajaan ini, yakni agama. Bagaimana, bagaimana kau bisa menjelaskan mengenai tulisan yang dibuat Paman Vasilia itu? Apa kau akan menyangkal dengan mengatakan kalau itu bukan tulisanmu? Kalau itu yang memang akan kau ucapkan, rasanya itu seperti membohongi dirimu sendiri. Aku kembali bertaruh, kau pasti sudah membaca sampai habis semua tulisan di buku itu," Radu kembali menyerang.

"Apa bualan yang ingin kau sampaikan lagi, hah?!"

"Sikapmu. Sebelum hari ini, beberapa tahun belakangan kau adalah pembenci ayahmu. Namun, belum menginjak 2 jam tadi, kau menunjukkan rasa sayangmu padanya."

Negeri Tak Bertuhan (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang