Di hari pertama latihan, Umar tak berhasil menyelesaikan tugas meski ia memukul pohon pisang itu hingga senja. Hal itu membuatnya harus tinggal lebih lama di sana. Tapi keadaan nampaknya tak akan sesulit siang tadi. Saat Radu mau pulang, ia berkata kalau Umar boleh mengambil hasil tanam di sana untuk menunjang latihan.
“Tegalan ini milik Syekh Ahmad. Beliau sudah mewakafkan apa pun yang tumbuh di sini agar dikonsumsi mereka yang sedang berlatih dan warga yang kekurangan makan,” jelas Radu.
Murid terdekat dari Syekh Ahmad itu juga menambahkan memberi tahu letak sebuah sungai. Tempat yang dijadikan sumber air itu ada di sebelah selatan dari tempat Umar berada.
Hari kelima
Diguyur hujan dan dinaungi malam, Umar masih berdiri tegap dengan kuda-kudanya. Napasnya putus-putus, di ujung kedua kepalannya ada beberapa titik luka yang tak mengalirkan darah. Jerih payahnya sendiri selama beberapa hari telah membuahkan hasil. Sudah ada lebih dari lima buah lubang di batang pohon pisang raksasa itu.
“Ayah, lihatlah aku. Aku akan jadi seperti Muhammad Al-Fatih yang pantang menyerah. Aku akan jadi seperti ayah.”
“Heaahh!!”
Umar menarik napas dalam. Kekuatan dipusatkan pada tangan kanannya. Dan ....
“Ayah, aku berhasil!”
Tugas dari Khalid berhasil dilaksanakan. Pohon pisang itu pun tumbang ke sisi kanan. Menghasilkan suara mendebur yang menandingi riuhnya hujan. Umar menengadah, membiarkan wajahnya menerima langsung tetesan hujan yang sedari sore datang. Tiba-tiba saja tubuhnya limbung. Kedua lutut gemetaran tersebab lelah yang menggila. Matanya terpejam, lalu ia jatuh mencium tanah.
--(0)--
Pagi telah datang. Kedua mata yang tengah terpejam diusik cahaya matahari. Telinga juga mendengar lantunan merdu seseorang dari sebuah bacaan. Terbukalah sepasang netranya, lalu tersadar bahwa ia sudah berpindah tempat.
“Tidur pagi saat matahari baru saja panas memang tidak baik, tapi untuk sesekali kurasa tidak mengapa. Istirahatlah lagi, tubuhmu pasti sangat lelah.”
Begitu terbangun, Umar melihat sosok Khalid di depannya. Lelaki besar yang sekarang mengenakan pakaian berwarna putih itu sedang duduk menghadap pintu gubuk yang terbuka. Ia tak bersila dengan tatapan kosong. Dengan posisi duduk seperti itu, Khalid memegangi sebuah kitab menggunakan kedua tangan.
“Sejak kapan aku berada di sini?” tanya Umar dengan mata yang masih berusaha menyesuaikan cahaya.
“Sedari malam. Aku membawamu setelah sekian detik kau jatuh di sana,” jawab Khalid tanpa menoleh ke arah muridnya itu.
Mendengar untaian kalimat itu, Umar langsung mengernyitkan dahinya. Ia bertanya-tanya dalam benaknya. Kapan dan bagaimana Khalid bisa membawanya ke gubuk.
“Sudah menjadi kewajiban seorang guru untuk mengawasi pertumbuhan anak didiknya.”
“Maksudmu kau melihat perkembanganku tiap harinya?”
Khalid mengangguk, lalu berujar, “Itu artinya aku sudah menyelamatkan hidupmu dua kali. Berterimakasihlah dan jangan membuatku repot lagi.”
“Ah, maaf. Terima kasih telah menyelamatkanku.”
Setelah ucapan barusan, terlihat sang lelaki raksasa itu menyunggingkan senyum kecil. Kebingungan dalam benak dengan cepat teruraikan. Persepsi menyeramkan pada sosok Khalid pun ikut melenggang. Dengan tatapan lembut serta segaris senyum, Umar berkata dalam hatinya, “Ternyata aku memang tidak bisa menilai orang lain dari kesan pertama.”
Selama beberapa menit, Khalid kembali melantunkan isi kitab di atas tangannya. Sama seperti beberapa hari lalu, Umar merasakan kedamaian berkat bacaan pelatihnya itu. Dari sana, keinginan untuk belajar mengetahui apa isi dari kitab itu makin tinggi. Hal yang baik tentunya, karena di sana ia mengikuti jejak Vasilia semasa hidup. Tinggal masalah waktu, apakah pemuda bermata biru itu akan menyadarinya atau tidak.
Waktu telah sampai di pertengahan hari. Kitab yang sedari tadi dibaca dan diperdengarkan itu akhirnya ditutup. Khalid beranjak dari gubuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada pemuda di sampingnya. Umar terkesiap, ia pun menawarkan diri untuk ikut pergi.
--(0)--
Seiring waktu, ternyata sudah sampai sebulan Umar tinggal di kampung itu. Dalam hari-harinya, ia selalu belajar bela diri bersama Khalid dan beberapa anak didiknya.
Di suatu hari saat senja hampir datang dan latihan hendak dibubarkan, sebuah peristiwa terjadi. Teriakkan yang saling bersahut terdengar dari arah kampung dan menuju wilayah perbukitan. Dari apa yang diberitakan, seorang pencuri sedang dikejar dan masuk ke tegalan Syekh Ahmad.
Sontak Umar langsung berlari untuk memburu sendirian. Tak perlu waktu lama, ia pun menemukan pelaku pencurian yang bersembunyi di balik semak belukar. Begitu ditangkap, tangan kanannya pun langsung mengepal dan siap melancarkan hantaman. Namun, tindakan itu urung dilaksanakan.
“Jangan, Umar!” Khalid dan beberapa muridnya datang menyusul.
Begitu tinju Umar terhenti, sang pencuri justru malah makin ketakutan karena melihat sosok Khalid yang tinggi nan besar. Ia pikir hidupnya hanya akan berakhir kurang dari 10 menit lagi. Setelah keringat bercucuran dan lelaki raksasa yang tiap langkahnya membuat jantung berdebar, pikiran itu pun runtuh.
“Kenapa kau mencuri? Apa kau kekurangan makan hingga melakukan perbuatan tidak baik itu?” tanya Khalid dengan suara berat dan tatapan yang tajam.
Sang pencuri langsung meminta maaf seraya bersimpuh di bawah kaki Khalid. Ia menangis tersedu-sedu menceritakan nasib buruk keluarganya yang senada dengan pertanyaan tadi. Ketakutan amat menguasainya.
Dibawalah sang pencuri menuju kediaman Syekh Ahmad dengan tangan yang diikat dengan pelepah kelapa. Seperti biasa, lelaki tua yang amat dihormati itu menyambut dengna senyuman hangat. Ia pun meminta ikatan di tangan pencuri itu agar dilepas oleh Umar.
Dengan duduk saling berhadapan di atas sofa, Syekh Ahmad menanyakan hal serupa yang tadi ditanyakan Khalid. Jawaban yang sama persis dilontarkan, hanya saja tak ada air mata lagi yang terlihat. Kepasrahan menjadi yang tersisa setelah ketakutan dan tangisan.
“Khalid, apakah masih ada lahan yang bisa digarap?”
“Beberapa penduduk memilih untuk membeli lahan lain setelah punya cukup tabungan. Jadi, masih ada banyak lahan yang bisa digarap,” jawab Khalid dengan penuh keteduhan.
“Baiklah kalau begitu. Tolong nanti antarkan bapak ini ke salah satu lahan. Beri juga pengetahuan bercocok tanam agar lebih cepat membuahkan hasil. Untuk sementara memenuhi kebutuhan pokok keluarganya, sisihkan sedikit hasil kebun untuk dijual dan diberikan padanya.”
Tangis membuncah lagi. Sang lelaki yang menjadi pencuri itu langsung turun untuk bersimpuh pada Syekh Ahmad. Terharu ia atas bantuan yang datang.
“Tolong jangan lakukan hal ini.” Syekh Ahmad menarik kedua tangan lelaki yang ada di bawah kakinya. “Bersujudlah hanya pada Allah. Berterima kasih pada-Nya juga. Aku dapat membantumu berkat keluasan yang diberikan-Nya.”
Pada sisi lain di ruangan yang sama. Umar ikut meneteskan air matanya. Tak kuasa ia menahan haru sekaligus kagum di dalam hatinya. Dalam suasana syahdu itu, ia tiba-tiba mengingat satu catatan mendiang ayahnya. Di sana tertulis sebuah peristiwa yang hampir sama.
Di suatu pagi saat aku dan Malik berjalan-jalan di pasar, keributan terjadi di sebuah tempat. Aku yang penasaran langsung berlari dan mencari tahu. Setelah 1 menit berlari, aku menemukan sekelompok prajurit sedang memukuli sosok lelaki berpakaian lusuh.
Kontan aku berteriak dan menghentikan tindakan keji itu. Setelah memberikan pertanyaan, ternyata lelaki itu kelaparan dan terpaksa untuk mencuri.
“Apa kau sudah memberi tahu nasibmu pada para prajurit itu?” tanyaku.
Lelaki itu mengangguk. Darahku langsung mendidih dan melotot pada para prajurit pengecut itu.
“Salah satu dari kalian cepat bawa lelaki ini ke istana untuk diobati dan diberi makan! Sementara yang lain, cepat lari keliling kota, dan renungkan tindakan pengecut kalian! Jika sampai terulang, aku akan jebloskan kalian ke dalam penjara!”
“Umar, kenapa kau menangis?”
Sang pemuda bermata biru langsung terkejut. Ia tak sadar kalau lamunannya diperhatikan oleh Syekh Ahmad yang sekarang berdiri di depannya.
“A-aku terharu. Aku mengingat sebuah catatan ayahku yang isinya hampir sama seperti kejadian hari ini.” Umar mengusap air matanya.
“Semua itu berasal dari sini.” Syekh Ahmad menyentuh dada Umar dengan tangan kanannya.
“Hati? Bukankah kebaikan bisa dilakukan setelah ada yang mengajarkannya? Siapa yang mengajarkan Anda untuk melakukannya?”
“Nabi Muhammad.”
Umar menganga mendengar sebuah nama dari mulut lelaki yang amat dihormatinya. Sangat heran tentunya, karena dari apa yang dipelajari kala sekolah sangatlah tidak mungkin kalau sosok itu jadi teladan. Menurutnya, sosok Nabi Muhammad ialah sosok pedofil, perusuh, dan lelaki yang sangat intoleran.
“Aku tahu keherananmu. Namun, tak usah takut. Aku akan menunjukkan banyak kebenaran dari sosok itu.” Syekh Ahmad tersenyum, lalu memutar tubuhnya menuju kamar.