"Apa bualan yang ingin kau sampaikan lagi, hah?!"
--episode 13--
Telak! Umar berhasil dibuat terperangah. Namun, respon itu hanya berlangsung sesaat. Amarah setelah mendengar pernyataan kalau Halil dan Vasilia adalah penghianat berhasil menghalau akal sehatnya.
"Sudahlah! Aku muak dengan semua bualan kalian! Lebih baik aku pergi!" Pemuda bermata biru itu memutar tubuhnya dengan cepat menuju pintu.
"Yang Mulia, tunggu dulu!" cegah Syekh Ahmad tepat ketika langkah kaki Umar menginjak ambang pintu.
Umar pun berhenti. Syekh Ahmad meraih sebuah buku dari balik jubah putih yang nampak tak ada setitik pun kotoran. Dengan sigap, lelaki berjenggot putih nan tebal itu berdiri. Bersama tongkat kayu yang kepalanya sedari tadi tidak dilepaskan dari tangan, ia pun berjalan menuju tamu yang kini hendak pergi itu.
"Aku tidak akan memaksa untuk mempercayai keislaman almarhum ayah Yang Mulia. Namun, aku ingin memberikan buku ini sebagai referensi untuk memimpin kerajaan ini."
Umar bin Khattab menjadi judul buku yang diserahkan Syekh Ahmad pada Umar.
"Itu adalah buku yang sama yang dibaca ayah Yang Mulia. Dari pengakuannya, ia berhasil mendapat banyak inspirasi untuk membuat kebijakan di sini. Dan sesuai nama Yang Mulia, beliau ingin agar ...."
"Aku bosan dengan bualan di tempat ini. Aku akan pergi," tolak Umar dengan intonasi suara yang jauh lebih lembut dari sebelumnya. Diserahkanlah kembali pemberian yang tertuju padanya ke Syekh Ahmad dengan kepala menunduk. Kemudian ia pun pergi, benar-benar pergi.
Umar langsung berlari menuju kuda abu-abunya yang bersih nan gagah. Melepaskan ikatannya pada sebuah tiang kecil, dan menghentakkan dengan kencang tali pengekangnya. Setengah menit kemudian, melesatlah kuda itu membawa sang penunggang kembali menuju istana.
Di balai agung yang biasa dijadikan pertemuan para menteri, kini nampak sedang diadakan sebuah rapat. Namun, bukanlah semua para petinggi Kerajaan Neingod yang sedang mengadakan diskusi. Di sana memang ada Halil dan Adelardo, tapi sisanya adalah orang-orang asing dari luar kerajaan.
"Kurasa pertemuan kita kali ini telah berhasil menemukan titik kesepakatan. Untuk itu, bagaimana kalau kita makan sebentar sebelum kalian semua pulang?" tanya Halil yang kemudian diiyakan oleh para peserta diskusi.
Meliriklah Halil pada anak tunggalnya sebagai isyarat perintah. Adelardo sigap berdiri, lalu dengan menghaturkan permisi ia pun berjalan menuju pintu. Namun, seinci lagi tangan kirinya meraih gagang pintu dan menariknya ke bawah, panglima pasukan itu terdiam. Dari sisi dalam ruangan, terlihatlah pintu yang bergerak ke luar.
Dari sana, masuklah sesosok lelaki dengan dahi yang bercucuran keringat dan napas yang agak tersengal-sengal. Tanpa permisi pada lelaki yang berhasil dibuat menghentikan langkah di ambang pintu, ia pun masuk ke balai agung.
"Paman, siapa mereka?"
Halil berdiri. Dipertemukanlah kedua telapak tangannya di depan dada dengan tiap ujung jari yang terarah ke atas. Kemudian dengan sebuah senyuman yang menyiratkan sedikit penyesalan, ia berkata, "Kawan-kawan sekalian, rasanya aku harus membatalkan rencana makan malam kita. Aku minta maaf untuk hal ini."
Tak ada sanggahan. Tak ada pula satu pun pertanyaan dari para peserta rapat. Beranjaklah mereka dari kursi yang tadi diduduki. Dengan tanpa mengedepankan sikap sopan pada seorang penguasa yang baru saja muncul, mereka pun akhirnya lenyap dari ruangan itu.
"Ada apa, Nak? Kenapa kau nampak buru-buru seperti itu?" tanya Halil yang melihat Umar mendekatinya. Ia mencoba terlihat tersenyum dengan tulus, tapi sejatinya ia menyimpan kekesalan. Namun, begitulah si pemuda bermata biru itu. Ia tidak menyadari sedang dibodohi oleh lelaki tua, tapi masih saja rakus itu.
Duduklah keduanya dengan memilih kursi yang saling berdekatan. Tanpa basa-basi. Tanpa juga menggali jawaban saat pertama kali dirinya muncul di balai agung. Umar langsung menceritakan pertemuannya dengan Radu dan juga Syekh Ahmad.
Tawa mengisi ruangan yang beberapa waktu tadi dinaungi keseriusan. Itu terjadi setelah kalimat Umar sampai pada pernyataan Radu yang mengatakan kalau Halil adalah penghianat.
"Nak, sudah kubilang kalau kau tak usah khawatir. Aku akan mengurus kerajaan ini dengan baik. Soal mereka, mungkin merekalah penghianat yang hendak menikammu dari belakang. Aku akan tangani mereka segera, percayalah!" Halil menyentuh bahu Umar dengan gelak manis.
Dimintalah sang raja untuk pergi ke kamar mandi oleh Halil. Dalihnya, pemuda itu harus segera makan malam dan kemudian pergi tidur. Ia melarang Umar untuk pergi ke luar istana, termasuk Coffee Beer.
Merasa tak ada yang aneh, menurutlah Umar. Ia pun sigap mendorong kursi yang didudukinya ke belakang, lalu berjalan keluar. Dari sikap yang ditunjukkan, ada suatu jawaban yang semestinya ia tahu cari lebih dalam. Namun, sayangnya itu tidak dilakukannya. Ilmu yang kurang mumpuni dan rasa percaya mutlaknya pada Halil telah membutakan akal sehatnya.
"Ah, sialan! Bagaimana bisa ada yang mengetahui rencana kita, Adelardo?!" Halil menggebrak meja dengan kedua tangannya yang mengepal.
Adelardo yang semenjak kedatangan Umar diam saja di belakang pintu langsung terperanjat. Belum pernah ia melihat lelaki yang begitu dihormatinya sampai marah seperti itu.
"Bunuh! Kita bunuh mereka!!"
Dari pemandangan yang dihasilkan sebuah teropong. Terlihatlah sebuah pintu rumah berukiran bulan sabit tepat di tengahnya.
"Jadi, itulah target kita?"
"Iya, Ketua, tak salah lagi. Di wilayah perikanan ini hanya rumah itu yang memiliki pintu berukiran pintu bulan sabit."
"Baiklah, kita lakukan sesuai perintah. Kita binasakan mereka!"
Di atap sebuah rumah yang tak jauh dari sebuah dermaga, ada sekelompok lelaki berpakaian tak biasa. Mereka mengenakan jaket kulit serigala berwarna abu-abu, lengkap dengan tudung yang cukup lebar. Di tiap punggung mereka tersemat sebilah pedang yang panjangnya sedikit melebihi tulang ekor. Di kedua sisi pinggang juga tergantung belati yang tersarung kulit ular. Pada wajah ditutupi pula sebuah topeng besi berwarna perak.
Sejurus dengan arah angin, kelompok itu menatap ke timur menuju sebuah rumah yang jadi target mereka. Dari saat ini, tragedi berdarahlah yang akan jadi sajian-sajian berikutnya.