Menyerah bukan pilihan. Berlarilah sang ketua untuk ikut dalam pengeroyokan. Di belakangnya, dua orang anak buah turut membuntuti.
--episode 16--
Sementara itu.
Rombongan Syekh Ahmad beserta murid-muridnya baru melewati dinding untuk kemudian masuk ke dalam wilayah laut. Dengan empat orang sebagai pendayung, mereka akan menuju sebuah tempat yang dijadikan tempat persembunyian.
"Syekh, apakah Agung akan baik-baik saja?" tanya salah seorang murid.
Ombak sangat bersahabat. Tak ada gelombang mengerikan yang hendak menghancurkan mereka. Perahu berwarna hijau dan putih itu kini berbelok ke kanan. Dalam perjalanan yang hanya diterangi sebuah lentera, Syekh Ahmad duduk di ujung paling depan.
"Aku tidak mempunyai kemampuan untuk dapat melihat apa yang terjadi di sana. Namun, aku bisa berdoa agar Agung diberikan balasan yang baik atas kegigihannya." Dengan api kecil lentera yang menari pelan, nampak lelaki tua itu tersenyum.
Wajah Syekh Ahmad memang sudah dihiasi banyak keriput, tapi tiap ia tersenyum selalu berhasil menghantarkan ketenangan. Itu pula yang terjadi pada lelaki yang beberapa saat lalu gelisah akan kondisi temannya. Jawaban sang guru dan senyumannya berhasil meredam ketidakbaikan prasangka di dalam hatinya.
--(0)--
Kondisi Serigala Perak sangat amat berbeda dengan rombongan Syekh Ahmad. Tiga orang tewas, dan hanya sang ketua yang tak merasakan luka menyakitkan dalam penyerbuan malam itu.
"Kita mundur dari operasi ini. Tak usah mengejar mereka!" perintah sang ketua. Ia berdiri menghadap ke arah dermaga di mana rombongan Syekh Ahmad melepaskan perahu untuk kabur. Tangan kanannya masih menggenggam pedang, sementara tangan kiri mencengkeram kepala Agung yang mengucurkan darah.
Keputusan rasional itu dirasa memang yang terbaik. Memaksakan diri dan kelompoknya untuk mengejar target sama saja bunuh diri. Patuhlah para anak buah pada sang ketua. Misi pun disudahi, mereka pulang dengan kegagalan untuk pertama kali.
--(0)--
Tirai jendela dibuka cukup lebar. Bersama garis-garis cahaya matahari yang masuk tanpa permisi, angin turut membuntuti. Di dalamnya, sang raja sedang bersandar pada sebuah bantal di atas kasur. Tak seperti mulutnya yang menghening, pikiran pemuda itu sibuk mencerna tulisan di depan matanya. Ia sedang membaca sebuah buku bersampul merah berisi catatan ayahnya saat masih hidup dan memerintah.
Tiba-tiba buku bersampul merah ditutup. Kakinya beranjak menuju pintu kamarnya. Beberapa saat lalu, ada ketukan yang mengarah ke dalam sana.
Sang pengetuk pintu ternyata Halil Sebastian. Dari ucapannya, lelaki yang datang dengan topi merah berhiaskan berlian itu membawa berita penting. Sebuah berita yang menurutnya pasti akan membuat Umar senang.
"Dua orang yang kau temui beberapa hari lalu telah binasa."
"Maksud Paman?"
"Mati. Aku membayar beberapa orang untuk menghabisi mereka."
Kabar yang dibawa Halil bukanlah kebohongan jika dilihat dari sudut pandangnya. Beberapa jam lalu, ketua dari Serigala Perak mendatanginya bersama dua kantung berisikan kepala. Kepala-kepala itu tentu tidak berasal dari orang yang menjadi targetnya. Ia memenggal dua anak buahnya yang telah tewas, lalu membuatnya semirip mungkin dengan Syekh Ahmad dan Radu.
Respon yang didapat nyatanya membuahkan kegagalan. Mata Umar membulat. Ia terperangah, mencoba mencari kebenaran dari apa yang datang ke telinganya.
"Paman, tolong jangan bercanda! Itu keterlaluan!"
Halil mendelik tak percaya. "Mereka akan berbahaya jika dibiarkan hidup! Tahtamu bisa runtuh, bodoh!"
"Tapi bukankah lebih baik kalau kita merangkul mereka dulu? Kita cari kebenaran apa yang mereka katakan, sesuai cara ayahku dulu."
"Apa kau menganggap ayahmu itu orang hebat?! Apa kau tidak percaya kalau aku lebih baik darinya?!"
"Bukan begitu ...."
"Ah, sudahlah. Lebih baik aku pergi!"
Halil langsung memutar tubuh menuju pintu yang belum tertutup. Sambil melenyapkan punggungnya dari pandangan Umar, dibantinglah jalan masuk itu dengan kencang.
Pemuda berstatus raja itu tertegun seketika. Tak percaya kalau lelaki yang begitu dihormatinya begitu berani membentak dan memanggilnya sebagai orang bodoh. Tanpa mampu dikontrol, air mata mengalir. Pikirannya saling beradu perihal pada siapa harus mencontoh teladan. Ayahnya, Vasilia Daw, atau penasihatnya, Halil Sebastian. Ia bingung, ia tak ada teman diskusi untuk melerai perselisihan di kepalanya.