Penyergapan kembali terjadi. Rekan-rekan Umar langsung melompat menyongsong dua orang prajurit yang terlihat.
--episode 27--
Asap berwarna ungu yang pekat menyeruak dari bola kecil tadi. Menyebar ke seluruh arah, dan melumpuhkan kesadaran semua prajurit yang hendak menyerang. Bersama topeng yang kembali menutupi sebagian dari wajahnya, Umar memimpin laju timnya menembus asap ungu itu. Menyusuri puluhan anak tangga untuk langsung menuju lantai dua.
Setelah melewati anak tangga terakhir, anggota tim itu langsung memecahkan diri ke arah yang berbeda-beda. Demi meminimalisir benturan senjata, maka mereka ingin melumpuhkan para prajurit yang posisinya menyebar.
Umar berlari sendiri menyusuri sebuah lorong yang panjang. Tak seperti sebelumnya, tak ada seorang prajurit pun yang muncul dan menghambat jalannya. Hingga akhirnya, langkah pun terhenti. Dadanya naik-turun dengan cepat. Tak hanya sebab tubuh yang mencoba untuk menstabilkan diri, tapi juga apa yang hadir di depan matanya.
"Aku harus tenang."
Sang mantan raja itu menarik napas, lalu membuangnya sedetik kemudian. Dadanya kembali tenang. Sorot pandangan lelaki itu menajam. Tangan kanannya diangkat, masuk ke balik jubah hitamnya. Kini, tergenggamlah sebilah belati di genggamannya.
Setelah menengok ke kiri dan kanan, ia pun melangkah maju. Sementara cengkeraman pada batang belati menguat, tangan kirinya bergerak ke depan meraih sebuah gagang pintu.
"Bismillah."
--(0)—
Ukuran senjata yang berat sebelah tak memicu tekad untuk menurunkan diri. Denting benturan antara belati dan pedang, serta pedang dan pedang pun terjadi. Dalam pertempuran yang nampak tak seimbang dari jumlah personelnya itu, sesekali datang juga satu atau dua anak panah beracun. Ia diluncurkan dari lantai tertinggi bangunan tanpa cahaya itu.
Terjangan anak panah itu memang terlihat merepotkan, tapi tidak sepenuhnya merugikan pihak penyusup. Menghujamkan serangan tanpa ketenangan bisa saja justru membunuh diri sendiri. Di beberapa waktu, para pemanah yang pengecut itu justru mengenai rekan-rekannya sendiri. Ketidakadaan lampu dan rembulan yang ditutupi awan hitam membuat fokus mereka tak bisa dijaga.
"Jangan takut! Terus serang!" Khalid menangkis sabetan pedang yang datang dengan belati di tangan kirinya. Setelah denting terdengar, ia melakukan hempasan yang kuat. Musuh yang tak siap dengan posisi pertahanan pun menjadi sasaran empuk. Diayunkan pedang yang didapatkan dari hasil merebut, lalu menebas pinggang kanan lawan di depannya.
Latihan sangat keras yang diajarkan Khalid amat berguna di pertempuran itu. Tak hanya si lelaki raksasa yang berhasil menambahkan senjata dengan perebutan, tapi semua rekannya pun sama. Belati di tangan kiri, sementara pedang di tangan kanan.
Sadar kalau kegelapan ternyata merugikan. Menunggulah para pemanah dengan tetap mengarahkan ujung panahnya ke bawah. Gumpalan awan hitam di langit tiba-tiba bergeser. Mereka ternyata enggan untuk terus berhenti tepat di jalur cahaya rembulan dan menjatuhkan tetes demi tetes air dari tubuhnya.
Kesempatan bisa saja tidak akan muncul lagi. Dengan kecepatan tinggi, meluncurlah sebuah anak panah beracun pada salah seorang rekan Khalid. Namun, sayangnya refleks target cukup tinggi. Selepas menghindar dengan meliuk ke kanan, lelaki itu merebut belati di pinggang kiri lawannya. Tanpa menunggu, serangan balik pun diwujudkannya. Melesatlah belati itu dan menembus dahi sang pemanah tadi. Tubuhnya limbung seketika, lalu jatuh melewati pagar dan menghantam tanah dengan keras.
Sejatinya, kelompok Khalid tidak ingin ada perkelahian. Rencananya ia dan rekan-rekannya hanya akan menggunakan bom asap untuk pelumpuhan. Namun, kondisi tak memungkinkan. Akhirnya bertempur menjadi satu-satunya pilihan.
--(0)—
Pintu yang tadi digapai ternyata tak dikunci. Masuklah Umar dengan mata yang tak kunjung bosan untuk waspada. Perlahan dan perlahan, sampailah pemuda itu di dekat ranjang. Di tepian tempat tidur itu, ia membungkukan badan. Tangan kirinya maju mencengkeram salah satu ujung sprei yang dianggap menyelimuti Halil.
Menarik ujung selimut lalu belati akan maju untuk mengantarkan ancaman, itulah rencananya. Namun, hasilnya nihil. Ternyata tak ada seorang pun di atas ranjang. Bantal dan guling yang saling bertumpuk di bawah selimut berhasil mengelabuinya.
Misi tak boleh dibatalkan. Lelaki bermata biru itu mulai melangkah untuk melihat tiap sisi ruangan. Tujuan pertama ialah lemari di seberang ranjang. Tangan kiri memegang gagang pintu lemari tanpa cermin itu, sementara tangan kanan konsisten dengan belatinya. Jika si target terlihat bersembunyi di sana, ia akan meletakkan senjata tajam itu langsung pada lehernya.
Tanpa terlihat, sebuah tangan keluar dari bawah ranjang. Melihat sarungtangan warna hitam yang dikenakannya menandakan kalau itu bukanlah hantu. Perlahan, tangan itu terus bergerak maju, menarik bagian tubuh lainnya untuk ikut keluar. Akhirnya, sesosok lelaki berjaket abu-abu dan mengenakan topeng perak nampak di sana.
Umar yang fokus pada lemari di depannya tak mampu melihat kemunculan lelaki itu. Sang sosok berjaket kulit serigala mencabut pedang di punggungnya. Setapak demi setapak, terangkatlah kakinya hingga cukup tinggi dan turun menjejak lantai dengan perlahan.
Jarak telah terpotong banyak. Dihunuskanlah pedang itu ke tengah-tengah punggung lelaki berjubah hitam di depannya. Mata yang tersembunyi di balik topeng membelalak. Jalur telah tercipta, majulah pedang itu memburu mangsa di depannya.
"Mati kau!!" seru sang lelaki bertopeng perak itu di dalam hatinya.
Respons yang bergerak tak sesuai ekspektasi. Umar menghentakkan kaki kirinya. Tangan yang menggenggam gagang lemari melepaskan diri. Lelaki itu meliuk ke kanan dan berputar menghadap sosok pengecut di belakangnya.
Kecepatan tinggi ditunjukkan. Ditinjulah wajah lelaki berpedang itu oleh Umar dengan tangan kirinya. Serangan berhasil memamerkan kekuatan. Kedua kaki dari lawannya yang tiba-tiba muncul terdorong ke belakang. Keseimbangan terganggu, tapi tak ada pemandangan sosok yang jatuh di kamar itu.
"Wow, seranganmu hebat juga hingga membuat sosok ketua dari Serigala Perak terdorong seperti ini." Lelaki itu tertawa kecil.
"Di mana Paman Halil berada? Kenapa kau bisa muncul di sini?"
"Akan kujawab setelah kau mengalahkanku!" Tinju tadi tak menghasilkan efek berarti. Melompatlah lelaki yang pedangnya berukiran kepala serigala itu untuk menyongsong mangsa.
Umar membuka kuda-kuda. Tangan kanannya makin erat mencengkeram belati. Pandangan menajam memperkirakan macam serangan yang akan tertuju padanya. Benturan terjadi sebentar lagi.
--(0)—
Anak panah tak lagi menghujani. Intensitas denting benturan antarpedang juga mulai meredam. Para pemanah di lantai tiga sudah berjatuhan. Serangan jarak dekat yang digalakan anggota Serigala Perak tak mampu menandingi serbuan Khalid dan rekan-rekannya.
"Sekarang tinggal kau sekarang yang berdiri sebagai lawan kami. Kau mau tergeletak di atas tanah seperti teman-temanmu, atau selamat dengan memberikan informasi yang kami mau." Khalid menghunuskan pedangnya. Di sisi kiri-kanan lelaki raksasa itu, kesembilan rekannya justru mempunyai keadaan terbalik dari lawan.
Bukan memberikan keinginan para lawan atau setidaknya kabur agar selamat, justru tawa kencanglah yang jadi jawaban. "Lihat itu!" ujar lelaki yang kini berhadapan sendirian itu sambil menunjuk ke arah timur.
Di dekat dinding wilayah perikanan, kepulan asap tebal membumbung ke angkasa. Pemandangan itu langsung menciptakan persepsi buruk di pihak Khalid dan kelompoknya.
"Jangan-jangan ..."