Episode 22

11 2 0
                                    

“Jadi jelas kalau tak ada agama yang menjadikan kedamaian sebagai tujuan. Para pendeta dan lain sebagainya hanya beretorika agar jemaah mereka makin banyak serta kantung makin tebal. Terlebih Islam. Hanya radikalisme yang ada di otak mereka!”
Umar tersungkur seketika dengan hidung mengeluarkan darah. Lelaki di hadapannya melepaskan cekikan dan menghantamkan tinjunya. Dengan wajah memerah dan tangan kanan yang masih mengepal kencang, ia berkata, “Sudah kubilang kalau kau tidak tahu apa pun tentang Islam! Jadi diamlah!”
Bukan meminta maaf atau setidaknya diam agar keburukan tak berlanjut, Umar justru menyeringai dan melontarkan argumen, “Kalian terlalu pengecut hingga tak mau menerima kebusukan yang ada pada kaum kalian! Lihat saja di negerimu yang begitu banyak aksi bunuh-membunuh! Untuk kedamaian kalian tak usah beragama!”
Kini yang tangannya mengepal tak hanya lelaki yang tadi meninju Umar. Hampir semua orang yang mengerumuni raja dari negeri seberang itu ikut membentuk kepalan.
“Berhenti!”
Seruan itu tiba-tiba meluruhkan amarah yang sempat memenuhi udara. Tangan-tangan yang mengepal seketika merenggang. Itulah apa yang terjadi kalau Syekh Ahmad Sulaiman berbicara. Seluruh penduduk kampung di sana tak pernah kuasa menentang kalimat lelaki berjenggot putih itu.
Dengan berjalan pelan menuruni beberapa anak tangga ditemani Radu dan tongkat kayu, Syekh Ahmad mendekati Umar. Ia tersenyum. Ia pandangi hidung pemuda berstatus raja yang berdarah itu. Kemudian, ia meminta agar Umar berdiri dengan kemampuannya sendiri.
“Kalian silakan untuk pulang. Aku akan mengurusi Yang Mulia.”
Kerumunan dengan cepat membubarkan diri. Pulanglah mereka semua dan meninggalkan Radu serta Syekh Ahmad. Sikap mereka yang penurut tak hanya ditunjukkan di depan sang guru. Namun, begitu juga di belakangnya. Sepanjang perjalanan pulang, para lelaki yang berkerumun tadi tak ada satu pun yang menggunjingnya. Tak ada sedikit pun keluhan dari mulut mereka.
--(0)--
“Sudah jelas bukan kalau Halil Sebastian adalah penghianat?” tanya Radu. Bersama Syekh Ahmad dan Umar, ketiganya duduk bersama di rumah yang tadi jadi peristirahatan sang raja.
Umar sukar menatap wajah lelaki yang melontarkan pertanyaan barusan. Setelah maut yang hampir merengkuh, ada seberkas gengsi untuk menyetujui pertanyaan Radu. Ia teringat beberapa bulan lalu saat berdebat dengan anak dari Malik Soewiryo itu.
“Radu, sebaiknya jangan menanti jawaban itu. Pun Yang Mulia Umar, jangan pula berpikir ingin melontarkan jawabannya. Perdebatan sama sekali tidak diajarkan Rasulullah.” Syekh Ahmad tersenyum bergantian dari Umar ke Radu.
Sebuah pertanyaan sempat muncul di pikiran Umar. Pemuda bermata biru itu telah menyadari sehebat apa wibawa lelaki berusia senja di depannya. Namun, kepalanya keheranan sebab Syekh Ahmad secara tersirat menyebut sosok Rasulullah sebagai seorang guru.
Dibantu tongkat, Syekh Ahmad mengangkat tubuhnya dari sofa. Berjalan ia mendekati sebuah rak buku di dekat jendela. Tangan keriputnya meraih sebuah buku, lalu kembali pada Umar dan Radu.
“Yang Mulia, kenapa Anda membawa buku ini di balik jubah?” Lelaki bersorban putih itu menyodorkan benda yang baru saja diambilnya pada sang tamu.
Umar terkejut pada apa yang hadir di depan netranya. Ia melihat sebuah buku yang bagian tengahnya tersobek hingga hampir terbelah. Dari kondisi pada benda di tangannya, ia berpikir kalau buku itu ikut terkena ayunan pedang salah seorang Serigala Perak.
Buku berjudul Umar bin Khattab yang nampak tak baik itu tak dikembalikan. Umar justru membuka lembar demi lembarnya. Menikmati halaman demi halaman. Hingga tak sadar ia kalau dua orang lawan bicaranya memperhatikan.
“Sepertinya kau menyukai buku yang pernah kau tolak itu,” ejek Radu.
Tiba-tiba kegiatan membaca itu disudahi. Ditaruhlah buku itu di atas meja di depannya. Kemudian lagi-lagi ia membuang muka. Namun, Syekh Ahmad berhasil meluluhkan gengsi yang secara tak sadar dirawat pemuda itu. Sambil tersenyum, lelaki berjenggot putih nan tebal itu mengatakan sekali lagi, kalau Vasilia terinspirasi dari isi buku lusuh itu.
Dengan mempertahankan pandangan yang dialihkan, Umar menarik buku di depannya. Bersama kedua tangan yang memeluk benda berisi ilmu itu, ia mengatakan keinginan untuk membacanya di dalam kamar. Tanpa ada persetujuan dari Syekh Ahmad maupun Radu, berlalulah Umar menuju tempat peristirahatannya.
“Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah,” harap Syekh Ahmad begitu Umar lenyap di balik pintu kamar yang tertutup.
--(0)--
Mentari telah terbit. Pemandangan birunya laut hingga sekian kilometer sudah mampu kembali dilihat tanpa perlu alat bantu. Beberapa perahu nelayan dari penduduk Kerajaan Neingod nampak hilir-mudik dari dan menuju samudra. Di sanalah sesosok pemuda berdiri pada tepian tanah yang menjorok ke arah hamparan air yang begitu luas. Ia diam saja. Kedua matanya fokus menatap ke arah dinding raksasa yang begitu kokoh.
Pikiran Umar mengawang memikirkan suasana pagi di balik dinding. Apakah semua pedagang sudah membuka lapaknya? Apakah bunga-bunga di belakang istana ada yang bermekaran lagi? Apa pula para siswa berlari menyongsong sekolah dengan senang hati? Dan banyak hal lainnya yang hadir di kepala pemuda itu.
Sebuah tepukan tiba-tiba hadir dari belakang pundak. Lamunan seketika buyar tanpa tersisa. “Sepertinya ada yang rindu dengan kampung halaman, ya?”
“I-iya, Pak. Eh, maksudku ‘Syekh’.”
Sejatinya Umar tak tahu apa arti dari panggilan “Syekh” yang tersemat pada lelaki di hadapannya yang datang dengan tersenyum. Ia meniru Radu dalam cara memanggil lelaki itu.
“Kalau Anda rindu, kenapa tidak kembali saja?”
“Syekh ini ternyata suka bercanda. Syekh sudah tahu bukan kalau aku sudah dianggap tewas oleh orang-orang yang ada di sana? Lagi pula bisa-bisa setibanya di sana, aku akan diburu Serigala Perak lagi.”
Syekh Ahmad mengangguk pelan. Ia melangkah ke depan untuk kemudian berdiri di sisi kiri Umar. Menyejajarkan titik target pandangan dengan pemuda itu. “Saat masih muda, aku suka sekali memperjuangkan apa yang kuinginkan. Aku suka sekali melawan ketakutan atas ketidakberhasilan yang tengiang-terngiang di kepalaku.”
“Meski risikonya adalah kematian?”
“Tentu. Meski risikonya adalah kematian.”
Umar tertegun. Untuk sesaat, keberaniannya melonjak tinggi serta menghancurkan batas antara realita dan tujuan.
“Yang Mulia, tahukah Anda sebab almarhum Vasilia memberikan nama ‘Umar Fatih’ pada Anda?”
Gelengan menjadi jawaban. Jangankan mengetahui arti dari namanya sendiri. Untuk berpikir apa arti dari nama itu saja tak pernah terjadi.
Tahu kalau ketidaktahuan menjadi respon atas pertanyaannya barusan. Syekh Ahmad mulai membeberkan alasan Vasilia Daw untuk memberikan nama pada anaknya itu. Yang pertama kali menjadi bahasan adalah fakta kalau nama Umar Fatih merupakan gabungan dari dua nama. Yang pertama ialah dari Umar bin Khattab, dan kedua berasal dari Muhammad Al-Fatih.

Negeri Tak Bertuhan (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang