Episode 08

19 6 0
                                    

    "Vasilia, semoga kau baik-baiksaja di sana. Semoga anakmu itu bisa sadar seberapa indah rasa cintamupadanya." 

--episode 07--   


Selang dua minggu, datanglah sepuluh orang berjas hitam dengan sebuah pin garuda di dada kiri mereka. Permohonan dari Raja Neingod dikabulkan. Mereka ternyata utusan dari Indonesia yang masing-masing membawa satu koper berisikan uang tunai.

Segera dana bantuan itu dikucurkan demi melanggengkan keputusan Umar. Sebagian lahan pertanian dan perkebunan dirombak menjadi kawasan pemukiman baru. Masalah tidak selesai seketika. Seiring waktu, banyak imigran lain berdatangan. Yang awalnya pembangunan rumah hanya berjumlah sepuluh buah sebagai target, tapi kini mereka harus membuat lebih banyak.

Entah darimana mereka. Yang jelas saat peletakkan batu pertama dilakukan, gelombang besar imigran baru masuk dengan sangat cepat. Perekonomian anjlok dengan mengerikan. Sepuluh koper uang yang tadi direncanakan untuk pembangunan lain juga ternyata habis tak bersisa. Malah Umar kembali membuat surat permohonan dana pada Indonesia demi mencukupi biaya pembangunan rumah baru bagi para imigran.

Beginilah keadaan Kerajaan Neingod sekarang. Lahan pertanian dan perkebunan hilang 55%. Kawasan 60 meter dari dinding yang tadinya khusus untuk tempat mencari makan bagi ternak, dipangkas menjadi hanya 10 meter. Beberapa perusahaan mengalami kerugian signifikan karena membludaknya pegawai, sedangkan income yang ada tak sebesar dulu. Pemandangan hijau di ibu kota juga sebagian besar berganti tempat tinggal bagi penduduk.

"Pak Presiden menyatakan ketidaksetujuannya terhadap permintaan Anda. Dalam 3 bulan ini, Anda sudah meminta bantuan dana sampai sepuluh kali," terang seorang lelaki berjas hitam pada Umar yang tengah duduk di atas singgasana.

"Terlebih belum genap 4 bulan ini, Indonesia mengadakan pemilu yang menghabiskan banyak uang negara," lanjut sang utusan dari negara berlambangkan garuda itu.

"Baiklah, biar aku saja yang menemui presidenmu itu. Biar kutunjukkan siapa yang berkuasa." Tak seperti seorang pemuda yang memang ingin menunjukkan motivasi dan seberapa kuat argumentasinya. Umar mengucapkan kalimat itu dengan tubuh yang bersandar lemas di singgasana, serta mata sayu tersebab berpesta semalaman.

Ketidakwibawaan Umar tidak membuat sang utusan menurunkan rasa hormat, ia kembali menerangkan, "Yang Mulia, Anda tidak mungkin berhasil sekalipun membawa sepasukan prajurit bersenjata lengkap. Presiden kami yang baru berkata dengan tegas, tidak akan mengirimkan bantuan dana sepeser pun bagi kerajaan ini."

Umar sedikit menegakkan tubuhnya. Melotot ia tidak percaya dengan apa yang masuk ke dalam otaknya. Mulutnya terbuka. Diingatkanlah tentang sebuah aturan yang disepakati banyak negara di dunia tentang Neingod dan Indonesia. Namun, bantahan dilontarkan.

"Yang Mulia, apa Anda tidak ingat isi surat permohonan yang Anda tanda tangani?"

Tanpa menunggu jawaban. Lelaki utusan itu mengeluarkan secarik kertas yang digulung rapi dan tersembunyi di balik jas hitamnya. Majulah ia mendekati singgasana. Dipersilakan sang raja membacanya sendiri.

Terbelalak, itulah reaksi Umar. Di surat itu tertulis.

Anda tak perlu khawatir. Aku berjanji tidak akan lagi meminta bantuan dana pada Indonesia kalau permintaanku sudah menyentuh 10 kali dalam setahun. Aturan yang disetujui banyak negara akan digugurkan, dan aku berhak dilengserkan oleh siapapun itu.

Aku Umar Fatih, Raja Kerajaan Neingod, yang menandatangani surat ini menghaturkan rasa terima kasih yang banyak. Semoga kebahagiaan selalu melindungimu dan negaramu. Sekian.

"Yang Mulia, presiden kami juga menyampaikan, tidak akan melakukan pelengseran bersama siapapun nanti yang datang meminta bantuan."

--(0)--

Sebuah kesetiaan total tidaklah mudah ditemui di kehidupan seperti sekarang ini. Begitu banyak luka dan derita yang terdengar sebab penghianatan. Itulah yang terjadi di lingkungan istana. Beberapa pelayan dan prajurit menyebarkan cerita pertemuan Umar dan utusan dari Indonesia. Tak hanya itu. Mereka juga menyebarkan kebiasaan buruk sang raja yang suka sekali foya-foya di malam hari.

Sejatinya, Umar tidaklah menggunakan uang kerajaan untuk berpesta. Ia memakai hasil bisnis di Coffee Beer dan beberapa kedai miliknya. Namun, begitulah mulut, ia sulit sekali dikendalikan. Menjamurlah berita bohong tentang sumber dana Umar untuk bersenang-senang itu. Sampai akhirnya, cemoohan dari penduduk sering kali terdengar, bahkan di depan matanya sendiri.

"Paman, kenapa kau tidak memberi tahu isi surat ini? Apa kau ingin merebut kekuasaanku?" tanya Umar di malam hari, di hari yang sama datangnya utusan dari Indonesia.

Halil yang sedang berada di atas balkon kamarnya pun membalikkan badan, "Maafkan aku, paman pikir kau membacanya."

Umar diam saja seraya menatap nanar sosok Halil yang melangkah mendekatinya. Ada keraguan besar di dalam hati soal loyalitas lelaki tua yang suka memakai jubah merah itu.

Kedua pipi yang telah mengeriput menarik bersamaan bibir hitamnya. Kemudian, ia meletakkan kedua tangannya di atas bahu sang raja, "Ini semua salah ayahmu yang tidak berguna itu. Tak semestinya ia pergi tanpa mengajarkanmu apa pun."

Bagi seorang anak yang menyayangi orangtuanya, pantaslah kalau Umar mengarahkan tinju pada lelaki di depannya. Namun, ia tidak akan melakukan itu. Justru egonya yang sering kali menyalahkan Vasilia malah kegirangan. Merasa ia kalau ada dukungan.

Tawaran baru diajukan di tengah malam yang sedang dibasahi air dari langit itu. Masih tersenyum, Halil ingin seluruh urusan kerajaan diserahkan saja kepadanya, "Tenang saja, tahtamu tidak akan kurebut. Justru dari tawaranku ini kau akan merasa lebih tenang karena tak perlu mendengar masalah apa pun. Akulah yang akan menghadapinya. Akulah yang akan membuat kebijakan terbaik."

Umar masih dengan diamnya, dan sorot mata birunya yang nanar. Ia menyiratkan ketidakberdayaan dari sana. Ingin ia lepas dari segala cercaan maupun masalah rakyatnya.

Lagi-lagi tidak ada penolakan untuk usul yang sesungguhnya menyimpan rencana busuk itu. Umar terlalu mudah dimasukkan ke dalam imajinasi oleh rayuan Halil. Ia sama sekali tak berpikir, kalau lelaki yang hidup bermewah-mewahan di ujung usianya itu bisa saja membunuh dari belakang.

Negeri Tak Bertuhan (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang