Episode 11

27 6 0
                                    


Kautak perlu tahu seberapa banyak aku berjuang menjagamu, yang perlu kau tahuadalah, aku sangat menyayangimu.

--episode 10--

"Ayah! Ayah di mana?"

"Ayah di balkon, kemarilah!"

Langkah-langkah kecil dengan frekuensi yang cepat terdengar di sebuah kamar. Lampu di ruangan itu tak berpendar segaris pun. Namun, cahaya bukan sama sekali tidak hadir. Dari tirai yang terbuka, nampaklah sebaris cahaya bulan yang menerangi sebagian ruangan.

Dituntun penerangan alami dari langit malam, berlarilah anak lelaki itu ke sebuah tempat yang menjorok ke luar. "Ayah, bacakan aku dongeng sebelum tidur!"

Di balkon yang hampir tiap sudutnya disirami purnama, nampak seorang lelaki berkaos putih. Ia Vasilia, Raja Kerajaan Neingod. Lelaki itu sedang duduk di atas dipan bersama sebuah buku.

Diturunkanlah buku di depan matanya. Ia tersenyum pada sang anak, Umar, "Boleh. Ayo, ke pangkuan ayah!"

Bersama sebuah buku yang dipeluk di depan dada, berlarilah anak itu dengan wajah sumringah. Di atas kedua paha Vasilia, duduklah Umar di atasnya. Terbelahnya Bulan, itulah judul cerita yang dipilih pada buku si anak bermata biru itu untuk diceritakan.

Takjub, sedih, dan marah bergantian diekspesikan Umar karena cerita yang dituturkan ayahnya. Sampai ujung cerita, sampai tugas rembulan tiba di tengah malam, ia pun tertidur di atas pangkuan Vasilia, sang ayah.

--(0)--

Duduklah Umar bersama buku catatan Vasilia di atas dipan di balkon kamar. Ia menyelami rindu pada sang ayah dengan lebih dalam. Terkadang ia tertawa, tapi lebih sering merasa pilu tersebab sesal sekaligus takjub. Di buku catatan itu tak hanya tertulis curahan hati seorang ayah tentang anaknya. Banyak juga catatan peran seorang raja untuk rakyatnya.

Buku itu kini ditutup. Berdiri sang raja bermata biru melihat ke arah wilayah pertanian. Namun, bukan ke tempat terbentangnya sawah-sawah. Pandangannya fokus pada sebuah area yang sering dinaungi perasaan sedih banyak orang, yakni pemakaman.

Rindu bisa menggerakkan seseorang untuk melakukan hal tak biasa. Begitulah yang sedang terjadi pada hati dan akal Umar. Kerinduan pada masa-masa bahagia bersama sang ayah berhasil mempengaruhi akalnya. Dengan menunggang kuda abu-abu, pergilah pemuda itu ke area pemakaman. Sebuah tempat yang selama hidupnya belum pernah ia kunjungi, bahkan setelah jasad sang ayah bersemayam di sana.

Sebuah kejanggalan terlihat di area pemakaman yang terletak di sebelah barat wilayah pertanian. Lahan khusus untuk mengubur para penghuni istana seperti kehilangan seseorang, Vasilia Daw. Jasad raja terdahulu itu terkubur bersama orang-orang tak berstatus bangsawan, padahal jasad sang istri tak berada di sampingnya.

Jasad raja yang dikenal dengan kemurahan hatinya itu bersanding dengan asisten pribadi sekaligus sahabat, Malik Soewiryo.

Umar sampai di area pemakaman saat sore masih baru berlangsung satu jam. Namun, untuk sampai di batu nisan yang dicarinya menghabiskan waktu hingga senja hampir datang. Ketidaktahuan adalah sebabnya, tapi pemuda itu enggan untuk bertanya pada siapa pun. Ia ingin menyembunyikan kerinduan dari orang lain.

Kedua lutut mulai ditekuk. Turunlah tubuh bersama telapak tangan yang menyentuh bagian paling atas batu nisan dari makam ayahnya. Dari sebuah plastik hitam yang digantung di sisi kiri celana, diambillah segenggam bunga kamboja. Dengan perlahan, ditaburkanlah bunga-bunga itu ke atas kuburan.

"Ayah, maafkan aku. Aku baru berkunjung ke sini setelah lebih dari setengah tahun ayah meninggal." Tiba-tiba air matanya mengalir dari netranya yang biru. Tak mampu ia menutupi segala perasaan tak biasa yang sejatinya sangat indah bagi seorang manusia.

Teruslah Umar menangis di sana seraya mengatakan apa-apa yang ada di lubuk hati terdalam. Sampai akhirnya, "Ayah, apakah kau tak bisa hidup sebentar saja untuk menamparku kembali dengan lebih kencang? Sadarkan aku kalau hal-hal yang kau lakukan sebelum ini adalah kebenaran! Ayah, kumohon bangun dari kuburmu! Bimbinglah aku jadi pemimpin yang benar! Ayah ...."

"Ah, sia-sia aku membawa dua kantung plastik bunga ini."

Rengekan Umar berhenti. Dibukalah kedua matanya kembali setelah terpejam seraya mengalirkan air mata. Kemudian tanpa tangan yang menghapus tangis di pipi, ia melihat sesosok lelaki. Lelaki itu sejatinya tak asing, tapi kalau ingin dianggap kenal pun rasanya tak bisa.

"Akhirnya kau mengunjungi ayahmu juga." Lelaki itu tersenyum tipis. Kemudian ia berjalan ke makam di samping kanan mendiang sang raja terdahulu.

Terheranlah Umar. Lelaki yang kini jongkok di samping makam Malik adalah lelaki yang tadi bertemu dengannya di kamar Vasilia. Namun, penampilannya berubah. Tak ada lagi selembar kain hitam yang melilit kepala dan juga seragam khas pelayan di tubuhnya. Ia menggunakan jubah putih dan celana berwarna sama.

"Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau pelayan di istana?"

"Tugasku tak hanya membersihkan kamar Paman Vasilia, tapi juga makamnya, dan makam ayahku," jawab lelaki itu seraya menaburkan bunga di atas makam Malik.

Sang raja langsung terkejut atas dua hal. Pertama, lelaki itu memanggil ayahnya dengan "Paman Vasilia". Yang kedua, ia mengaku sebagai anak dari sahabat sang ayah. Umar tentu tak paham atas dua hal itu. Ia tak pernah tahu kalau ayahnya punya saudara, dan kalau soal Malik, ia memang tak pernah ingin tahu.

Kedua pertanyaan di benaknya itu tak dipendam sendiri. Mulailah mulutnya terbuka untuk mencari jawaban. Namun, nampaknya kebingungan tak bisa langsung diselesaikan. Lelaki yang belum mengenalkan diri itu memandang langit. Lukisan di cakrawala sudah tak lagi biru, ia sudah memerah.

"Aku tak bisa menjawab sekarang karena aku harus pulang. Namun, jika memaksa maka kau harus ikut denganku."

Rasa penasaran sudah sedemikian mengganggu. Keingintahuan tentang kehidupan sebenarnya sang ayah juga menggebu-gebu. Diterimalah tawaran itu, dan keduanya pun beriringan di atas kuda yang jadi tunggangan mereka masing-masing.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Untuk hari ini, 16 April 2018.

Kerinduan seharusnya dapat diterjemahkan dengan baik. Harusnya ia juga mampu merenggangkan sedikit kemisteriusan yang kadang muncul pada waktu yang tak tepat.

Gimana, guys, untuk update yang langsung lima episode ini? Makin menarik, atau ... malah flop??

Semoga jangan, ya.

Negeri Tak Bertuhan (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang