Satu mata itu bergulir kiri dan kanan.
Melihat ke arah langit-langit triplek, lantai berselimut tikar rotan, lalu sekeliling ruang keluarga. Matanya seakan menonjol meminta keluar. Bergulir tak tentu arah, hingga pada akhirnya tertuju padanya.
Dirinya. Soera Bratha, bocah lelaki 10 tahun.
Dua bola mata hijau Soera bertemu dengan satu mata merah wayang Batara Guru. Mata yang harusnya tak bisa membelalak bagai mata ikan. Mata yang harusnya hanya segaris yang ia ingat saat dulu almarhum ayah memainkan.
Tubuhnya tak bisa bergerak. Persis seperti 'ketiban'. Ia hanya bisa unjuk muka antara dirinya dengan wayang kulit yang masih diam. Keringat dingin mulai mengucur di balik leher sawo matang. Napasnya naik turun seakan asma. Ia takut jika wayang itu akan membuatnya seperti orang gila—berteriak kesetanan juga menyerang warga. Pak Haji pernah menakuti teman sebaya kalau orang kesurupan biasanya mati sebab dikendalikan.
Tapi tidak.
Wayang yang tadinya hanya berdiri di dekat pintu kamar, mendadak menatap ke arah pintu luar. Ia meloncat—terlalu cepat—hingga Soera membelalakkan matanya lebar-lebar. Angin menerpa mengikuti arah ia meloncat. Tubuhnya ambruk seakan diterpa topan. Saat si Wayang tak ada di sekitar, barulah ia bisa menjerit kencang.
"Astagfirullah, Soera!"
Ibunya tergopoh berlari ke arah anak ke-4 yang kini tergolek di tikar. Mata sang anak membelalak lebar. Keringat membasahi tubuh rampingnya. Ia terbatuk-batuk, lalu menggeleng saat ibunya berteriak penuh kepanikan, "Ono opo, toh, Tole?!"
Mata hijau cemerlangnya menyipit ke arah pintu luar. Si Wayang—yang tubuhnya hanya berlapis tipis dari kulit—berdiri di depan teras sambil memandang ke arah langit. Ibunya kini sibuk berteriak meminta anak ke-2 mengambilkan air putih. Anak ke-3 turut berteriak sambil menunjuk ke arah televisi. Kakak pertama mungkin masih bermain di alun-alun Pati, sementara adik bungsunya pasti berpura-pura tidur di kamar.
Ia menatap bingung ke arah wayang yang terus diam.
Mendadak, suara gemuruh membahana kencang. Tangan kecilnya bergemetar. Getar bukan karena ketakutan, melainkan karena lantai yang bergerak-gerak. Seketika, tubuhnya ditarik oleh tangan putih sang ibu yang kini berteriak ke arah dalam.
"GEMPA! GEMPA!"
Warga berteriak, ibu pun tak ketinggalan. Mata hijau sang ibu membelalak, memeriksa keadaan masing-masing anak yang kini berlari ke arahnya. Dari lapangan tanah, tempat semua warga desa berkumpul, Soera menatap ke arah wayang yang masih terdiam di teras rumah. Mata merahnya masih betah menunjuk ke arah langit yang menghitam.
Tanah masih meraung-raung. Getarannya tak begitu besar namun cukup untuk buat warga kalut. Namun, semua ketakutan warga tak sebanding dengan si Wayang yang kini terlihat pilu. Ada rasa sesak di dada juga mata memanas di diri Soera saat wayang itu menekuk tubuh.
Malam harinya, barulah ia tahu. Gempa bumi menyerang Yogyakarta. Dalam 57 detik, semua luluh lantak. Gedung dan rumah hancur, kematian warga tak pelak terhindar.
Di sanalah, Soera mengambil kesimpulan.
Jika wayang itu suatu penanda akan datangnya bencana.
.
.
Peristiwa itu tentu tak dapat dilupakan Soera hingga ia beranjak dewasa.
Terutama kini, saat ia menginjak kaki di bandara internasional Ngurah Rai. Ingatan masa kecil kembali dikoyak. Apalagi saat dua bola mata merah-hitam menonjol, bergulir ke arahnya. Mulut dikatup-katup, gigi datarnya berbentur. Kuping emas bergerak, seiring ia bergerak maju-mundur.
Sosoknya yang besar bergoyang-goyang. Bulu di sekitar tubuh ikut bergerak seakan ingin mengajaknya dansa. Pandangan mereka seakan terpaut oleh asmara. Bagai pungguk merindukan bulan. Mungkin lebih cocok dengan 'bagai barong merindukan Soera'.
Menutup muka, Soera menghela napas panjang. Penjemputnya datang terlambat. Katanya, sebab macet yang berkepanjangan di dekat Kuta. Ia pun memandang balik si Barong yang kini menelengkan kepala.
Menyerah akan takdirnya, Soera pasrah harus berhadapan dengan makhluk yang kini mengintili segerombolan bule pirang. Ia pun menggeret koper, meraih buntut berbulu sosok besar hingga membalikkan tubuh. Kepalanya ditelengkan, mata belok dikerjap-kerjap.
Menghela napas untuk kesekian, Soera berbisik pelan, "Apa maumu?"
Ia pasrah akan takdir yang menautkannya pada sosok barong di bandara.
.
.
Kepada yang terhormat, PseuCom
Kepada papi oleng minit med Luxiufer2 dan papatibob fifty_shadesof_black
Auk ah eek kalyan semua. /tabokin satu satu
Iya, ini apdet HARUS harian. Jadi insya Allah dikerjakan hingga selesai pada waktunya. /ngeng/
Mohon maaf jika ada ketidaktepatan settingan. Ini berdasarkan ingatan saya pas dulu ke rumah kakek ........................ harusnya banyak yang berubah, ya, settingan Balinya. HAHAHAH yah sudahlah. Dicoba dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
FantasíaSejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...