02.
Kail sebentuk, umpan seekor, sekali putus sehari berhanyut.
Mungkin itulah keadaannya kini. Ia terburu menerima tawaran Mbok Nesia—saudara jauh dari Ayah, untuk bekerja sebagai bala bantuan sosial di Bali. Berujung pada penyesalan sebab pertemuan berlapis takdir bak romantisme seorang lelaki dan gadis.
Ia menundukkan badan, mendekatkan diri ke jendela mobil yang menderu di antara kemacetan. Bulu Barong mengelus-elus belakang lehernya, cukup buat risih hingga ia ingin tertawa. Keadaannya ia berada dalam mobil Hando bermuatan kecil, dengan pengemudi seorang pemuda berumur 25-an bertubuh ramping.
Berbeda dengan dirinya yang bermata hijau dan berambut cokelat tua, pemuda itu berambut semi ikal hitam, mata belok cokelat tua. Garis alis terbentuk tegas, paras khas melayu dengan wajah ramah terlihat. Kontur wajahnya oval, sementara dirinya kotak. Hidung pemuda itu kecil, Soera mancung bangir.
Mengikuti darah keturunan ibu, Soera memang dilahirkan blasteran Jawa-Belanda. Bahan ejekan bule kampung tentu ditelan habis-habisan oleh Soera dan keempat adiknya. Mungkin tidak dengan sang kakak pertama dan adik bungsu, sebab wajah mereka 100% mirip dengan sang ayah yang orang Jawa.
Ia mendesah lelah, ketika sekian kali kuping emas Barong bergerak-gerak membelai pipinya.
"Soera Bratha ... benar?"
Mengerjapkan mata, Soera memandang ke arah pemuda yang kini menekan klakson tak sabaran. Ia mengerutkan alis, bingung dengan pertanyaan. "Ya? Tadi aku sudah mengenalkan, bukan?"
Melirik ke arah Soera sebentar, pemuda itu mendengkus geli. Ia mengangguk, lalu menjalankan kemudi sambil menyalakan radio dalam suara kecil. "Yah, aku mengonfirmasi lagi tentu. Aku pikir kautidur karena kemacetan yang buatmu kantuk."
Soera menipiskan bibir, lalu memandang ke luar jendela. Angin sepoi panas menerpa wajah. Uh, berbeda dengan cuaca panas di desanya, terik matahari pulau Bali serasa neraka. Buru-buru menutup jendela, lalu membesarkan AC mobil, ia pun mengucap, "Kau Satria Wilaga. Majikan Mbok yang mempekerjakanku untuk bala bantuan sosial, bukan?"
"Awh, suatu kehormatan bisa diingat olehmu, Den Bagus Soera Bratha." Cengir lebar terpampang di wajah tengil pemuda.
Mengerutkan alis, Soera bersedekap. Ia memilih diam, mendengarkan radio walau suaranya kecil didengar. Samar-samar ia mendengar berita mengenai gunung Agung meletus beberapa minggu kemarin. Menaikkan alisnya, ia melirik ke arah Barong yang kini memelototi tuas persneling.
Jika wayang Batara Guru dulu menunjukkan adanya bencana, kenapa Barong ini masih ada? Apakah mungkin ia bukan penunjuk bencana, melainkan pembawa bala?
Saat memikirkan, Soera menahan desisan. Kepalanya berdenyut kencang, hampir pandangan menggelap jika ia tak menyandarkan kepala di jok mobil. Aah, ya, sebelum naik pesawat ia lupa meminum obat. Berdecak kecil, ia pun memejamkan mata, mencoba mengurangi sakit yang kini melanda. Gemerincing hiasan Barong terdengar memekak telinga. Ingin dijauhkannya wajah besar berbulu lebat, namun ia tak kuasa.
Tak ia sangka, mendadak kepalanya digenggam jemari hangat.
Belum sempat ia menepis, jempol dan telunjuk mengurut dahi dengan gerakan teratur. Pelan, namun memberikan tekanan yang pas hingga rasa sakit Soera bisa mengendur. Saat membuka mata hijaunya, ia melirik ke arah pengemudi yang tangannya masih mengulur.
"Perjalananmu jauh, ya? Belum sempat makan sebelum berangkat? Pfft, kau sudah dewasa tapi nakal juga. Perutmu kembung?" Ejekan Satria tentu menjengkelkan, namun Soera mengabaikan. Ia masih memerhatikan mata cokelat tua itu menatap ke mobil depan, bergantian sambil menyengir ke arahnya.
Merasa tak direspon juga jalanan kembali lancar, Satria menarik kembali tangan kirinya. Entah salah lihat atau tidak, Soera merasa dalam hitungan detik pemuda itu menghentikan gerakan, menurunkan tangan, baru ia mengatur tuas. Persis seakan menghindar dari kepala Barong yang berada di tengah keduanya. Barong itu menatap ke arah Soera dengan tatapan penasaran. Mata beloknya mengerjap-ngerjap, seakan dua bola mata itu menuntut jawaban tanpa pertanyaan.
Oh, bisakah makhluk itu mengenal privasi manusia?
'Kami mengabarkan ....' Suara gemerisik radio terdengar di telinga. Mata hijau Soera bergulir ke arah depan tuas persneling, tepat pada kotak radio tersedia. Bosan dengan pemandangan, ia memfokuskan pada berita.
'... Polisi menyelidiki ... adanya kasus bunuh diri ... yang kembali terjadi di Gia—'
"Yak, kita sampai!"
Mengalihkan pandangan, Soera menatap ke arah Satria yang kini keluar dari mobil dengan cepat. Pandangan Soera tertuju pada sebelah kiri, tepat pada rumah dengan pagar tinggi berukiran kayu kerajinan Bali. Pura terlihat di sebelah kanan. Atap rumah Bali terpampang di bagian kiri, sementara jerami menghiasi atap lantai dua.
Soera pun keluar dari mobil. Pening mulai teredam seakan menipis sebab takjub dengan pandangan. Rumah penduduk di desanya hanya rumah sederhana. Tak ada ukiran ataupun pernak-pernik budaya yang bertebaran di sekitar.
"Rahajeng rauh—selamat datang, Soera."
Satria menyengir lebar. Membentangkan tangan mengarah ke rumah sedang yang menguarkan aura berat. Ia menganggukkan kepala, lalu melirik ke arah Barong yang ada di belakangnya.
Bukan rasa penasaran yang diperlihatkan si Barong ketika memijak aspal.
Melainkan ... kewaspadaan.
.
.
![](https://img.wattpad.com/cover/143762381-288-k575641.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Barong
FantasiSejak kecil ia bisa melihat 'mereka'. Mereka adalah sang penunggu. Mereka yang terus menerus mengintilinya. Mereka yang diam namun seakan ingin mengucap. Termasuk kini, saat ia berdiri di bandara internasional Ngurah Rai. Di hadapannya, sosok penu...